Armada TNI AL |
Campur tangan Barat dalam konflik rezim di Libya sebagai akibat teori domino angin demokratisasi di negara-negara Arab tidak pernah ada dalam prediksi atau “ramalan cuaca” dari institusi intelijen manapun termasuk Mosaad. Jatuhnya Hosni Mubarak melengkapi kejatuhan Ben Ali dari Tunisia tidak jua ada dalam benak dan bathin aparat Polhukam negara adi daya AS dan sekutunya.
Makna dari catatan sejarah terkini itu adalah mengambil momentum perubahan sebuah negara atau kawasan dengan dalih mendukung demokrasi atau pergantian rezim tapi udang dibalik batunya adalah menguasai cadangan energi untuk masa depan, atau dalam rangka mengeliminir kekuatan radikal yang mengalir dalam darah sebuah negara. Contohnya Irak, akhirnya toh yang menguasai ladang-ladang minyaknya adalah perusahaan-perusahaan Barat dengan pola bagi hasil yang memilukan.
Apa antisipasi yang harus dilakukan hankam republik kepulauan ini. Semangat nasionalisme memang menjadi senjata ampuh untuk berkelahi terhadap siapa saja yang ingin mengganggu teritori Indonesia. Tapi apakah itu cukup, tentu tidak karena senjata terkuat mengawal NKRI adalah kekuatan dan perkuatan pengawal republik TNI di segala matra, utamanya matra laut dan udara.
Kalau melihat peta pertahanan kita, jujur diakui kita masih sibuk dengan halaman dalam rumah kita tok. Masih sibuk dengan laut Jawa, selat Sunda, selat Malaka, selat Makassar dan Natuna. Sementara halaman luar yang bernama laut dalam nyaris tak terdengar dalam gerak operasional TNI AL, contohnya selatan Jawa.
Kawasan “kekuasaan” ratu pantai selatan ini nyaris terabaikan dalam patroli angkatan laut dan hanya tersedia satu pangkalan kecil yang bernama Cilacap. Demikian juga pantai barat Sumatera hanya ada Teluk Bayur menatap samudera Hindia sendirian tanpa teman. Padahal dalam setiap resiko konflik yang terjadi pilihan mematikannya adalah menyerang jantung sebuah negara atau pusat-pusat komunikasi dan industri. Maka untuk Indonesia sudah pasti pilihan itu adalah sebuah jantungnya yang bernama pulau Jawa. Lalu apakah serangan armada laut akan dilakukan dari selat Makassar atau laut Cina Selatan atau laut Jawa, tentu tidak.
Jika ada serangan laut dan pendaratan pasukan amphibi dari pasukan yang ingin menyerang jantung Indonesia, pilihan paling steril adalah melalui selatan Jawa yang tidak dikawal secara permanen. Dengan hanya satu kapal induk dan sejumlah kapal fregat dan destroyer serta kapal-kapal angkut pasukan marinir mereka bisa dengan cepat mendarat di Parang Tritis atau Pelabuhan Ratu lalu dengan cepat menguasai pusat-pusat komunikasi di Jawa Tengah dan Jakarta, termasuk menghancuran pangkalan Madiun dan Halim Jakarta melalui serangan udara dari kapal induk.
Mengapa pendaratan marinir pasukan musuh dapat dilakukan dengan mudah, karena pantai selatan Jawa sangat miskin pengawalan angkatan laut. Mantan Kasal Laksamana Slamet Subiyanto pernah mengajak kita agar memperhatikan halama luar perairan NKRI termasuk membangun pangkalan besar di kawasan selatan Yogya. Sayangnya ide cemerlang itu telah terkubur bersamaan dengan pergantian Kasal yang high profile itu.
Bagi tentara sekutu mematikan NKRI secara militer adalah dengan serbuan kilat menyerang jantungnya langsung. Tak perlu repot-repot menyerang Sumatera atau Kalimantan. Pilihan paling “sempurna” adalah melalui selatan Jawa karena kalau melalui utara akan dihadang oleh armada yang berpangkalan di Surabaya dan Jakarta, apalagi dukungan logistik militer yang tak bakalan terputus dan terhadang adalah di Selatan itu sendiri melalui pulau Christmas dan dari Australia Barat.
Oleh sebab itu sudah saatnya pemikir strategis Kemhan dan petinggi TNI memperhatikan dinamika selatan Jawa yang memang sepi banget kesehariannya. Sudah saatnya membenahi dan membesarkan pangkalan militer di Cilacap dan membangun satu lagi pangkalan milter di selatan Jawa. Penambahan alutsista TNI AL perlu sekali terutama untuk kapal-kapal bersertifikat Fregat atau Destroyer. Kita baru punya 7 Fregat dan 20 Korvet. Sementara pengawal sejati laut dalam adalah KRI dengan kelas minimal Fregat.
Dalam program mendesak (crash progream) bisa saja kita melakukan pengadaan minimal 9 Fregat (bukan light Fregat), 3 Destroyer second dan 4 kapal selam berwajah Kilo. Melengkapi armada TNI AL dengan 100 KCR berpeluru kendali sangat bagus tapi KCR kan untuk laut dangkal saja. Sedangkan untuk mengawal laut dalam perlu pertambahan Fregat dan Destroyer dalam jumlah memadai.
Latihan militer skala besar juga perlu dilakukan di selatan Jawa. Kalau selama ini pola latihan gabungan TNI pasti ada menu pendaratan amphibinya maka sekali waktu perlu ada perubahan menu yaitu menghadang pendaratan amphibi yang dilakukan oleh pasukan TNI AD dan TNI AU. Simulasinya pasukan Marinir sebagai lawan latih TNI AD dan TNI AU lalu bertarung memperebutkan daerah tumpuan pantai di salah satu pantai di selatan Jawa.
Perkuatan pasukan TNI AD sepanjang selatan Jawa mutlak dilakukan dengan melengkapi satuan-satuan tempur itu dengan artileri berat, kavaleri, roket, rudal dan rudal anti tank. Paling tidak dibutuhkan pertambahan pasukan infantri mekanis di sepanjang garis pantai minimal 20 batalyon untuk menjaga selatan Jawa. Sekedar catatan saat ini hanya ada 8-9 batalyon infantri yang berlokasi di kawasan ini.
Dinamika konflik kawasan tak bisa kita prediksi, sama seperti situasi negara-negara Timur Tengah saat ini. Maka langkah preventif penting dilakukan terutama untuk mengawal jantung negara kita, jangan sampai terkena stroke akibat pre emptive strike lebih dulu, baru kita berbenah, padahal kalau sudah kena stroke minimal wajah kita sudah mencong atau jalan tertatih. Apakah harus menunggu seperti itu ?
******
Jagvane / 27 Mei 2011
1 comment:
Ane setuju banget dgn analisis di atas. Untuk menjaga jakarta dari serbuan selatan jawa mengusulkan untuk di buat pangkan udara di sukabumi & pangkalan kapal laut di tasikmalaya.
Post a Comment