Menteri Pertahanan Prabowo sejauh ini bisa disebut menang dalam strategi percaturan untuk mendapatkan alutsista dan green light dari AS. Cerita dimulai dari langkah UU Caatsa AS yang "menjegal" perolehan 11 jet tempur Sukhoi SU35 dari Rusia. Ini membuat perkuatan skadron tempur TNI AU jalan ditempat. Skadron 14 pengganti F5E yang sudah dibangunkan home basenya di Iswahyudi AFB terlalu lama sunyi. Sehingga dipinjamkan dulu 3 unit Sukhoi SU27 dari Skadron 11 Hasanudin AFB supaya pilotnya tidak menganggur. Ternyata yang ditunggu tidak kunjung datang.
Prabowo sesungguhnya dongkol kuadrat alias kecewa berat. Yang pertama soal Caatsa ini. Seharusnya fighter tangguh SU35 sudah hadir menggemuruhkan langit nusantara. Namun diblokade AS yang mengenakan sanksi ekonomi terhadap Rusia. Dan yang paling membuat dia kecewa adalah blokade perjalanan dirinya ke AS yang sudah berjalan belasan tahun. Logika cerdasnya begini : sudah tidak boleh bertransaksi SU35, tidak pula boleh berkunjung ke AS tapi kok disuruh beli F16 Viper.
Jendral tempur ini kemudian bergerak cepat sejak dilantik jadi Menhan. Rencana Indonesia untuk membeli 36 jet tempur F16 Viper made in Paman Sam dia padamkan. Dengan alasan butuh jet tempur siap pakai dan two engine untuk menutup gap isian skadron 14 Iswahyudi, Prabowo berniat kuat untuk mendatangkan 15 jet tempur Typhoon Austria bekas pakai tapi jarang dipakai. Lalu dengan Perancis dia membuat perjanjian awal untuk pengadaan sejumlah jet tempur Rafale dan kapal selam Scorpene.
Ini langkah kuda yang cemerlang. AS terperangah dan harus mengakui kalah langkah. Kartu mati AS ada di Laut China Selatan (LCS) yang mengharuskan dia cari "bolo" untuk menghadapi lidah naga China yang menyembur di nine dash line. Posisi geostrategis dan geopolitik Indonesia yang dominan di ASEAN mengharuskan AS merangkul Indonesia memperkuat "persekutuan" versi dia. Aliran logistik militer jika terjadi konflik terbuka dengan China di LCS pasti akan melewati ruang udara Indonesia, juga ALKI 1 dan ALKI 2 yang strategis.
Pentagon akhirnya memberi lampu hijau buat Menhan kita bahkan kedatangannya disambut hangat dengan karpet merah dan meriah. Prabowo dan delegasi Kemenhan datang dengan wajah sumringah dan wibawa. Meski keinginannya untuk mendapatkan jet tempur siluman F35 belum disetujui AS karena durasi pesan datang alias daftar tunggu bisa mencapai 10 tahun. Sebagai pengganti kita diizinkan mendapatkan 15 jet tempur F15 Ex. Kita saat ini memang sedang butuh jet tempur siap saji untuk mengisi jet tempur SU35 yang gagal hadir. Manuver Prabowo mengejar Typhoon dan Rafale yang non AS sukses membuka mata hati Paman Sam yang biasanya suka mendikte.
Dari hasil Rapim TNI tanggal 16 Februari 2021 ada publikasi blue print yang menjadi program besar Kemenhan. Berbagai jenis alutsista yang akan didatangkan dari AS berupa 15 jet tempur F15 Ex, 15 pesawat angkut Hercules type J, 4 heli hibrid Osprey, 32 helikopter Blackhawk. Sementara dari Perancis sedang dipersiapkan pengadaan 36 jet tempur Rafale, 4 kapal selam Scorpene. Rincian shopping list itu bisa membuat kita yang membacanya lalu menulis komen: wow banyak banget. Tidak tanggung-tanggung memang. Matra laut saja mau dibelikan16 kapal perang fregat, 10 kapal selam, 18 KCR (Kapal Cepat Rudal), 6 KCR siluman dan lain-lain.
Dalam pandangan kita daftar belanja blue print yang spektakuler itu adalah sebuah keniscayaan. Namun durasi waktu MEF (Minimum Essential Force) TNI jilid tiga tahun 2020 sampai dengan 2024 membuat kita harus realistis. Jelas durasi itu tidak cukup untuk memenuhi shopping list Kemenhan. Termasuk juga anggarannya. Belum lagi ketok palu dari Kementerian PPN / Bappenas yang menjadi titik paling penting untuk goal proses panjang ini. Maka tercukupi 50% saja dari daftar belanja itu kita sudah sangat bersyukur. Percepatan kedatangan jet tempur F15Ex yang nantinya akan mengawal Natuna sangat diharapkan. Dari informasi yang beredar AS akan memprioritaskan kedatangan 6 jet tempur F15 Ex ke Indonesia selambat-lambatnya akhir tahun ini.
Ini sesuai dengan keinginan Prabowo bahwa Natuna harus segera dipayungi jet tempur berkualitas. Sebelum SU35 terkena Caatsa, jet tempur ini yang akan mengawal Natuna. Itu sebabnya langkah kuda Prabowo untuk mengakuisisi 15 jet tempur Typhoon dari Austria sekaligus menolak F16 Viper yang ditawarkan AS sebelum era Prabowo, adalah sebuah kemenangan langkah kuda. Marwahnya dengan permainan catur alutsista ini adalah bisa membuka pintu green light, berkunjung ke AS bahkan disambut hangat oleh Pentagon. Prestasi yang mengikuti marwahnya adalah kesediaan AS untuk menyediakan jet tempur "double gardan" F15 Ex. Hanya sedikit negara yang diberi ruang untuk memiliki jet tempur ini. Hanya sekutu dekat AS.
Apapun dinamikanya sejatinya Republik ini sangat memerlukan perkuatan alutsista militer utamanya matra laut dan udara. Halaman depan rumah kita yang bernama Natuna adalah wilayah konflik sekarang,masa depan dan jangka panjang. Ini adalah wilayah konflik yang bisa menjadi potensi besar untuk pertempuran paling mematikan di dunia. Maka "new normal" yang berlaku di Natuna ke depan adalah mempersiapkan kondisi paling mencekam dengan memperkuat armada tempur TNI AL dan skadron tempur TNI AU. Prabowo sudah dan sedang mempersiapkan semuanya dan bersamaan dengan itu dia sudah memenangkan langkah kudanya. Sekali mendayung dua tiga pulau terlampaui.
****
Jagarin Pane / 18 Februari 2021