Code of Conduct alias kode etik perilaku yang didengungkan ASEAN
untuk bertatakrama tenggang rasa di Laut China Selatan (LCS) tidak digubris
China. Jangankan LCS, ada wabah maut yang meluluhlantakkan ekonomi dunia saja
China gak peduli.
Mestinya fokus aja dulu ikut prihatin dengan wabah
Covid19. Sayang tidak diperlihatkan. Begitu dia sembuh dari serangan wabah,
ambisi hegemoni dipertunjukkan untuk ekspansi liar penguasaan teritori sumber
daya mineral. Mulai dari Laut China Timur (LCT),sampai LCS.
Klaim sepihak tidak menyelesaikan masalah. Meski China
telah membangun fasilitas dan pangkalan militer di Paracel dan Spratly.
Arogansi militer yang diperlihatkan China selama ini menunjukkan kualitas
diplomasi egois dan kaku. Dan ini sudah menimbulkan antipati di sejumlah negara.
Klaim China atas LCS |
Vietnam yang berada di garis depan LCS sudah lama
ribut dengan tetangga utaranya. Pembangunan kekuatan militer Vietnam sangat
pesat dan satu arah alias berkiblat ke Rusia. Kita lihat perolehan alutsista
strategisnya mulai dari kapal selam Kilo, jet tempur Sukhoi, pertahanan pantai
Bastion kapal perang Gepard Class. Semuanya dari Rusia.
Filipina juga berbenah diri memperkuat alutsistanya.
Meski belum sekuat Vietnam dan Indonesia, negeri itu berpacu dengan waktu untuk
menggagahkan militernya. Filipina terlena tidak menguatkan militernya ketika
ada payung militer AS dengan pangkalan udara Clarck dan pangkalan angkatan laut
Subic. Kedua pangkalan militer itu sudah ditutup.
Malaysia kelihatannya kurang bergairah memperkuat
militernya. Penambahan alutsista nyaris tak terdengar karena rasio hutang
terhadap PDB diatas 50%. Akibatnya anggaran pertahanan tidak bertambah
signifikan. Padahal perairan Sabah sudah sering disisir armada China, bahkan
pesawat pengebom China ikut "parade".
Pertanyaannya dimana semangat kebersamaan ASEAN.
Sepertinya jalan sendiri-sendiri untuk mengamankan kepentingan nasionalnya.
Code of Conduct yang ditawarkan ASEAN hanya nyanyian hampa. Jadinya wibawa dan
marwah ASEAN jika berhadapan dengan China sudah kalah mental dulu. Dan tidak bersatu
sikap.
ASEAN masih mengharap payung armada pasifik AS. Tapi
ketergantungan itu menjadi nisbi manakala 2 armada kapal induk AS ditarik ke
pangkalan karena awaknya tertular Covid 19. Praktis saat ini tidak ada payung
perlindungan AS di LCS. Maka China leluasa "berkunjung" dan bikin
onar.
Di Natuna sudah dibangun infrastruktur pangkalan
militer namun isian alutsistanya masih sangat kurang. Bandingkan dengan
Vietnam. Sepanjang garis pantai yang berhadapan dengan Hainan sudah dipasang
rudal Bastion bersama puluhan kapal perang dan kapal selam.
|
Teritori terdepan di LCS ini harus diperkuat dengan
alutsista sekelas dengan Bastion kombinasi dengan Nasams2. Ancaman untuk Natuna
bukan hanya jet tempur, juga kapal perang jenis Fregat keatas. Makanya KRI yang
mengawal Natuna juga harus Fregat keatas. Bukan KCR.
Diplomasi setara dengan China harus diimbangi dengan
kekuatan militer yang setara juga. Kemudian menyatukan sikap khusus untuk 4
negara, Indonesia, Vietnam, Filipina dan Malaysia. Supaya tidak ada kesan terpaku
dan kalah mental, ambil posisi "bersatu kita teguh" khusus untuk 4
negara ini. Adakan KTT spesial misalnya atau melakukan latihan militer 4
negara.
Atau ajak sekalian AS, Australia
dan Jepang ikut latihan militer skala besar. Menghadapi China kita tidak bisa
sendiri-sendiri. Kalau perlu buat perjanjian pertahanan semacam FPDA. Gak
masalah kan. Malaysia dan Singapura anggota FPDA dalam ASEAN. Kalau pakai
cara-cara konvensional, China pasti akan semakin merajalela. Apakah kita mau
China mengobok-obok Natuna atau bahkan menganeksasi ?
****
Semarang, 28 April 2020
Jagarin Pane
Semarang, 28 April 2020
Jagarin Pane