Pandemi Covid19 menggerogoti semuanya, menggerogoti bumi bulat bundar. Termasuk tanah tumpah darah negeri kepulauan khatulistiwa. Suasana belum reda, masih berkecamuk dan belum akan berakhir. Kemampuan bermanajemen krisis untuk mengelola dan mengatasi wabah global ini adalah cobaan terberat bagi semua pemerintahan di dunia. Dan perjalanan cobaan ini masih akan terus mengemuka sampai terciptanya herd immunity komunal.
Meski demikian kita tidak boleh terpaku oleh dahsyatnya wabah ini, sudah dan sedang kita lawan dengan prokes dan vaksin. Dalam kondisi seperti ini kita juga harus tetap membingkai pemikiran strategis posisi geostrategis dan geopolitik negeri di tengah ketidakpastian dan ketidaknyamanan dua hotspot perbatasan yaitu Natuna dan Ambalat. Eksistensi negeri tidak akan hilang oleh sebab adanya wabah namun menjaga dan menguatkan teritori adalah bagian dari perjuangan eksistensi dan marwah kedaulatan bernegara.
Maka persetujuan Kementerian Keuangan meluluskan anggaran sebesar US$600 juta melalui paket pinjaman luar negeri untuk membeli 1 kapal selam striking force tonase besar sejatinya adalah merealisasikan formula strategis jangka pendek pertahanan kita. Seperti ketahui dari 4 kapal selam yang dimiliki Indonesia semuanya bertonase maksimal1400 ton. Dan jika dibanding dengan semua negara ASEAN yang memiliki armada kapal selam seperti Singapura, Vietnam dan Malaysia, jelas kita tidak setara apalagi jika berhadapan dengan kapal selam China.
Laut China Selatan (LCS) dipastikan tidak akan normal lagi sebagaimana keadaannya dulu. Yang kita sedang dan akan hadapi terus menerus secara jangka panjang adalah "new normal"nya. Yaitu ketidakharmonisan, ketidakamanan, ketidaknyamanan yang harus diwaspadai, diantisipasi, dikawal dan dipelototi siang malam pagi sore. AS sudah menyatakan secara terang benderang bahwa musuh potensialnya sekarang dan masa depan adalah China. Salah satu palagannya adalah LCS. Dan ingat AS tidak akan pernah sendirian menghadapi setiap konflik regional. Untuk menghadapi China di LCS dia bawa rombongan besar dan tangguh, Inggris, Perancis, Jerman, Australia, Jepang, Kanada. Termasuk "ngomporin" India untuk ikut buka front di Himalaya.
Armada angkatan laut kita saat ini sedang dikembangkuatkan. Tercatat yang sudah mengemuka adalah pengadaan 2 kapal perang Iver Class, 6 kapal perang Fremm Class dan 2 kapal perang Maestrale Class. Sejalan dengan itu armada bawah air kita secepatnya juga harus ditambah. Luasnya perairan dan kemampuan deteren kapal selam kita mau tidak mau harus diperkuat dengan kualitas gempur senyap. Jangan sampai terjadi begini, sudah tidak punya kemampuan striking force yang setara, berisik pula kehadirannya. Salah satu kekuatan dan kehebatan teknologi kapal selam adalah kemampuan senyap dan silumannya.
Kita menyambut gembira upaya Kementerian Pertahanan untuk memperkuat armada kapal selam, termasuk program percepatannya. Pengadaan 1 kapal selam segera tidak saja untuk menggantikan KRI Nanggala 402 yang eternal patrol namun juga untuk meningkatkan daya gebuknya. Armada kapal selam adalah bagian dari sistem senjata armada terpadu (SSAT) TNI AL dan sangat menentukan perannya dalam manajemen dan teknologi pertempuran modern. Kita membutuhkan secepatnya, maka prediksi yang diambil adalah kapal selam eksisting negara lain yang masih beroperasi dan tidak ketinggalan teknologi. Membangun kapal selam baru mulai dari proses pengadaan sampai barang dikirim butuh waktu 5-6 tahun. Padahal kita sangat butuh herder bawah laut untuk Natuna. Penting juga untuk diketahui pengadaan 1 kapal selam besar ini diniscayakan untuk menguathebatkan kembali motto semangat "tabah sampai akhir" bagi korps Hiu Kencana. Menhan Prabowo sangat paham dengan kondisi psikologi ini.
Mengayuh ditengah pandemi adalah perjalanan berat yang harus dilalui. Kita sangat meyakini perjalanan wabah ini harus dihadapi dengan "tabah sampai akhir". Dan diujungnya pasti ada horizon cerah yang akan mengakhiri gelombang badai hebat ini. Dan seberat apapun perjalanan saat ini kita tidak boleh lengah dengan badai yang juga sudah jelas tampak, mulai beriak, potensi konflik skala besar di kawasan Natuna. Ini bukan konflik kaleng-kaleng alias sebatas konflik antar pelanduk. Ini potensi konflik antar gajah yang luar biasa dampaknya. Kita harus bersiap menjaga perdamaian kawasan dan bersiap pula untuk menghadapi kondisi terburuk. Bersiap menghadapi kondisi terburuk tentu dengan pengawalan teritori yang kuat. Kapal perang heavy fregate dan kapal selam serbu adalah alat pukulnya, pre emptive strike. Dan asal tahu saja sampai saat ini kita belum punya.
****
Jagarin Pane / 20 Juli 2021