Vietnam memperlihatkan kecerdasan diplomatiknya dalam menjalankan diplomasi bambu. Hanoi menjalankan percaturan politiknya dengan menjalankan dua langkah kuda berurutan selama tiga bulan terakhir ini. Bulan September 2023 yang lalu Vietnam menyambut kedatangan Presiden AS Joe Biden dengan karpet merah di Hanoi. Tiga bulan berikutnya, 12 Desember 2023, Vietnam menyambut kedatangan sahabat tradisionalnya, tetangga besarnya Presiden China Xi Jinping. Diplomasi bambu adalah arahan politik luar negeri Vietnam untuk para diplomatnya agar lentur dan fleksibel namun kokoh dalam prinsip menyikapi dinamika geopolitik kawasan.
Sementara itu tanggal 13 Nopember 2023 Presiden Indonesia Joko Widodo mendapat sambutan hangat dari Presiden Joe Biden di White House Washington. Pertemuan ini menghasilkan perjanjian kualitas puncak yaitu kemitraan komprehensif strategis Indonesia-AS. Setingkat dibawah kriteria Sekutu. Ini adalah kunjungan bilateral penting Presiden Indonesia yang sebelumnya mendapat mandat dari negara Organisasi Konferensi Islam (OKI) yang baru melaksanakan konferensi darurat di Riyadh Arab Saudi. Amanatnya adalah menyampaikan Resolusi OKI agar AS menekan Israel untuk menghentikan perang brutal di Gaza Strip. Dari Washington Presiden Jokowi terbang ke San Fransisco untuk menghadiri KTT APEC 14-16 Nopember 2023.
Rentang perbatasan teritori darat dan perairan Vietnam dan China adalah yang terluas. Dalam peta geopolitik ASEAN posisi Vietnam berada di garis depan berhadapan dengan teritori daratan China dan klaim China di Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Laut China Selatan (LCS). Negeri Nguyen ini adalah yang paling banyak tensi "naik darahnya" berkonflik dengan China. Tahun 1974 Vietnam, waktu itu masih bernama Vietnam Selatan terlibat pertempuran laut yang sengit di kepulauan Paracel LCS. China sukses memukul mundur Vietnam. Kemudian Februari tahun 1979 China melakukan invasi 9 hari ke perbatasan utara Vietnam. Invasi China sebagai reaksi kemarahan Paman Mao atas perilaku hegemoni Vietnam terhadap Laos dan Kamboja yang merupakan "anak asuh" China. Terkini, dalam konflik LCS selama 5 tahun terakhir ini diantara negara ASEAN, Vietnam adalah yang paling banyak bervivere pericoloso alias bersitegang dengan China.
Apa yang bisa kita maknai dari unjuk kinerja kualitas diplomatik diatas. Bahwa proporsionalitas potensi konflik di LCS sesungguhnya merupakan peta jalan menuju rasionalitas. Untuk lebih mengumandangkan syair sinergitas kerjasama ekonomi kesejahteraan kawasan. Sementara diplomasi militer, gertakan militer dan yang sebangun dengannya termasuk show of force adalah bagian dari bargaining power diplomasi setiap negara untuk menunjukkan akar dari kekuatan diplomasi bambu. Sekuat apapun angin puting beliung menerjang bambu, akarnya cukup kuat bertahan menghadapi gempuran. Itu sebabnya saat ini Vietnam, Filipina dan Indonesia bergerak cepat membangun kekuatan militernya untuk menghadapi angin puting beliung yang suatu saat bisa saja menghantam LCS.
Skala prioritas potensi konflik Indonesia dengan China sebenarnya lebih rendah kadar tingkatannya dibanding dengan Vietnam, Filipina, Malaysia dan Brunai. Klaim China di LCS yang bersinggungan dengan Indonesia hanya di perairan ZEE Utara Natuna. Sementara ke empat negara ASEAN lainnya "bertarung" dengan China memperebutkan pulau-pulau atol Spratly dan Paracel di perairan yang kaya sumber daya energi fosil itu. Oleh sebab itu dalam pandangan kita duduk perkara klaim China ini, Indonesia harus menempatkannya pada pada kursi keseimbangan rasionalitas berbaju proporsional. Tidak perlu emosional.
Meskipun demikian menyikapi dinamika demam berkepanjangan di LCS ini sangat wajar dan sangat perlu jika Indonesia bergegas memperkuat otot militer. Antisipasi utama adalah untuk menjaga dan menegakkan kewibawaan teritori negeri di Natuna. Lebih dari itu, yang perlu diketahui khalayak, bahwa sampai dengan hari ini kekuatan militer Indonesia belum sampai pada kriteria kekuatan minimal. Dalam tataran doktrin militer defensif aktif perlu kekuatan minimal yang dipersyaratkan. Kita belum sampai di persyaratan itu. Dan saat ini prioritas penguatan alutsista adalah unuk angkatan laut dan angkatan udara. Syarat utama doktrin pertahanan "berani masuk digebuk" harus memiliki kekuatan pukul yang gahar di matra laut dan udara.
Dalam uji proporsionalitas potensi konflik di LCS Indonesia tidak boleh terjebak dalam framing proxy war antara dua gajah dan sekutunya. Rivalitas pertarungan perebutan trophy hegemoni antara AS sebagai petahana dan China sebagai kompetitornya,saat ini begitu sengitnya. Saling jegal satu sama lain terlihat jelas dalam semua dimensi pergaulan dan perdagangan internasional. Sampai ke soal teknologi tinggi microchif. Demikian juga dalam adu cerdas berdiplomasi. Dalam kunjungan Presiden China ke Vietnam Desember ini, Xi Jinping terang-terangan menyebut sebagai puncak keberhasilan diplomasi China. Bagi Vietnam kemitraan dengan China yang baru terbentuk ini memberi ruang harapan untuk membangun saling percaya dan meredakan ketegangan di LCS. Bagaimanapun China adalah mitra kerjasama ekonomi terbesar bagi Vietnam.
Dengan perkembangan diplomatik terbaru ini, Indonesia dan Vietnam termasuk juga Filipina harus bisa menguatkan uji kesepadanan dan ketahanan dalam politik luar negeri dan diplomasi militer. Sejauh ini dalam peta geostrategis militer di ASEAN, AS sukses merangkul Indonesia, Filipina, Malaysia. Berbagai serial latihan militer gabungan seperti Garuda Shield di Indonesia dan Balikatan di Filipina berlangsung dalam skala besar dan berulang. Termasuk latihan militer skala kecil yang melibatkan satuan marinir, batalyon TNI AD, pilot jet tempur dengan militer AS dan Australia. Dalam konteks diplomasi militer berbagai serial latihan gabungan ini berperan sebagai show of force dan mengingatkan pihak sono agar tidak gampang "ngamukan".
Uji proporsionalitas ini juga bagian dari strategi membeli waktu sembari terus memperkuat taring militer TNI. Kita menempatkan persoalan klaim ZEE Natuna secara proporsional dengan kecerdasan dan kepiawaian berdiplomasi. Tidak terpengaruh oleh framing ajakan permusuhan global salah satu pihak dan persekutuan militer merupakan bagian dari menguatkan posisi dan marwah negeri. Syarat utamanya kekuatan ekonomi dan kekuatan militer harus berkelas.
Bagaimanapun dalam bingkai kerjasama ekonomi internasional, saling ketergantungan take and give adalah satu-satunya jembatan penghubung yang harus dibesarhebatkan untuk kesejahteraan bersama. Jembatan itu jangan dihancurkan hanya karena persoalan klaim ten dash line dan rivalitas. Mari bercermin pada perang hebat dan melelahkan antara Rusia dan Ukraina, dan perang brutal di Gaza Strip. Mari bercermin dari deraian air mata Ibu dan tangisan anak yang tubuhnya berdarah terkena serpihan amunisi.
****
Jagarin Pane / 22 Desember 2023
"Selamat Hari Ibu"