Ada beberapa netizen forum militer bertanya mengapa Indonesia harus belanja persenjataan banyak dan beruntun akhir-akhir ini. Mengapa tidak lebih mengutamakan belanja untuk ekonomi kesejahteraan negeri ini. Terminologi jawaban cerdas dari pertanyaan ini adalah memaknai belanja alutsista sebagai investasi pertahanan. Alokasi APBN untuk ekonomi kesejahteraan sudah terbagi di PUPR, kesehatan, pendidikan, subsidi, dana desa, UMKM dan lain-lain. Anggaran pertahanan kita sejauh ini masih di kisaran 0,8-0,9% dari produk domestik bruto. Bandingkan dengan Singapura yang mencapai 3%, India 2,7%, Inggris 2,2%, AS 3,5%.
Jujur saja selama ini kita sedikit lengah dalam membangun kekuatan militer based on navy and air force. Apalagi menganggap bahwa tidak akan ada musuh yang mengancam dan menyerang teritori NKRI selama duapuluh tahun ke depan. Ini yang kemudian menjadi tema statemen Menhan Prabowo ketika menjadi keynote speaker di acara Seminar Nasional TNI AU di Halim AFB Selasa tanggal 08 Nopember 2022. Prabowo berharap para elite dan jendral dapat mengedepankan pola pikir strategis, mengantisipasi ancaman yang sudah di depan mata. Kita bangun kekuatan militer negeri ini secara signifikan untuk 20 tahun ke depan. Inilah investasi pertahanan untuk eksistensi dan marwah negara.
Dan sekarang ancaman itu jelas dan terang benderang. Suasana geopolitik dan geostrategis di kawasan Indo Pasifik saat ini sudah menyimpan bara api untuk konflik besar-besaran dan skala penuh. Ada tiga hotspot seperti bisul yang menunggu pecah bernanah di kawasan "timur jauh" ini, yaitu konflik Dua Korea di Semenanjung Korea, konflik China-Taiwan dan konflik di Laut China Selatan (LCS). China sudah membangun beberapa pangkalan militer canggih di kepulauan Spratly dan Paracel di LCS. Pertaruhan eksistensi dunia di masa depan ada di kawasan Indo Pasifik yang "satu kelurahan" dengan kita.
Semuanya merupakan potensi pertempuran dahsyat di kemudian hari. Sudah ada pakta militer baru berbau nuklir AUKUS antara Australia, Inggris dan AS. Latihan militer antar negara sudah sangat intens di berbagai tempat. Di Filipina, Australia, Korsel, Hawaii, Jepang silih berganti melakukan simulasi pertempuran multi nasional. Garuda Shield di Indonesia salah satu yang berskala besar diikuti 14 negara. Terakhir AS bersiap menempatkan 6 pesawat bomber strategis B52 bersenjata nuklir di Darwin Australia. Sementara Korut sudah mulai "bermain mercon balistik" menggertak Korsel dan Jepang.
Bagaimana dengan kesiapan kita. Filosofi si vis pacem parabellum ( jika ingin damai bersiaplah untuk perang) menjadi standar untuk memperkuat militer kita yang memang tertinggal jauh dari negara di kawasan. Ya karena itu tadi menganggap tidak ada musuh yang mengancam dalam dua tiga dekade ke depan. Nyatanya dinamika kawasan LCS yang penuh gejolak ini membuat kita berkalkulasi dan berhitung. Hasilnya kita belum mencapai kekuatan militer minimal untuk menjaga negeri kepulauan terbesar di dunia ini. Maka digelarlah program MEF (Minimum Essential Force) sejak 13 tahun lalu yang kemudian diperhebat dalam tiga tahun terakhir ini.
Maka ketika ajang Indo Defence di Jakarta barusan, terdapat banyak persetujuan kontrak pengadaan alutsista untuk TNI. Nilainya milyaran dollar. Adalah sangat wajar dalam perspektif "baru bangun tidur" karena saat ini kita dituntut berlari untuk mengejar ketertinggalan kekuatan militer kita. Apalagi ternyata ada yang gagal datang seperti jet tempur Sukhoi SU35. Artinya ada rentang waktu yang terbuang. Kemudian yang lebih penting dalam kaitan ini, bahwa belanja alutsista sesungguhnya adalah untuk investasi pertahanan dengan durasi 20-30 tahun ke depan. Contoh kita membeli 42 jet tempur Rafale adalah untuk masa investasi 20-25 tahun kedepan.
Yang namanya membangun investasi pertahanan apalagi untuk mengejar ketertinggalan terlihat dalam shopping list kementerian pertahanan. Ada kontrak pembelian rudal balistik Khan dan Hisar. Pengadaan 5 Hercules, 12 jet tempur Mirage, 2 kapal perang penyapu ranjau, 6 pesawat amfibi. Juga pengadaan 3 kapal cepat rudal, 2 OPV, 1 korvet, 1 LPD, 2 LST dari galangan kapal dalam negeri. Masih banyak shopping list yang lain.
Untuk semua itu mestinya harus kita sikapi dengan semangat membangun "dua sisi mata uang", ekonomi kesejahteraan dan pertahanan yang seiring sejalan. Negeri ini potensi pertumbuhan perekonomiannya ke depan diprediksi meningkat signifikan.
Release yang dikeluarkan IMF Oktober 2022 ini menempatkan PDB (Produk Domestik Bruto) Indonesia di urutan ke 7 berdasarkan paritas daya beli (GDP based on Purchase Power Parity). Ranking PDB nomor satu adalah China dan AS sudah tergeser ke posisi runner up. Sebuah pencapaian bagus Indonesia bisa menyalip Perancis dan Inggris. Namun sayangnya prestasi ini tidak mendapat porsi pemberitaan yang proporsional. Ironinya kalau ada berita bertema ghibah senang banget membahasnya.
Sinergi cerdas Bappenas, Kementerian Keuangan dan Kementerian Pertahanan patut kita apresiasi. Usulan investasi pertahanan Kemhan disambut dan disaring Bappenas dengan green light kemudian disaring lagi oleh Kemenkeu dengan penetapan sumber pembiayaan (PSP). Semua mekanisme ini dijalankan dengan semangat percepatan karena kebutuhan alutsista kita extra ordinary. Dengan sebuah sebab yang jelas, militer belum mencapai kekuatan minimal sampai saat ini. Ini fakta.
Seremoni pembuatan kapal perang terbesar heavy fregate Merah Putih akan dilaksanakan bulan ini di PT PAL. Kontrak efektif pengadaan 2 pesawat angkut berat Air Bus A400M diprediksi akhir tahun ini. Juga pelaksanaan repowering 41 kapal perang striking force TNI AL di galangan kapal dalam negeri. Tiga contoh ini adalah bagian dari shopping list yang berbilang puluhan item untuk bisa diselesaikan dalam MEF jilid tiga yang berakhir tahun 2024. Termasuk pengadaan jet tempur F15, kapal selam dan kapal perang heavy fregate selain Arrowhead 140.
Pencapaian pertumbuhan ekonomi kesejahteraan kita harus diimbangi dengan investasi pertahanan. Tidak bisa tidak. Lihat China sekarang, juga Jepang, Korsel, Singapura, Australia, Taiwan. Semua upaya ini dimaksudkan untuk keberlangsungan bernegara, melindungi pencapaian kesejahteraan, rasa aman dan percaya diri. Sekaligus memberikan efek segan bagi negara lain, ini yang disebut dengan diplomasi militer. Kekuatan ekonomi kesejahteraan yang dikawal dengan kekuatan militer yang sepadan sejatinya adalah marwah, prestasi dan gengsi sebuah negara. Kita sedang menuju pencapaian itu.
****
Jagarin Pane / 11 Nopember 2022