Dinamika perjalanan bernegara di setiap negara
mengharuskan masing-masing negara memiliki kekuatan militer sebagai pengelola otot
kedaulatan negara. Demikian juga dengan
negeri kepulauan khatulistiwa ini.
Dinamika yang terjadi dalam hitungan minggu saja mengharuskan militer
Indonesia mengelola empat titik panas( hot spot) sekaligus dalam sebuah “musim
tak terduga”. Empat titik panas itu
adalah Poso, Natuna, Tarakan dan Ambalat.
Insiden dengan kapal penjaga pantai Cina di perairan
Natuna belum lama ini membuat Jakarta mengepalkan tinju lalu mengirimkan 5 jet
tempur F16, 6 KRI, perangkat radar mobile, pasukan infantri, marinir dan
paskhas ke Natuna. Dalam waktu yang bersamaan PPRC (Pasukan Pemukul Reaksi
Cepat) yang terdiri dari pasukan Kostrad, Marinir dikirim ke Tarakan bersama
belasan KRI, puluhan tank amfibi dan jet tempur Sukhoi. Ini juga bagian dari kemarahan republik atas
penyanderaan warga kita oleh gerilyawan Abu Sayyaf meski format resminya adalah
untuk latihan gabungan obyek vital.
Kita butuh kapal selam minimal 12 unit |
Sementara itu untuk hot spot yang lain, Poso sudah
digelar operasi gabungan tentara dan polisi untuk “mateni” Santoso. Sedikitnya
ada 1 brigade tentara dan 1 brigade polisi mengepung ketat teroris bersama
pengikut setianya. Demikian juga Ambalat
selalu disiagakan 5-7 KRI untuk berpatroli termasuk melakukan manuver interoperability
dengan matra lain, sebuah simulasi untuk pertempuran laut yang sesungguhnya.
Pada saat mengelola empat titik panas ini, dibagian lain
bumi Indonesia ada hajat besar dan bergengsi berupa latihan gabungan angkatan
laut bersama negara-negara sahabat. Kita
mengerahkan 15-17 KRI berbagai jenis ke pantai barat Sumatera, tepatnya Padang
dan sekitarnya untuk melaksanakan latihan kerjasama Multilateral Exercise
Komodo 2016 tanggal 12-16 April dengan 35 negara lain.
Dalam manajemen militer tentu suasana ini memerlukan
tingkat kewaspadaan yang tinggi karena mengelola empat hot spot tentu
memerlukan energi ekstra dan stamina kuat.
Pada akhirnya tumpuan utama dari kesiap siagaan itu adalah ketersediaan
alutsista yang mencukupi dan berkualitas.
Bisa dibayangkan bagaimana mendistribusikan perangkat alutsista untuk
empat titik panas dan satu event internasional dimana kita jadi tuan rumah.
Sukhoi di Tarakan, pengawalan kontinu |
Belajar dari musim tak terduga ini (tapi kita ini bolak
balik belajar tapi gak paham juga) seyogyanya perencanaan kebutuhan alutsista
benar-benar diupayakan sehebat mungkin.
Tidak lagi dibenturkan dengan ketersediaan anggaran tetapi kebutuhan
altusista itu mutlak harus diadakan. Memang
perkuatan dan belanja alutsista saat ini sudah menuju ke arah getar tetapi
diperlukan percepatan pesan, percepatan kedatangan dan percepatan
operasional. Sebagai contoh lihat saja
proses pengadaan 24 jet tempur F16 up grade, sudah lebih 4 tahun yang datang
baru sepertiganya.
Kita butuh 12 kapal selam bermutu, dari lima belas tahun
yang lalu selalu diperdengarkan lagu itu.
Tapi nyatanya sampai hari ini baru ada 2 kapal selam tua. Agak terhibur juga karena sebentar lagi mau
datang 3 kapal selam baru dari Korea Selatan. Tetapi ketika kita dapat tambahan
3 kapal selam baru, Singapura sudah punya 6 biji, Vietnam sudah punya 5 biji
baru semua. Apalagi kalau bicara Cina,
jelas gak nendang.
Belum lagi kapal perang permukaan laut, baru sampai ke
tingkat fregat ringan. Padahal untuk
mengawal perairan laut yang luas ini kita butuh kapal perang kelas destroyer. Belum
lagi melihat kekuatan udara yang belum sepadan dengan ruang tugas yang harus
diemban. Kalau hanya punya 1 skuadron
Sukhoi hanya bagus untuk dipamerkan tapi belum mampu membentengi kedaulatan
udara republik tercinta ini.
Rasanya kok jadi gak sabar ya melihat kritisnya mengelola
empat hot spot dengan kekuatan alutsista yang ada. Ayo buat dong langkah out of the box, over
the horizon, duduk bersama bersepakat Pemerintah, DPR lalu keluarkan doktrin
baru atau dekrit baru sehubungan dengan ini, sehubungan dengan itu dan
seterusnya. Lalu belanja alutsista sehebat mungkin.
Changbogo bisa dibuatkan paralel di Surabaya dan
Korsel. Atau pesan 2-4 Kilo sebagai
alutsista penguat. Sukhoi SU35 juga ditambah tidak hanya 10 biji tapi dua skuadron
kebutuhannya. Kapal perang permukaan
jenis korvet, fregat dan destroyer segera ditambah secepat mungkin.
Alutsista kita masih kalah cerdas dan kalah banyak jika
ingin dipersandingkan dengan ruang wilayah yang sangat luas ini, apalagi jika
ingin mencapai cita-cita poros maritim. Kekuatan
poros maritim ada di angkatan laut dan angkatan udara, maka dua matra ini
menjadi fokus utama dan penting untuk dibenahi, dimodernisasi, digaharkan dan
dibanggakan.
Kita hanya ingin mengingatkan ketika tahun-tahun awal
reformasi, TNI mengawal 3 hot spot yang banyak menghabiskan energi yaitu
konflik horizontal Maluku, konflik bersenjata Timor Timur dan Aceh. Ketika TNI kita
sedang disibukkan dengan tugas berat itu, tetangga sebelah berulah dan
mengambil Sipadan Ligitan.
Jangan dikira Natuna itu tidak terancam meski berulang
kali dikatakan kemenlu Cina bahwa dia tidak keberatan Natuna milik
Indonesia. Omongan diplomatik itu sesuai
musimnya, kalau musim panas dia bilang “ini itu” tetapi jika musim hujan dia
bilang “itu ini”. Namanya juga diplomasi
tentu sesuai kepentingan nasionalnya. Nah
jalan satu-satunya adalah perkuat otot kedaulatan, perkuat militer sekuatnya. Dengan
militer yang kuat dan bersemangat sangat diniscayakan omongan diplomasi kita
akan diperhatikan.
****
Jagarin Pane / 02 April 2016