Nama Tjiptadi, seorang kapten angkatan laut Indonesia yang gugur bersama
Yos Sudarso dalam pertempuran Arafuru tahun 1962 menjadi terkenal hari-hari
belakangan ini. Melalui sebuah kapal perang yang didedikasikan untuk namanya, KRI
Tjiptadi 381, insiden penabrakan yang dilakukan kapal pengawas nelayan Vietnam
di perairan Natuna Sabtu siang 27 April 2019 membuat nama pahlawan itu muncul
ke permukaan.
KRI Tjiptadi 381adalah salah satu dari kapal perang Parchim Class yang
dibeli Indonesia dari bekas negara Jerman Timur tahun 1990an. Jumlah kapal perang bekas yang dibeli waktu
itu berkat lobby BJ Habibie mencapai 39 kapal perang berbagai jenis, enambelas
diantaranya adalah kapal striking force Parchim Class.
Soal insiden di Natuna itu, langkah yang diambil awak kapal perang KRI
Tjiptadi 381 sudah tepat. Bersabar dan
tidak terpancing provokasi kapal pengawas nelayan Vietnam yang banyak karatnya.
Toh “barang bawaannya” berupa tahanan belasan awak kapal nelayan Vietnam tetap
diproses hukum dan kapal nelayan Vietnam sudah ditenggelamkan sendiri oleh
kapal pengawasnya.
Sudah ada tiga armada tempur, tinggal memenuhi isiannya |
Natuna itu sesungguhnyaadalah hot spot yang harus terus diawasi dan dikawal
teritorinya. Disana ada tumpang tindih perairan zona ekonomi eksklusif (ZEE). Dengan
China yang mengklaim sebagian besar Laut China Selatan (LCS) ada hot spot
berbahaya, dengan Vietnam juga saling klaim ZEE dengan kita.
ZEE bukan teritori kedaulatan lho, dia hanya kawasan dimana isi perairan
termasuk ikan dan mineral didalamnya dikuasai oleh negara yang menarik batas
ZEE 200 mil dari pantai terjauhnya. Makanya tidak boleh sembarangan umbar
tembakan di ZEE karena itu jalur pelayaran bebas untuk semua negara.
Mengapa Vietnam begitu galak karena memang negeri itu punya militansi
patriotik yang hebat. Juga karena dia
sedang keras-kerasnya berkonflik klaim dengan China di LCS. Militansi patriotik
Vietnam sudah terbangun sejak perang Vietnam, dan semakin membanggakan ketika
mereka mampu mengusir AS dari negerinya tahun 1970an. Nah sekarang mereka lagi
panas-panasnya berseteru dengan China soal Spratly dan Paracel. Jadi adrenalin si
Vietnam mudah tersulut dan mendidih.
Kapal selam juga semakin bertambah, sudah ada 5 unit |
China seperti diketahui mengawasi ketat perairan LCS sepanjang teritori
Vietnam. Tidak ada celah ruang masuk bagi
Vietnam untuk mengeksplorasi dan mengeksploitasi ZEE nya di LCS termasuk
mencari ikan. Akhirnya para nelayan Vietnam yang “ruang operasinya” semakin
dipersempit bergerak kearah selatan dan tenggara, ketemulah dengan Anambas dan
Natuna.
Maka pelajaran dari insiden kemarahan Vietnam yang kesekian kalinya
ini harus disikapi dengan cara pandang horizon dari pemikir strategi pertahanan
di tanah air. Jangan lagi bilang dua
puluh tahun ke depan tidak ada ancaman teritori atau invasi ke teritori negeri
tercinta ini. Di depan mata sudah terlihat demamnya LCS begitu tinggi. Bisa
saja bisul itu pecah kan.
Angkatan Laut dan Angkatan Udara kita mutlak wajib fardhu ain
dilaksanakan Pemerintah bersama syarat-syarat dan rukun-rukunnya untuk
dikembangkuatkan, dibesarhebatkan dengan menambah kuantitas dan kualitas
alutsista penggebuk. Anggaran sudah disediakan, tinggal pakai, tahun depan
dapat porsi terbesar 126 T. Jumlah itu pun masih bisa bertambah, tinggal DPR
sama Pemerintah bersinergi, tidak ada yang tidak bisa untuk membangun
pertahanan negeri luas ini.
MEF jilid tiga sudah tinggal hitungan bulan, artinya bergegaslah mengeksekusi
belanja-belanja yang sudah direncanakan, kan duitnya sudah ada, tinggal
mengelola sistem multy yearsnya. Jangan
kelamaan mikir, lihat tuh Vietnam anggaran belanja alutsistanya lebih kecil
dari kita tapi kuantitas dan kualitas alutsistanya lebih wah. Ada 6 kapal selam
Kilo, ada 30 jet tempur Sukhoi, ada alutsista sistem pertahanan pantai dan
lain-lain.
Armada satu TNI AL yang berbatasan dengan banyak negara mestinya lebih
hebat dari Armada dua atau minimal setara perlengkapan alutsistanya. Meski sudah diperkuat Bung Tomo Class,
Sebagian Parchim Class, Clurit Class dan Fatahillah Class, sangat mendesak
penambahan armada striking Force misalnya Martadinata Class.
Caranya ditambah dong kuantitas produksi Martadinata Class dari yang
sekarang hanya dua biji menjadi enam biji gitu dan gak pake lama. Penambahan KRI jenis Destroyer semacam Iver
Class bisa dipercepat dan setidaknya kita butuh empat unit, beli sekaligus.
Termasuk juga penambahan kapal-kapal BAKAMLA ukuran besar, dipercepat
pengadaannya. Untuk perairan Natuna minimal dibutuhkan 6 kapal BAKAMLA ukuran
besar.
KRI Fatahillah 361, sudah diperbaharui jeroannya |
Natuna yang sudah jadi pangkalan militernya, adalah jawaban terhadap
situasi konflik yang demam terus menerus. Maka alutsista gebuknya juga harus
dihadirkan lebih banyak dan lebih berkualitas. Jangan sampai arhanud S60 yang
kesana, ntar diketawain sama Laos. Natuna adalah benteng terdepan yang harus
mencerminkan kekuatan pre emptivenya.
Penting juga adalah mengkomunikasikan progress pengadaan alutsista kepada
khalayak. Ini adalah bagian untuk
memupuk semangat bertanah air. Semua sudah sepakat bahwa negeri kepulauan yang
luas ini perlu dibentengi dengan pertahanan yang kuat. Anggaran sudah
disediakan, tinggal bagaimana memanfaatkannya secara manajemen. Komunikasikan
dengan khalayak disamping berkoordinasi dengan user TNI.
Berkali-kali sudah kita sampaikan bahwa perkuatan militer kita bukan untuk
persiapan perang atau berkonflik melainkan untuk menampilkan postur kekuatan
militer yang gagah dan disegani. Dengan postur militer yang kuat dan disegani
maka jalan cerita diplomasi kita akan dihargai. Tak kalah pentingnya adalah kewibawaan
teritori kita bernilai marwah dan mampu mengeliminasi ngamuknya tetangga.
****
Solo, 3 Mei 2019
Jagarin Pane