Ajakan Presiden Filipina Rodrigo Duterte agar militer
Indonesia ikut andil memerangi militan ISIS di Filipina Selatan merupakan
sebuah kehormatan namun harus disikapi secara bijaksana. Duterte mengajak
Indonesia tentu dengan berbagai pertimbangan, salah satunya adalah kemampuan
militer Indonesia melakukan perang gerilya, anti gerilya dan pertempuran jarak
dekat yang dikenal dengan perang kota.
Hampir sebulan ini berbagai kegiatan patroli ketat
dilakukan TNI di sepanjang garis perbatasan dengan Filipina. Setidaknya ada 12-15
KRI berbagai jenis dioperasionalkan bersama dengan pesawat pengintai TNI AU
baik intai taktis maupun intai strategis, termasuk juga pengerahan jet tempur
Sukhoi ke Tarakan dan Manado. Bahkan 2 kapal selam KRI Cakra 401 dan KRI
Nanggala 402 kita dikerahkan ke perbatasan wilayah panas itu bersama kapal
perang jenis intelijen bawah air KRI Spica 934 yang punya alat deteksi canggih
bawah air.
Di perbatasan pulau Sebatik, Nunukan, Bunyu, Tarakan
disiagakan satuan-satuan tempur dan intelijen TNI AD untuk memastikan tidak ada
rembesan militan dan senjata mautnya masuk ke wilayah NKRI. Sangat pantas kita
waspada dengan kondisi di Marawi dan Mindanao, karena ternyata militan Maute
yang berafiiasi dengan ISIS mampu melakukan pertempuran jarak dekat dan belum
bisa ditaklukkan sampai saat ini.
Yang menarik adalah pengerahan kekuatan itu justru mampu
melipagandakan kekuatan jaga teritori Ambalat karena wilayahnya memang
berdekatan. Sambil menyelam minum air atau sekali mendayung dua tiga pulau
terlampaui. Meski Malaysia tidak ngotot
lagi menghadirkan kapal perangnya, TNI selalu siap siaga menjaga Ambalat
sepanjang tahun. Ini yang disebut menjaga gengsi berteritori secara milter, dan
itu perlu meski di tataran diplomatik belum selesai perkaranya.
Pesawat intai strategis TNI AU ikut dikerahkan |
Militer Indonesia sangat berpengalaman dengan model “perkelahian”
yang dilakukan militan dan separatis. Selama konflik dengan GAM di Aceh, TNI
mampu menyekat dan melakukan serangan balasan yang mematikan sehingga tidak
sampai terjadi pertempuran skala besar sebagaimana yang terjadi di Marawi. Demikian
juga selama operasi militer di Timor Timur dulu, setelah melakukan serangan
pendudukan, yang terjadi kemudian hanya pertarungan skala kecil, tidak head to
head sebagaimana di Marawi.
Ajakan Duterte harus benar-benar disikapi dengan
bijaksana. Jangan sampai kita terjebak dalam perang berlarut di negeri orang. Selama
ini pengiriman pasukan TNI adalah dalam rangka peace keeping bukan untuk kombatan.
Sementara bisul di Mindanao itu sudah berlangsung lama mulai dari MNLF, MILF
sampai Abu Sayyaf yang bersinergi dengan Maute. Persoalan internal mereka di
seputar keinginan melepaskan diri, dan itu sudah dipenuhi dengan otonomi khusus
dari Pemerintah Filipina dan MNLF. Tapi
kemudian muncul lagi MILF, Abu Sayyaf dan Maute.
Dalam pandangan kita lebih baik kita konsentrasi kedalam
dengan memperbesar mata dan telinga intelijen kita. Komando teritorial yang ada seperti Koramil
dan Kodim tentu harus diberdayakan bersama tokoh masyarakat dan tokoh agama
untuk mendeteksi dini bau-bau Maute dan bau-bau ISIS yang tidak sedap yang
mungkin merembes dan membocori suasana damai di negeri kita. Sel-sel ISIS di
negeri ini juga ada di beberapa tempat dan sudah melakukan serangan berbahaya
ke aparat kepolisian.
Mata dan telinga intelijen adalah kunci untuk meredam dan
mengeliminasi pergerakan teroris dan separatis. Kelengahan intelijen bisa
mengakibatkan terjadinya serangan teroris secara masif sebagaimana yang terjadi
di Marawi. Beruntunglah kita masih mempunyai komando teritorial di daerah seperti
Babinsa, Koramil, Kodim, Korem yang beberapa waktu lalu digugat eksistensinya,
dan sekarang ternyata berguna.
Sel-sel Babinsa, Koramil, Kodim yang diterjunkan ke
nadi-nadi kehidupan, bergerak bersama roda kehidupan masyarakat yang dinamis di
negeri ini adalah metode yang paling afdhol untuk deteksi dini adanya sel-sel
asing yang berwajah “amarah”. Apalagi
jika pergerakan mata dan telinga di garis depan ini disinergikan dengan
silaturrahim yang terus menerus dengan tokoh agama dan tokoh masyarakat
termasuk MUI, ormas keagamaan, diniscayakan mampu mementalkan pergerakan sel-sel
asing yang ingin merusak keharmonisan dan kedamaian.
Jadi kedalam saja kita berkonsentrasi, lebih baik melihat
kedalam membenahi kelincahan gerak mata dan telinga kita. Jangan dibiarkan matanya rabun dan telinganya
budeg. Ongkos operasionalnya dibaguskan,
perlengkapan mata dan telinganya diperkuat. Kalau di Natuna kita perkuat
infrastruktur militer untuk mengantisipasi ancaman berlabel negara, maka untuk
antisipasi ancaman teroris dan militan perkuat basis teritorial dan intelijen
daerah. Kita meyakini TNI bisa melakukan
itu.
****
Jagarin Pane / 3 Juli 2017