Barisan Tank TNI AD dalam sebuah Latgab |
Panglima tertinggi TNI yang juga orang nomor satu di negeri kepulauan ini sudah menjelaskannya di pusat pendidikan perwira gagah, Akademi Militer Magelang tanggal 13 Juli 2011, dihadapan para pemegang komando tempur dan teritorial TNI. Sudah saatnya doktrin pertahanan atau yang lazim disebut doktrin perang TNI diubah disesuaikan dengan situasi dan kondisi lingkungan yang bergerak dinamis. Doktrin yang selama ini dipegang adalah membiarkan halaman perairan dimasuki dan dikuasai musuh dengan sedikit perlawanan, baru setelah sampai di darat musuh digebuk, kalau masih kalah juga, lari ke pegunungan lalu melakukan perang gerilya yang berlarut. Bah, macam mana pula ini.
Konsep tarung demikian sudah harus tutup buku dan diganti dengan doktrin garang menggebuk lawan yang mencoba masuk dimanapun dia mau masuk, hancurkan sebelum masuk. Ini yang disebut dengan doktrin pre emptive strike atau menghalau musuh sejauh mungkin dari teritori tanah air, dari daratan utama. Dalam tulisan-tulisan sebelum ini kita sudah sering mengatakan perlunya pola masuk dulu baru digebuk diganti dengan gebuk duluan sebelum masuk. Mengapa demikian karena persoalan utama dari sengketa antar negara kini dan yang akan datang didominasi oleh penguasaan energi tak terbarukan yang berada di wilayah laut biru. Untuk negara kita disamping laut biru tadi juga ada di beberapa pulau utama seperti Papua dan Kalimantan.
Doktrin perang model semi ofensif ini tentu memerlukan kekuatan alutsista besar dan pangkalan militer yang bersifat menyebar, utamanya pangkalan Angkatan Udara dan pangkalan Angkatan Laut. Disamping itu mutlak diperlukan armada tempur laut dan skuadron tempur udara yang dapat diandalkan sebagai kekuatan pukul menggentarkan. Pembentukan tiga armada TNI AL dan tiga divisi Marinir tidak bisa ditawar lagi dengan membaginya menjadi armada barat, armada tengah dan armada timur. Demikian juga pemenuhan kebutuhan minimal 10 Skuadron tempur dengan pesawat tempur multi peran harus tersedia.
Contoh di kawasan barat RI, Natuna, bisa dijadikan pangkalan utama bersama Tanjung Pinang dan Belawan. Di masing-masing tiga pangkalan utama ini minimal harus tersedia 5 Fregat, 9 Korvet, dan 15 Kapal Cepat Rudal yang benar-benar ber home base disana, bukan BKO atau dikendalikan Surabaya. Minimal 3 kapal selam disediakan untuk mengawal perairan selat Malaka, Selat Singapura dan Natuna. Dengan kata lain untuk armada barat diperlukan ketersediaan kapal combatan berupa 15 Fregat, 27 Korvet dan 45 Kapal cepat Rudal serta 3 kapal selam. Tiga pangkalan utama ini didukung oleh pangkalan pratama seperti Lhok Seumawe, Sabang, Teluk Bayur, Dumai dan Mempawah sebagai area patroli gugus tempur laut armada barat TNI AL.
Sementara untuk armada tengah setidaknya ada 4 pangkalan utama AL yaitu di Jakarta, Surabaya, Makassar dan Tarakan. Posisi armada tengah harus merupakan yang terkuat dari 2 armada lainnya dan dimasing-masing pangkalan harus tersedia minimal 6 Fregat, 12 Korvet, dan 16 Kapal Cepat Rudal. Isian KRI untuk armada tengah dengan kapal tempur 24 Fregat, 48 Korvet, 64 Kapal Cepat Rudal ditambah dengan unsur 4 kapal selam. Ke empat pangkalan utama ini didukung oleh pangkalan pratama yaitu Semarang, Panjang, Cilacap, Benoa, Balikpapan, Bitung.
Pangkalan AL armada timur dipusatkan di Ambon, Kupang dan Merauke. Tiga pangkalan utama ini berada di lokasi laut dalam. Oleh sebab itu diperlukan kapal jenis Fregat dan Korvet. Masing-masing pangkalan diisi dengan 6 Fregat dan 10 Korvet. Dengan demikian armada timur memerlukan minimal 18 Fregat dan 30 Korvet dengan dukungan 3 kapal selam. Sementara untuk Kolinlamil (Komando Lintas Laut Militer dipusatkan di dua pangkalan yaitu Jakarta dan Makassar dengan kapal jenis LST, LPD, LHD, Tanker dan kapal RS.
Untuk matra darat juga perlu memperkuat diri dengan menambah satuan tempur berupa batalyon rudal untuk menjaga garis pantai dari serbuan amphibi. Misalnya menempatkan batalyon rudal anti kapal di Natuna dan Batam, bisa dari jenis Yakont sebagaimana yang telah dilakukan Vietnam untuk menjaga garis pantainya. Penempatan rudal surface to surface made in Pindad-Lapan perlu dilakukan di Bengkalis, Rupat dan Bintan, Kalimantan Barat dan Bunyu. Jangan lalai menempatkan beberapa batalyon rudal untuk mengamankan pantai selatan Jawa sebagaimana pernah diulas dalam tulisan sebelum ini (baca: Jangan Remehkan Selatan Jawa). Mengapa demikian, selama ini perhatian hankam kita hanya mikirin selat Malaka, Natuna dan Ambalat. Pantai barat Sumatera dan pantai selatan Jawa kok kurang kuat pagarnya. Perkuatan matra darat di Papua, NTT, Kalimantan sudah dan sedang dilakukan. Papua memerlukan minimal 3 brigade tempur lengkap, NTT minimal 1 brigade dan Kalimantan 6 brigade.
Untuk matra udara harus diperkuat dengan minimal 3 skuadron Sukhoi (48 unit), 3 skuadron F16 (48 unit), 12 F5E, 36 Hawk100/200, 16 T-50, 16 Super Tucano an 40 Hercules. Pesawat early warning minimal tersedia 2 unit bersama 5 pesawat intai strategis maritim. Sangat diperlukan rudal surface to air jarak sedang (hanud area) untuk pertahanan pangkalan yang dioperasikan Paskhas disamping rudal jarak pendek (hanud titik) yang sudah tersedia. Sebaran pangkalan pesawat tempur bisa dilakukan di Medan, Subang, Tarakan, Biak, Timika dan Kupang. Sebaran pangkalan pesawat tempur saat ini ada di Madiun, Makassar, Pontianak, Pekanbaru dan Malang.
Sebaran kekuatan matra TNI dimaksudkan agar dapat bereaksi cepat dengan jarak tempur dan logistik lebih pendek jika terjadi konflik dengan negara lain yang ingin mengajak tarung dengan RI. Misalnya Ambalat, jika konflik pecah, pangkalan AL di Tarakan akan mampu memberikan kekuatan pukul yang menjerakan bagi pihak lawan. Dengan tersedianya jumlah KRI berbagai jenis di pangkalan utama Tarakan yang ready for war, setidaknya akan membuat lawan berhitung cermat sebelum memulai konflik militer dengan RI. Bahasa premannya gak berani ganggu kalau tak ingin babak belur.
Ongkos keamanan itu jangan dinilai dari jika terjadi sesuatu baru dirasakan benefitnya. Jangan berfikir seperti itu. Sama dengan jika rumah kita kemalingan baru kemudian jendelanya diberi teralis dan pintunya diberi palang pintu. Itu artinya kita sudah rugi dua kali, ya kemalingannya ya ongkos bikin teralisnya. Sudah guondokk karena hartanya kemalingan, tambah maning buat teralis, wis ya loro tenan. Oleh sebab itu ongkos mengamankan teritori NKRI ini jangan dilihat dalam konteks insidentil belaka melainkan harus dilihat dalam horizon perspektif dan kewibawaan. Ongkos itu memang mahal karena rumah kita ini sangat besar, kaya sumber daya alam, strategis, cantik menarik menawan hati, kata sebuah lagu. Dan kita harus memulainya dari sekarang, tidak bisa tidak, termasuk merubah paradigma doktrin perang TNI. Perubahan doktrin itu seirama dengan reformasi belanja berbagai alutsista untuk membentuk kekuatan pukul yang menggentarkan diniscayakan akan memberikan kewibawaan kedaulatan NKRI. Nilai kewibawaan itu bisa dilihat dari keseganan jiran untuk melecehkan atau mengganggu teritori Indonesia. Kewibawaan kedaulatan itu adalah ongkos yang paling murah dalam definisi menjaga keutuhan wilayah Republik Indonesia. Coba renungkan dalam-dalam.
******
Jagvane / 17 Juli 2011