Marinir Indonesia sebagai salah satu unsur sistem senjata armada terpadu (SSAT) TNI AL diprediksi akan memperoleh 50-70 unit ranpur amfibi AAV7A1 buatan AS. Perolehan ini sebagai pengganti tersendatnya pengadaan tank tempur amfibi dari Rusia karena sanksi Caatsa dari AS. Sebelumnya dengan MOU tahun 2019 Kementerian Pertahanan memesan 22 tank amfibi BMP-3F dan 21 unit ranpur amfibi BT-3F buatan Rusia. Bahkan ada rencana penambahan puluhan ranpur BT-3F sesuai dengan anggaran yang tersedia. Namun proses selanjutnya untuk menuju kontrak efektif dan pembayaran uang muka tersendat, jalan di tempat.
Seperti kita ketahui kekuatan pasukan marinir Indonesia yang dikembangkan menjadi 3 divisi atau Pasmar JSS (Jakarta, Surabaya, Sorong) sangat memerlukan tambahan aset alutsista mobile sebagai syarat utama gempuran pasukan serbu pantai. Selama enampuluh tahun terakhir ini aset alutsista marinir didominasi buatan Eropa Timur seperti tank amfibi PT-76, BTR-50, MLRS RM Grad, Vampire, BTR-80A, BMP-3F. Hanya ranpur amfibi AMX-10 dan meriam artileri LG1 yang buatan Perancis. Bahkan ranpur AMX-10 jarang digunakan dalam latihan tempur marinir. Khusus untuk PT-76 dan BTR-50 yang jumlahnya ratusan unit, usia pakai atau umur teknis sudah lebih setengah abad dengan teknologi analog manual. Jelas kemampuan tempurnya kalah kelas, kalah akurat. Sementara 12 panser amfibi BTR-80A sudah bertahun-tahun berada di perbatasan Lebanon-Israel "menemani" pasukan perdamaian Indonesia di UNIFIL. Sudah seperti bang thoyib tidak pernah pulang.
Sebagai pasukan striking force dan masuk satuan PPRC (Pasukan Pemukul Reaksi Cepat) marinir seharusnya mendapat prioritas percepatan pemenuhan kebutuhan alutsista serbu. Pengembangan struktur organisasi marinir dengan membangunbesarkan infrastruktur tempur pada akhirnya bermuara pada ketersediaan alutsista yang memadai, bukan sekedar tampilan gedung markas atau penambahan prajurit. Sebaran alokasi alutsista pada akhirnya juga bertemu pada situasi dan kondisi ketersediaan kuantitas dan kualitas alutsista. Belum mencukupi, kalau tidak ingin disebut sangat kurang dan ketinggalan teknologi. Dua pertiga alutsista marinir adalah alutsista jadul. Hanya tank amfibi BMP-3F, MLRS RM Grad / Vampire dan ranpur LVTP yang relatif masih baru. Jelas tidak cukup untuk kekuatan 3 Pasmar. Ranpur LVTP marinir adalah hibah dari Korea Selatan sebanyak 15 unit.
TNI AL mempunyai belasan kapal perang jenis LST (Landing Ship Tank) dan 6 kapal perang LPD (Landing Platform Dock). Seluruh LPD relatif masih berusia muda produksi PT PAL Surabaya. Untuk LST sebagian sudah diperbaharui dengan hadirnya LST Bintuni Class produksi galangan kapal swasta dalam negeri. Tercatat ada 9 unit LST yang sudah selesai dibangun hasil karya beberapa galangan kapal swasta dalam negeri. Masih ada yang harus dibangun untuk mencapai target 14 unit tahun 2024. Kapal perang LST dan LPD sangat berkaitan erat dengan mobilitas lintas laut militer pasukan marinir dan bagian dari SSAT Angkatan Laut Indonesia.
Pergerakan antarpulau pasukan marinir dan alutsistanya pasti menggunakan kapal perang jenis LST dan LPD. Infrastruktur untuk armada angkut lintas laut militer sudah memadai dan baru. Yang belum adalah pemenuhan ketersediaan tank dan ranpur amfibi, roket multi laras, UAV, meriam altileri, peluru kendali jarak pendek dan helikopter tempur untuk pasukan serbu pantai. Dalam upaya pemenuhan kebutuhan alutsista marinir menurut pandangan kita penggunaan tank boat antasena buatan galangan kapal swasta nasional di Banyuwangi bisa menjadi pertimbangan. Tank boat antasena dan ranpur AAV7A1 diniscayakan bisa menjadi kombinasi striker amfibi yang saling melapis dalam operasi serbu pantai. Antasena mengawal pendaratan ranpur AAV7A1 dengan perlindungan tembakan dan rudal, mempunyai kecepatan jauh lebih baik dari tank amfibi BMP-3F.
Skenario operasi militer menyerbu dari laut biasanya didahului dengan penerjunan pasukan intai amfibi atau mengirimkan pesawat intai nir awak. Kemudian dengan road map intelijen yang diperoleh, sejumlah jet tempur TNI AU melakukan pengeboman di beberapa titik pantai ditambah gempuran tembakan dari beberapa KRI yang mengawal operasi amfibi. Kemudian LST dan LPD mengeluarkan tank amfibi BMP-3F,BTR-50 dan LVTP untuk berenang menuju titik tumpu pendaratan. Disini titik kritisnya. Maka peran tank boat antasena yang lincah dan cepat mengawal pendaratan pasukan marinir menuju titik tumpu di pantai menjadi penting untuk berhasilnya pendaratan. Tank boat antasena bisa memuat puluhan pasukan diantar sampai bibir pantai.
Pasukan marinir yang mengawal pulau-pulau terluar di perbatasan negeri termasuk Natuna tentu memerlukan alat bantu intai pesawat nir awak atau UAV. Peran UAV sangat membantu mengurangi mobilitas patroli pantai dan laut lepas pantai. Peran UAV dalam manajemen pertempuran dan atau pertahanan terintegrasi untuk saat ini dan seterusnya akan sangat dominan. Masa depan network centric warfare sangat dipengaruhi oleh UAV dan satelit militer. Marinir tentu menjadi bagian dari SSAT dan interoperability antar satuan tempur. Pemenuhan kebutuhan alutsista untuk marinir yang beriorientasi network teknologi digital seperti tank boat antasena, ranpur AAV7A1, MLRS, short range missile, helikopter dan UAV diharapkan bisa segera direalisasikan. Ayo dong dipercepat, negara kita negara kepulauan, penguatan taji pasukan serbu pantai adalah prioritas.
****
Jagarin Pane / 14 Maret 2022