Perjanjian kerjasama pertahanan (Defence Cooperation Agreement /DCA) antara Indonesia dengan Singapura ditandatangani tanggal 27 April tahun 2007 di Bali. Namun selama 15 tahun DCA tidak berjalan karena menunggu ratifikasi masing-masing negara. Akhirnya dengan UU No 3 tahun 2023 tanggal 3 Januari 2023 DCA diratifikasi. Mulai tahun ini Indonesia mempersilakan jiran mungilnya Singapura untuk mempergunakan wilayah laut dan udara Indonesia di kepulauan Riau sebagai arena latihan militer. Meski terpisah secara undang-undang, DCA termasuk satu "paket pemicu" dengan perjanjian ekstradisi. Juga penguasaan kembali kontrol penerbangan (Flight Information Region/FIR) di kepulauan Riau kepada Indonesia mulai September 2022.
Seperti kita ketahui taji militer Singapura adalah salah satu yang terkuat di rantau ASEAN saat ini. Negeri yang luasnya hampir sama dengan pulau Bintan ini mempunyai berbagai jenis alutsista canggih. Seperti seratusan jet tempur F16, F15 dan F35. Singapura memiliki armada laut yang kuat dengan sejumlah kapal perang fregat canggih dan kapal selam terbaru. Semua alutsista Singapura berlabel teknologi terkini dan terdepan dibanding tetangga ASEAN nya. Belum lagi alutsista matra darat yang menggerunkan. Seluruh alutsista tiga matra sudah terintegrasi dalam network centric warfare. Hanya saja belum pernah diuji dalam latihan militer gabungan skala besar.
Memiliki kuantitas dan kualitas alutsista yang terdepan namun kesulitan untuk menggelar latihan militer, itulah kendala Singapura selama hayat dikandung badan. Sejumlah aset jet tempurnya ada yang dititipkan di AS dan Australia. Punya banyak kapal perang dan kapal selam modern namun teritori udara dan lautnya seperti sangkar burung. Maka DCA dengan Indonesia yang baru diratifikasi awal tahun ini sangat melegakan "sesak nafas" Singapura yang membutuhkan udara segar, area laut dan udara yang luas untuk latihan militer. Singapura pantas dan harus berterimakasih dengan Indonesia. Keduanya memang ditakdirkan sejarah untuk bertetangga. Bertetangga yang baik tentunya.
Wajar saja Singapura harus mempunyai kekuatan militer modern. Negeri sejahtera itu dikelilingi tetangga besarnya Malaysia dan Indonesia. Perjalanan sejarah masa lalu, memisahkan diri dari Malaysia dan konfrontasi Dwikora adalah bagian dari cara pandang pemikir strategis Singapura untuk membangun kekuatan militer berkarakter sarang lebah. Doktrin militernya kira-kira begini: berani ganggu, kami sengat. Bahasa perangnya, pre emptive strike, berani masuk digebuk. Dan alat pemukul gebuknya jet tempur F16, F15, F35 dan kapal selam adalah kekuatan pukul strategis yang menggetarkan.
Kesediaan Indonesia meratifikasi kerjasama pertahanan dengan Singapura menjadi fundamen penting dalam mata rantai kerjasama yang saling bermanfaat diantara keduanya. DCA satu paket dengan perjanjian ekstradisi yang sudah diratifikasi pertengahan Desember tahun lalu. Dengan perjanjian ekstradisi ini maka tidak ada lagi rumah pelarian bagi para buronan koruptor di Singapura. Bahkan perjanjian ini berlaku surut 18 tahun ke belakang. Selama puluhan tahun buronan koruptor Indonesia bisa bersembunyi dengan aman di negara pulau itu bersama duit haramnya.
Soal pengawasan aktivitas militer Singapura yang melakukan latihan di perairan kita nantinya, tidak perlu khawatir. Ada dalam kontrol militer Indonesia yang terukur. Markas Kogabwilhan Satu saat ini sudah ada di Tanjung Pinang, Armada Satu dengan gelar kekuatan sekitar 35 KRI berpangkalan di Bintan. Di Batam ada 1 batalyon pasukan Marinir. Pangkalan militer di Natuna sudah eksis dengan ribuan prajurit dan alutsista yang tergabung dalam brigade komposit Gardapati.
Gugus tempur laut dengan sejumlah KRI sudah ada di Natuna. Kemudian skuadron jet tempur F16 di Pekanbaru, skuadron jet tempur Hawk di Pontianak dan Pekanbaru mampu mengawal teritori udara Kogabwilhan Satu. Termasuk Skuadron pesawat nir awak, instalasi radar berlapis aktif pasif di Natuna. Di Tanjung Pinang sudah tergelar sejak lama radar tiga dimensi yang mampu mengendus pergerakan pesawat asing radius ratusan kilometer. FIR juga ada dalam kontrol Indonesia. Artinya Kogabwilhan Satu dapat mengawasi aktivitas latihan militer Singapura.
Area latihan militer yang dapat digunakan Singapura selama 25 tahun adalah Alpha Satu ke arah pulau Tebing Tinggi Riau. Kemudian Alpha Dua di Timur Singapura dan Bravo ke arah utara mendekati Natuna. Persetujuan ini dalam pandangan kita tidak terlepas dari perspektif dinamika Indo Pasifik dan Laut China Selatan. Bahwa potensi konflik berskala besar sudah terpetakan dengan jelas. Singapura yang punya kekuatan militer gahar bukanlah ancaman militer bagi Indonesia. Tetapi jika Singapura menganggap Indonesia sebagai ancaman itu bagian dari doktrin sarang lebahnya. Nah ratifikasi DCA ini menunjukkan itikad baik Indonesia menjunjung nilai persahabatan dan kerjasama yang sudah terjalin selama ini.
Perjanjian "paket segitiga sama sisi" DCA, ekstradisi dan FIR adalah keberhasilan diplomasi dua negara yang saling berinteraksi. FIR bagi Indonesia adalah kembalinya marwah teritori udara dan kontrol udara sepenuhnya di Natuna dan kepulauan Riau. Perjanjian ekstradisi sangat membantu memberantas kejahatan lintas negara utamanya pemberantasan korupsi. Sementara DCA sangat membantu Singapura untuk mengasah kemampuan militernya sekaligus berterima kasih pada abang besarnya Indonesia. Dan bagi si abang besar terbuka pula kesempatan mengajak si adik untuk lebih peduli dengan potensi konflik besar di kawasan. Abang sudah mempersilakan untuk digunakan. Jangan disalahgunakan ya dik.
****
Jagarin Pane / 13 Januari 2023