Setahun perjalanan Prabowo memimpin Kementerian Pertahanan, gerak langkah cepatnya untuk memenuhi kebutuhan alutsista TNI perlu diapresiasi. Posisi geostrategis dan geopolitik Indonesia jika dikawinkan dengan dinamika konflik kawasan membuat kita sadar diri dan tahu diri. Bahwa sejatinya pagar pengaman teritori kita belum memadai. Prabowo melihat itu dalam kacamata out of the box. Bahasa kerennya beyond visual range.
Contoh terakhir ditemukannya drone bawah air milik angkatan laut China di perairan strategis selat Makassar beberapa hari yang lalu. Ini menunjukkan bahwa potensi infiltrasi militer asing melalui teknologi drone dan atau kapal selam sangat jelas. Jalur ALKI 2 selat Makassar adalah kawasan ideal jalur kapal selam karena perairannya dalam. Pesawat Adam Air yang tenggelam di selat Makassar bisa ditemukan melalui kapal selam mini tanpa awak milik AS di kedalaman 8.000 meter.
Luas teritori tanah dan air negeri ini seluas Eropa. Payung pelindung teritori seluas itu hanya dikawal oleh empatpuluhan jet tempur dan tigapuluhan kapal perang striking force. Memang secara data ada 8 skadron tempur yang dimiliki TNI AU namun yang bergigi untuk berkelahi hanya 3 skadron tempur alias hanya empatpuluhan. Demikian juga dengan data kekuatan angkatan laut yang memiliki sekitar 160 KRI. Hanya seperlimanya yang berkualifikasi striking force dipimpin Martadinata Class.
Lantas mengapa baru sekarang tergopoh-gopoh sampai terengah-engah baru menyadari urgensi pemenuhan kebutuhan alutsista negeri yang masih belum sampai pada kriteria minimal. Jawabnya simpel karena pendahulunya tidak melihat dalam kacamata visi beyond visual range. Jadi ya santai mawon, tidak ada ancaman untuk kita sampai tigapuluh tahun mendatang. Wong kita itu bersahabat dengan semua. Kita gak punya musuh and gak perlu kesusu apalagi misuh-misuh.
Siapa juga yang cari musuh. Tapi bukankah sahabat dari sahabat kita berpotensi jadi musuh kita. Atau mitra besar kerjasama ekonomi kita bisa jadi musuh kita. Konflik Timur Tengah contohnya. Meski berbaju egoisme kelompok puritan konservatif yang mudah diadu domba sesungguhnya adalah hasrat menggebu untuk penguasaan sumber daya energi fosil. Lihat saja Irak dan Libya sekarang siapa yang menguasai sumber daya energi fosil disana. Jadi musuh masa depan adalah mitra kita sendiri terutama yang haus sumber daya energi limited.
Dua hot spot di teritori kita saat ini yaitu perairan Natuna dan Ambalat bisa jadi di kemudian hari bertambah. Di perairan Arafuru misalnya yang juga kaya dengan sumber daya ekonomi fosil. Menjaga wilayah dua hot spot meski dalam kondisi damai tetap memerlukan energi ekstra berupa pengerahan sejumlah KRI setiap hari dengan dukungan patroli jet tempur.
Beredarnya publikasi anggaran tahun 2021 untuk penguatan alutsista TNI tentu menggembirakan kita semua. Kita akan membeli beragam jenis alutsista disamping memodernisasi alutsista eksisting. Ada penambahan yang siginifikan untuk jet tempur, pesawat intai, helikopter, radar, kapal perang fregat, kapal selam, peluru kendali berbagai jenis, drone, tank amfibi dan lain-lain. Termasuk menyempurnakan sistem manajemen pertempuran yang dikenal dengan network centric warfare. Pertengahan bulan ini ada seremoni peresmian kapal selam dan sejumlah KRI di Surabaya.
Memahami kebutuhan alutsista TNI sama dengan memenuhi kebutuhan rasa aman kita sebagai bangsa. Termasuk juga marwah dan harga diri bangsa. Rasa aman itu seperti tidak bermakna manakala kita sedang berada dalam kondisi aman. Padahal kondisi dan garansi aman itu tercipta karena ada institusi tentara yang senantiasa mengawal republik siang malam tanpa jeda. Oleh sebab itu sangat pantas dan wajar pengawal republik dicukupi kebutuhannya dengan alutsista canggih dan berkelas.
Kekuatan alutsista TNI yang modern, berteknologi canggih, interoperability adalah nilai marwah dan harga diri republik. Kualitas dan kuantitas berbagai jenis persenjataan untuk mengawal teritori negeri kepulauan adalah model diplomasi militer. Pengerahan sejumlah KRI dengan dukungan drone dan jet tempur di Ambalat setiap hari dan selama ini, bagian dari diplomasi militer. Dampaknya telah menihilkan infiltrasi dan manuver militer jiran disana. Bandingkan dengan keadaan sepuluh tahun yang lalu.
Maka pemenuhan kebutuhan alutsista TNI utamanya angkatan laut dan udara adalah capital gain dalam investasi pertahanan negeri. Bukan belanja sia-sia, bukan pula sebagai kebutuhan nomor dua. Belanja alutsista adalah untuk eksistensi negeri dan akan berguna selama bertahun-tahun. Selama waktu itu pula ada garansi rasa aman dan sekaligus rasa bangga memiliki alutsista canggih dan berkualitas. Dan bagi negara lain kekuatan militer dan alutsista kita menjadi penggentar untuk berlaku tidak pantas. Jadi bukan untuk perang semata tetapi bisa menjadi formula untuk mencegah perang atau konflik. Selamat tahun baru 2021.
****
Jagarin Pane / 02 Januari 2021