Boleh dibilang hot spot paling strategis sekaligus paling
bergengsi untuk dikawal dan dijaga ketat tidak lain adalah Kepulauan Natuna di
Laut Cina Selatan (LCS). Saat ini pembangunan
pangkalan militer sedang berjalan disana dengan anggaran ratusan milyar untuk
membesarkan pangkalan udara dan laut yang sudah ada saat ini. Tujuannya jelas agar
Natuna mampu menjadi pusat pertahanan teritori berkarakter lebah berikut isian
segala macam alutsista.
Natuna memang harus disaranglebahkan dalam pola
pertahanan teritori agar keinginan untuk mengganggu apalagi mencaplok dari
penganut ekspansionis setidaknya bisa terhalangi. Meski tidak tertutup kemungkinan sarang lebah
itu mampu dibakar habis oleh kekuatan besar itu melalui pertempuran terbuka
skala besar. Jujur saja kalau berhadapan
head to head secara militer jelas kita kalah kelas dengan si lidah naga.
Armada KRI, menegakkan teritori laut NKRI |
Sejalan dengan itu pangkalan udara Supadio di Kalbar juga
dikembangkuatkan sebagai basis militer respon cepat dan bersama pangkalan AL
Pontianak berfungsi sebagai pangkalan sinergitas dengan pangkalan militer di
Natuna. Indonesia tidak lagi main-main dengan diplomasi gaya Cina yang manis
dibibir tapi pahit di kenyataan. Nyatanya
Cina telah membangun pangkalan militer skala besar di pulau karang Fiery Cross Spralty
yang jarak tempurnya mampu menjangkau Natuna.
Indonesia after 2018 adalah sebuah wajah yang diyakini
punya kemampuan ekonomi dan militer yang jauh lebih baik dari sekarang ini. Khususnya
pembangunan kekuatan militer maka mulai tahun 2018 kekuatan pengawal republik
sudah mendapatkan titik tumpu pertahanan yang mampu mengcover seluruh wilayah
tanah air. Wilayah yang masih bolong saat ini, ruang udara Bengkulu, Tambolaka,
Morotai, Singkawang sudah dicover oleh instalasi radar militer canggih.
Termasuk juga alat cegat, usir dan pukulnya sehingga “doa selamat” yang
dilantunkan di satuan radar Saumlaki sudah mampu dijalankan oleh jet tempur
yang disebar Kohanudnas di beberapa titik tumpu pertahanan udara.
Natuna after 2018 adalah etalase hilir mudik alutsista
taktis dan strategis TNI. Bergantian jet
tempur Sukhoi SU35, SU30, SU27, F16, T50 mendatangi pangkalan udara Ranai untuk
saling isi, saling lengkap, saling sinergi menjaga pagar teritori yang di utara
perairannya sudah ada gerakan militer saling intip antara penganut klaim
teritori. Demikian juga dengan pangkalan AL Natuna sudah disebar berbagai jenis
KRI kombatan, Ahmad Yani Class, Diponegoro Class, Bung Tomo Class, Martadinata
Class, dan tentu saja kapal selam. Bergiliran hilir mudik untuk menyatakan dengan
jelas bahwa ini adalah wilayah teritori republik Indonesia.
Navy Base Surabaya, kekuatan pukul utama |
Sementara daratan Natuna, sudah tersedia 1 brigade
kombatan gabungan yang terdiri dari 1 batalyon raider, 1 batalyon arhanud, 1
skuadron Penerbad, 1 batalyon marinir dan 1 batalyon paskhas berikut sejumlah
alutsista yang menyertainya. Ada Oerlikon
Skyshield, ada Pantsir-S, ada Apache, ada Mi35, ada Astross, ada UAV dan
seterusnya. Tidak tertutup kemungkinan
penyediaan tempat bagi sarana labuh dan bekal ulang beberapa kapal perang dan
jet tempur negara lain seperti AS dan Australia.
Memperkuat pertahanan di Natuna sesungguhnya bukan untuk
melawan Cina tetapi untuk menyatakan sikap secara militer bahwa kita adalah
pemilik teritori Natuna secara sah dan tak terbantahkan. Kita ketahui bahwa keinginan Cina untuk
menguasai seluruh teritori laut dan pulau-pulau di LCS (Paracel, Spratly)
belakangan ini sangat intensif dan terang-terangan. Perairan yang diklaim itu
bersinggungan dengan perairan ZEE Natuna, meski katanya Natuna tidak
termasuk. Tetapi pernyataan diplomatik itu
boleh jadi akan melenakan kita jika kita tidak tahu lidah diplomatik tidak
bertulang dan boleh jadi di kemudian hari menyemburkan lidah api ke Natuna.
Makanya kita pun bersiap agar Natuna mampu melindungi
dirinya dengan konsep sarang lebah.
Angkatan laut dan udara sebagai kekuatan utama akan terus
dikembangkuatkan untuk mendukung ketahanan dan kedaulatan teritori. Tahun 2018 nanti kita sudah punya setidaknya 5
kapal selam baru dari jenis Changbogo Class dan Kilo Class. Sementara armada kapal perang permukaan sudah diperkuat
dengan beberapa kapal fregat baru dengan persenjataan canggih. Demikian juga
dengan angkatan udara, kita sudah punya Sukhoi SU35, tambahan SU30/27 dan F16.
Anggaran militer berbasis PDB tentu akan mampu mengangkat
kemampuan dan daya tempur militer kita karena sejatinya kita masih butuh banyak
kapal perang pemukul berbagai jenis utamanya fregat, destroyer dan kapal selam. Kita juga masih butuh beberapa skuadron
tempur untuk memperkuat taji kedaulatan udara. Tahun 2018 adalah tahun permulaan
hasil karya jelas modernisasi militer kita dan tahun-tahun mendatang setelah
itu akan semakin kelihatan postur kekuatan TNI yang sesungguhnya, gahar.
Natuna after 2018 adalah mulai terbangun dan terstrukturnya
bentuk sarang lebah pertahanan. Sudah
ada kesiapan menjemput segala ancaman meski tentu saja kita tidak boleh
sendirian berhadapan dengan lidah naga.
Kita tetap butuh teman lain yang membenci si juluran lidah naga. Teman itu
bisa bernama Jepang, Australia dan AS. Juga Vietnam dan Filipina yang sudah
terang-terangan bersengketa dengan juluran si lidah naga. Andai saja lidah naga itu membatasi
julurannya maka konflik di LCS tidak akan separah ini. Tapi apa boleh buat,
nasi putih sudah menjadi bubur panas.
Kita harus bersiap karena yang kita hadapi adalah
ketidakpastian iklim teritori. Kalau kita
kuat secara militer maka setidaknya ada jaminan percaya diri untuk
mempertahankan teritori sembari tetap melakukan terobosan diplomatik. Diplomasi negara dengan bayang-bayang
kekuatan militer diniscayakan akan mampu menimbulkan efek segan dan sungkan
pada pihak manapun yang hendak menganggu apalagi mencaplok teritori NKRI. Jadi perkuatan militer adalah satu-satunya peta
jalan yang patut didukung dan diapresiasi.
****
Jagarin Pane/08022016