Indonesia dan China baru saja menandatangani kerjasama jual beli batubara seharga 20,6 trilyun rupiah untuk tahun 2021. Sementara dengan AS, Indonesia diberi "hadiah" perpanjangan GSP ( General Specialized Preference)untuk ribuan produk ekspor kita ke AS sehingga mampu bersaing di pasar domestik AS. Sekaligus membuat surplus milyaran dollar neraca perdagangan bagi Indonesia. Fasilitas GSP ini sudah berlangsung sejak tahun 1985. AS juga akan berinvestasi besar di Indonesia termasuk di Natuna.
Dua hidangan terbaru dan terkini diatas disajikan di depan teras rumah kita. Kedua sahabat kita yang kekar itu mengetuk pintu rumah kita bergantian dengan gaya Hulk yang sopan banget. Tapi manakala sedang tumpah adrenalinnya keduanya jadi Hulk yang pamer otot berwarna hijau dan sorot mata merah tajam. Kerjasama ekonomi terbaru dengan kedua negara besar dan hebat itu yang sudah berlangsung lama patut kita sambut dengan sukacita.
Seandainya China bermain halus di Laut China Selatan (LCS), istilahnya "Njawani" begitu, mungkin saja situasi di LCS tidak sepanas sekarang. Tidak tergesa-gesa dan mengedepankan pola diplomasi yang cerdas, bermain cantik ketika berhadapan dengan seterunya AS. Bukankah prediksi ke depan China akan menjadi kekuatan ekonomi nomor wahid sejagat. Raih dulu itu sembari membangun kekuatan militer dan aliansi militer. Dengan Rusia misalnya. Dan tidak sekarang klaim itu, setidaknya sepuluh tahun ke depan. Pola China berinvestasi dan donasi hutang ke sejumlah negara sudah cukup memberikan pengaruh. Sabar gitu loh.
Sayangnya untuk urusan LCS dilakukan dengan tergesa-gesa dan kasar. Mentang-mentang, pamer kekuatan dan menyakitkan beberapa negara ASEAN. AS dan sekutunya menemukan blunder besar dan kemudian melakukan counter attack yang mendebarkan. Pemilik hegemoni dan polisi dunia ini kemudian bergerak lincah ke segala lini mengopinikan China sebagai tersangka hukum laut internasional.
AS dengan cepat merangkul India untuk merapatkan barisan bersama Jepang dan Australia. Kebetulan India juga sedang melotot dengan China. NATO yang nun jauh disana diajak bergegas. Saudara sepupunya Inggris siap sedia mengirimkan armada lautnya ke LCS. Dan ini yang terpenting, AS sudah, sedang dan akan menggeser separuh kekuatan militernya ke Indo Pasifik. Kemudian akan membangun Armada ke1 khusus untuk LCS. Alamak.
Nasi sudah menjadi bubur ayam, sehingga makan rendang pun harus cepat mengunyahnya karena di depan halaman rumah ada kegaduhan. Semburan api lidah naga membuat LCS demam tinggi dan bergelombang. Perubahan cuaca yang cepat ini membuat sejumlah negara ASEAN juga Taiwan dan Jepang memperkuat barikade militer. Termasuk Indonesia. Semua bergegas. Taiwan pesan 60 jet tempur F16 Viper, ratusan peluru kendali pertahanan pantai dari AS dan lain-lain. Jepang berlari cepat bangun kekuatan armada laut dengan puluhan destoyer, merubah LHD jadi kapal induk F35 yang landing take off vertikal. Sudah dan sedang menerima ratusan jet tempur siluman F35 dari AS.
Negara-negara ASEAN seperti Vietnam dan Filipina beradu cepat memperkuat militernya. Sama halnya dengan kita. Kelihatannya hanya Malaysia yang tidak bergegas memperkuat militernya. Padahal sudah 90 kali perairan zona ekonomi eksklusif Malaysia disatroni China termasuk pesawat pengebom strategisnya. Kementerian Pertahanan Indonesia sepanjang perjalanan tahun ini dengan langkah cepat berupaya mendatangkan sejumlah alutsista strategis dan gahar dari sejumlah negara produsen alutsista. Semua dalam proses dan harus cepat.
Namun sejalan dengan itu kerjasama ekonomi dengan China tetap berlangsung mulus. Jepang dengan China oke-oke saja tuh. Investasi China di Vietnam lancar dan besar. Perdagangan AS dengan China meski diwarnai saling embargo tetap berjalan. Kerjasama ekonomi Indonesia dan China sangat baik dan menguntungkan kedua belah pihak. Sejatinya saat ini tidak ada satupun negara yang tidak melakukan kerjasama ekonomi antar negara. Simbiosis mutualistis, saling memerlukan dan ketergantungan satu sama lain.
Maka lihatlah China ketika dia memulai konfrontasi di LCS dan dengan India. Meski kuat secara militer tetapi dia sendirian. Secara diplomasi dia kalah opini. Dan secara hukum internasional jelas salah. Artinya diluar kerjasama ekonomi, China menjadi musuh bersama. Ambisi teritori China yang dilakukan secara terburu-buru, sembrono dan egois telah menimbulkan luka diplomatik bagi sejumlah negara. Namun karena simbiosis mutualistis tadi dan untuk kepentingan nasional masing-masing negara, tetap tersenyum dan bertransaksi dengan China, juga sebaliknya.
Maka disini berlaku hukum tegas: Si vis pacem parabellum. Jika ingin damai bersiaplah untuk perang. Perseteruan NATO dan Pakta Warsawa di era perang dingin membuktikan hal ini. Puluhan ribu tank,artileri, roket, rudal dan senjata nuklir berikut ratusan ribu prajurit kedua belah pihak digelar di sepanjang perbatasan Eropa Barat dan Timur. Dan perang tidak terjadi selama lebih dari 40 tahun. Pada saat yang sama pertumbuhan ekonomi dunia tumbuh dengan cemerlang. Yang terjadi kemudian Pakta Warsawa bubar, Uni Sovyet bubar, Yugoslavia bubar, Jerman Barat dan Timur bersatu.
Maka untuk menghadapi arogansi militer China, kita harus secepatnya memperkuat militer dan alutsista. Wajib hukumnya karena ini menyangkut marwah dan harga diri bangsa. Semua negara menganut paham ini. Oleh sebab itu mari kita sambut dengan gembira tawaran Jepang untuk menguatkan armada angkatan laut kita dengan 8 kapal perang fregat. Kita sambut tawaran AS untuk menguatkan angkatan udara kita dengan jet tempur dan lain-lain. Namun sebagai warga dunia di bumi bulat bundar ini kita tetap melakukan kerjasama ekonomi antar negara yang saling menguntungkan termasuk dengan China.
Dengan memperkuat militer dan kemampuan berdiplomasi, diniscayakan ada rasa segan untuk melakukan konfrontasi terbuka. Lihat saja pamer kekuatan AS dan China di LCS dan Selat Taiwan, silih berganti, saling gertak, saling ejek, saling lempar statemen. Dan hanya sebatas itu. Karena keduanya sebenarnya saling segan menyegani, dan tetap saja damai, dan tetap saja melakukan kerjasama ekonomi skala besar.
Yuk kita berbenah cepat dengan pakem yang sama, jika ingin damai bersiaplah untuk perang. Segera perkuat tentara kita dengan alutsista gahar, dengan jumlah yang sepadan dengan luasnya teritori kita. Kita bangun dan kembangkan manajemen pertempuran modern dengan kemampuan network centric warfare. Dan yang terpenting tetap menjaga iklim netralitas. Menjaga hubungan baik dengan China, dengan AS, Jepang, dengan negara-negara ASEAN. Eh hampir kelupaan tetangga selatan kita Australia sebut juga dong. Habis dia bertetangga suka gak ikhlas sih.
****
Jagarin Pane / 29 Nopember 2020