KRI Bung Tomo 357 baru saja digertak oleh dua kapal pengawas nelayan
Vietnam, bahkan sebelumnya kapal KKP Hiu Macan harus mengalah dan melepaskan 4
kapal nelayan Vietnam di perairan zona ekonomi eksklusif (ZEE) Natuna Riau.
Baru setelah KRI TOM 357 melepaskan tembakan peringatan, kapal pengawas nelayan
Vietnam menjauh.
Untung saja pangkalan militer Natuna sudah operasional sehingga 3 kapal
perang Bung Tomo Class sudah ready for use di segala cuaca disana. Jadi cepat
tanggap dengan rentang kendali jarak yang lebih pendek. Meski begitu intensitas pelanggaran teritori laut
ZEE kita terang-terangan dan lebih sering dimasuki kapal nelayan asing.
Bung Tomo Class, mengawal Natuna |
Maka sebenarnya kebutuhan untuk mengisi tiga armada tempur TNI AL adalah
prioritas untuk segera dipenuhi. Tidak lagi berpola pikir kita tidak punya
musuh. Lha memang kita tidak suka cari
musuh, akan tetapi mencermati dinamika kawasan di sekitar kita boleh jadi
setiap saat bisa tercipta musuh dengan sendirinya.
Contohnya ya itu tadi wong kapal setingkat pengawas nelayan Vietnam saja
berani menggertak kapal perang kita yang dikomandani setingkat kolonel lho.
Bagaimana kalau yang menggertak kapal Fregat Vietnam, bisa saja kan. Atau
tiba-tiba kapal selam Kilo nya muncul dari dalam laut. Jadi kita tidak mencari
musuh tetapi dalam lintas perjalanan pengawalan teritori bisa saja terjadi
insiden dan musuh tercipta dalam waktu singkat.
Oleh karena itu program pengadaan alutsista matra laut kita harus nomor
satu yang paling diprioritaskan selain
matra udara. Kita kan negara maritim, negara yang halaman luasnya bernama perairan
yang punya kekayaan sumber daya alam.
Kehadiran armada kapal perang kita yang melakukan patroli laut adalah
kewajiban yang harus ditunaikan sepanjang jam dan sepanjang hari.
Armada kapal selam akan menjadi 8 unit thn 2024 |
Sebaran pangkalan sudah diperbanyak.
Lantamal-Lantamal sudah siap menampung kapal-kapal perang kita. Isiannya yang masih kurang. Saat ini jumlah kapal perang kita ada di
kisaran 160-165 KRI berbagai jenis, separuhnya kapal tua. Dan untuk KRI Striking Force yang kita miliki
baru sampai pada tingkat Light Fregat.
Belum nendang jika berhadapan dengan negara di kawasan ini.
Martadinata Class perlu dilanjut, dari dua yang sudah dibangun paling tidak
masih butuh 7 kapal perang lagi dari kelas ini. Kemudian pegadaan kapal perang
jenis Destroyer sudah diulang-ulang disampaikan. Bahkan petinggi Kemhan sudah bolak balik mengincar
Destroyer kelas Iver. Tapi menurut kita langkahnya kurang tegap dan cepat.
KRI Striking Force kita minimal harus ada kekuatan penggentarnya yaitu
Destroyer. Memperbanyak KCR (Kapal Cepat
Rudal) juga bagus sebagai kapal penyengat hit and run. Namun untuk mewibawakan teritori laut yang
disekitarnya ada tumpang tindih klaim selayaknya kita harus mempercepat proyek
Destroyer. Dalam lima tahun mendatang harus ada minimal 6 Destroyer lengkap
dengan persenjataannya. Itu kalau mau disebut berwibawa.
Jadi proyek KCR dengan PT PAL jalankan terus, termasuk proyek PKR
Martadinata Class lanjutkan. Dan mulailah dipercepat pengadaan kapal perang
jenis Destroyer. Ini soal kecepatan
pengambil keputusan, jalur koordinasi antar kementerian bisa diparalelkan. Kalau perlu dekati Presiden dan Parlemen. Jelaskan argumennya dengan kecerdasan.
Soal ancaman nomor satu adalah bencana alam kita sudah sepakat. Tapi soal terciptanya musuh setiap saat kita
juga harus cerdas dong menghadapinya. Salah
satu bentuk kecerdasan itu ya dihadapi dengan kekuatan militer, mengerahkan
kapal perang Striking Force yang sudah
terisi dengn berbagai jenis persenjataannya.
Contoh paling dekat adalah konflik India dan Pakistan, masing-masing punya
kekuatan militer yang modern dan dua-duanya punya senjata nuklir. Dan dua-duanya jadi segan untuk memperbesar
eskalasi konflik. Itulah salah satu
kegunaan kalau punya militer yang kuat.
Adu otot terukur dalam bingkai kecerdasan diplomasi. Lha kalau ototnya gak kuat diketawain dong
sama yang menggertaknya. Jadi kuatkanlah
sekuat tenaga.
****
Solo, 3 Maret 2019
Jagarin Pane