Diawali
dengan serangan udara di pagi hari itu Selasa tanggal 5 Maret 2013, 8 jet
tempur Angkatan Udara Malaysia yang terdiri dari 3 Hornet dan 5 Hawk
membombardir kawasan “hunian” pejuang Sulu yang melakukan infilltrasi
sejak 9 Februari 2013 lalu di Kampung
Tanduo Lahad Datu Sabah. Serangan itu
kemudian dilanjutkan dengan pengerahan ribuan tentara darat Malaysia berikut
persenjataan berat berupa kendaraan lapis baja dan artileri. Mereka menyisir kawasan yang telah diduduki
pasukan Sulu selama hampir sebulan untuk mencari dan menemukan gerilyawan
terlatih veteran Moro Filipina Selatan.
Serangan
emosional tentara Malaysia itu sebenarnya mewakili jalan pikiran petinggi pemerintahan
dan militer di Kuala Lumpur yang merasa kalah malu karena tak mampu mendeteksi
kehadiran milisi bersenjata di daratan Sabah sejak 9 Februari 2013 lalu.
Langkah militer Malaysia yang overdosis itu justru melengkapi dua “kekalahan” sebelumnya yaitu
ketidakmampuan intelijen Malaysia mendeteksi kehadiran milisi dalam jumlah ratusan dan pola runding
yang berlarut dan buntu sehingga kemudian menjadi berita mendunia. Mestinya sejak mencium adanya pergerakan
milisi bersenjata di negerinya militer Malaysia
sudah harus melakukan serangan dadakan.
Sehingga tak sampai ceritanya menjadi berita dunia berminggu-minggu.
Pada akhirnya opini yang berkembang di luar Malaysia memberikan kesan bahwa
Sabah memang bukan milik sejati persekutuan tanah melayu.
Wilayah yang diklaim itu |
Ini baru
halaman pertama, kira-kira begitu, meminjam istilah Anas Urbaningrum. Halaman berikutnya sangat diyakini bahwa
perang gerilya dan sabotase akan berlangsung lama di Sabah. Dan itu harus diselesaikan melalui jalan
perundingan, bukan jalan militer. Milisi
Sulu sudah tentu mendapat aliran senjata dari saudara seperjuangannya milisi Moro
Mindanao. Senjata-senjata itu jumlahnya
diprediksi bisa mempersenjatai minimal 10 batalyon milisi. Belum lagi jika ada senjata selundupan yang
disusupkan intelijen asing untuk “membantu” perjuangan Sultan Sulu mendapatkan haknya.
Malaysia
yang selama ini selalu menyanyikan lagu berirama “Meng” sekarang dipaksa harus mendengarkan lagu
berirama “Di” yang gemanya sudah mendunia.
Maksudnya irama “Mengklaim” sekarang sudah diimbangi dengan syair
populer “Diklaim”. Dan tanah yang
diklaim itu tak tanggung-tanggung yaitu sebuah “sawah” yang bernama Sabah yang
kaya sumber daya alam mineral itu. Tak
usahlah diceritakan lagi proses historis tentang kebaikan Sultan Brunai
memberikan Sabah ke Sultan Sulu karena jasa baiknya memerangi pemberontak di
North Borneo itu. Sejarah sudah
mencatatnya, termasuk dimasukkannya Sabah dan Sarawak dalam pembentukan negara
Malaysia tahun 1963.
Sesungguhnya
menghadapi perang gerilya tidak perlu menghadirkan alutsista seperti jet tempur
F18 Hornet. Cukup diatasi dengan pesawat
coin (counter insurgency) seperti Bronco atau Super Tucano. Ketika Indonesia membeli 16 Super Tucano
baru-baru ini, banyak pihak di Malaysia mentertawakan. Nah sekarang ketika mereka berhadapan dengan
gerilyawan nyata, baru terasa kebutuhan akan pesawat jenis itu. Hornet atau Sukhoi kan untuk supremasi udara,
duel udara antar negara, bukan untuk melawan gerilya. Tetapi apa boleh buat perang di Lahad Datu
telah dimulai, ada aksi pasti ada reaksi.
Sulu tidak sendirian. Pejuang
Filipina Selatan yang lain tidak akan membiarkan luka dan duka saudaranya yang
menuntut hak. Dan kita akan menyaksikan cerita
dan berita berdarah itu pada halaman berikutnya.
Gerilyawan terlatih itu |
Malaysia
terperangkap persis di mulut “kepala anjing” pulau Kalimantan dimana Lahad Datu
berada. Umpan yang diberikan milisi Sulu
di mulut itu memberikan beberapa muntahan yang kemudian menjadi serangan militer
emosional yang overdosis. Boleh jadi
dalam serangan senjata berat itu militer Malaysia menyatakan diri sebagai
pemenang tetapi bagi pejuang dan gerilyawan itu justru menjadi pemicu dan
pembangkit adrenalin untuk melakukan balas dendam berupa sabotase atau perang
gerliya.
Milisi
Sulu yang didukung MNLF (pejuang Moro) sejatinya mengenal betul wilayah
Sabah. Apalagi di wilayah itu terdapat
ratusan ribu warga Malaysia dari etnis Sulu.
Seperti yang dikatakan Habib Hashim Muhajab, Ketua Dewan Komando Islam
MNLF, pejuang Moro ketika melakukan perlawanan terhadap pemerintah Filipina
menjadikan Sabah sebagai tempat latihan militernya. Tetapi yang lebih seram dari pernyataan
Hashim adalah meski pemimpin MNLF belum secara resmi menyatakan memerintahkan
pasukan untuk berlayar ke Malaysia namun ribuan milisi Moro menyatakan siap
diterjunkan dalam pertempuran.
Pemerintah
Filpina dihadapkan pada posisi serba salah.
Tidaklah mungkin selamanya mereka berada dalam posisi yang sama dengan
pemerintah Malaysia. Apalagi sudah jatuh
korban di pihak milisi Sulu yang nota bene adalah warga Filipina. Apakah
Pemerintah Filipina akan terus membiarkan warganya dibombardir tentara tetangga
sebelahnya. Tentu tidak. Meski secara diplomasi selalu disuarakan agar
milisi Sulu segera pulang kampung, tetapi bukankah lidah memang tidak bertulang. Secara diplomasi dan hubungan bertetangga
perlu disuarakan hal itu tetapi secara intelijen dan militer apalagi yang
menyangkut keselamatan dan harga diri bangsa tentu Filipina tidak sepolos itu.
Indonesia
sendiri berkepentingan mengawal kawasan perbatasan Sabah dimana Ambalat berada.
Saat ini ada 9 KRI dan beberapa kapal kecil bersenjata termasuk pasukan Marinir
melakukan patroli di perairan Sebatik dan Nunukan. TNI AD juga melipatgandakan
pasukannya untuk mengantisipasi limpahan limbah konflik yang tak terduga
termasuk antisipasi eksodus ribuan TKI dari Sabah. Pemerintah sudah mengantisipasi jika terjadi
kelangkaan bahan pokok di Sebatik dan Nunukan sebagai akibat konflik Sabah. Pertarungan klaim di Sabah sudah masuk dalam
wilayah adu jotos, maka kita harus siap-siap menjaga ring itu agar jangan
sampai mereka keluar ring yang berarti masuk wilayah kita. Kalau masuk wilayah kita, kita jotos juga,
mengapa tidak.
********
(Jagvane /
09032013)