Mengapa Indonesia perlu memperkuat postur militernya, jawabnya seperti judul diatas, no peace without strength, tidak ada kedamaian tanpa kekuatan. Ini adalah bunyi pernyataan yang dikumandangkan Menteri Pertahanan Prabowo Subianto. Disamping itu perkuatan militer kita saat ini karena kita tertinggal dengan negara lain di kawasan. Luas teritori negeri kepulauan yang harus dilindungi membutuhkan kekuatan alutsista dalam kuantitas dan kualitas yang memadai.
Program besar Menhan Prabowo membuka wawasan pertahanan nasional kita yang sampai saat ini ternyata masih rapuh. Angkatan Udara dan Angkatan Laut memerlukan percepatan ketersediaan alutsista strategis bernilai gentar. Dua hotspot Natuna dan Ambalat saat ini dan seterusnya memerlukan ketersediaan alutsista matra laut dan udara yang canggih. Pulau Kalimantan yang akan menjadi ibukota baru Indonesia saat ini hanya dipayungi 1 skadron jet tempur ringan Hawk di Supadio AFB. Padahal Kalimantan berhadapan langsung dengan 2 hotspot Natuna dan Ambalat.
Maka wajar saja ketika daftar belanja alutsista strategis TNI mengemuka di publik. Pengadaan 16 kapal perang heavy frigate canggih karena kita hanya punya 7 frigate dan 5 diantaranya sudah sepuh. Frigate Ahmad Yani Class yang 5 unit itu sudah terlalu lama mengabdi, sudah lebih setengah abad dari tahun pembuatannya 1967. Frigate TNI AL hanya 2 unit yang "milenial" dan terkini teknologinya yaitu KRI Raden Eddy Martadinata 331 dan KRI I Gusti Ngurah Rai 332.
Pengadaan 16 heavy frigate itu tidak beli murni tapi menggunakan metode transfer teknologi. Dua frigate Iver Class dengan desain Arrowhead Babcock Inggris sedang dibangun di PT PAL Surabaya. Serapan tenaga kerja dan tenaga ahli domestik menjadi catatan kebanggaan. Kemudian kontrak efektif pengadaan 6 kapal perang baru frigate Fincantieri Class bersama 2 kapal perang ready for use Maestrale Class diniscayakan menjadi angin segar spirit jalesveva jayamahe. Negara kepulauan sangat pantas mempunyai kapal perang heavy frigate.
Demikian juga dengan perkuatan angkatan udara kita. Saat ini kita punya 16 jet tempur Sukhoi SU27/SU30, dan 33 jet tempur F16. Penambahan kekuatan fighter sangat diperlukan. Luas teritori dirgantara kita terluas di ASEAN harus mampu dimarwahkan kedaulatannya dengan ketersediaan jet tempur baru seperti Rafale dan F15 Eagle sebagaimana publikasi yang beredar. Namun dalam pandangan kita untuk rencana pengadaan jet tempur F15 Eagle dari AS akan lebih efektif jika kita menambah inventori jet tempur F16 Viper.
Kita sudah lama dan sangat berpengalaman dalam mengoperasikan "keluarga" F16. Sejak tahun 1990. Apalagi saat ini insinyur dan teknisi kita sudah mampu melaksanakan overhaul F16 dari teknologi lawas menjadi F16 dengan teknologi terkini. Sanggup bertarung di udara secara beyond visual range. Tenaga ahli dan teknisi TNI AU sejauh ini sudah menghasilkan 5 unit F16 canggih dari 10 F16 blok 15 OCU yang direncanakan. Semuanya dikerjakan di Skadron Teknik Iswahyudi AFB dengan supervisi Lockheed Martin AS.
Asal tahu saja bahwa Indonesia adalah satu-satunya negara di dunia yang diberi akses transfer teknologi dari pabrikan Lockheed Martin. Taiwan yang lebih banyak jumlah F16 nya dari Indonesia dan sekarang menambah puluhan jet tempur F16 Viper tidak diberikan akses transfer teknologi. Artinya secara pemeliharaan dan logistik suku cadang lebih efisien dengan jet tempur F16. Menambah merek jet tempur setidaknya membuka kurikulum baru soal operasional dan pemeliharaan.
Jadi kombinasi Sukhoi, Rafale dan F16 sudah sangat baik dari sisi operasional, tidak banyak merek. Sukhoi dan Rafale double engine dan F16 single engine. Ideal menurut kita, syukur-syukur keluarga Sukhoi SU35 bisa dihadirkan memperkuat skadron Sukhoi. Penting juga dicatat agar proses pengadaan jet tempur baru tidak bertele-tele dan mudah pindah ke lain hati. Skadron tempur baru sudah dibentuk di Natuna. Isian pesawat tempurnya adalah T50 Golden Eagle buatan Korsel yang sudah dan sedang diinstal dengan radar ELM 2032 Elta Israel dan persenjataan rudal. Setidaknya Golden Eagle hari-hari ini mengisi ruang patroli udara di kawasan Natuna bersama skadron UAV.
Pernyataan Menhan Prabowo sebagaimana judul diatas adalah justifikasi kuat dan berlaku universal di diseluruh dunia. Lengkapnya adalah No prosperity without peace, but no peace without strength. Tidak ada kemakmuran tanpa perdamaian tetapi tidak ada perdamaian tanpa kekuatan. Ini pernyataan yang disampaikan Menhan ketika memberi pembekalan untuk penugasan Duta Besar Indonesia di luar negeri baru-baru ini.
Artinya pembangunan kekuatan ekonomi harus dikawal dengan pembangunan kekuatan militer. Kekuatan ekonomi produk domestik bruto Indonesia saat ini ada di urutan ranking 16 besar dunia. Nah ternyata kekuatan militer kita menurut GFP (Global Fire Power) juga berada di urutan 16 besar dunia. Kita bangun terus perkuatan ekonomi kesejahteraan kita seirama dengan perkuatan militer, dua-duanya seiring sejalan. Kemakmuran tercipta dengan kedamaian dan kedamaian harus dijaga dengan kekuatan. Jelas kan.
****
Jagarin Pane / 31 Oktober 2021