Pulau
besar di timur Indonesia itu kembali menjadi headline berita dengan gugurnya 8
prajurit TNI di hari yang sama pada dua tempat yang berbeda. Serangan tanggal 21 Februari 2013 di
Tingginambut yang berjarak 20 km dari kota Mulia Puncak Jaya dan lokasi lain
yang berdekatan yaitu Sinak, sekitar 40 km dari Tingginambut dikenal sebagai
sarang sipil bersenjata yang melakukan perlawanan. Serangan itu merupakan pancingan serius untuk
TNI namun sejauh ini Cilangkap tidak terpancing dan tetap mengedepankan tertib
sipil di Papua.
Namun yang
lebih menyakitkan justru pernyataan Ketua Bidang Pemantauan dan Pelanggaran HAM
pada KOMNAS HAM Natalius Pigai sehari kemudian yang sama sekali tidak
mencerminkan seorang pegiat HAM. Kalimat
komentarnya yang sangat tajam itu menyebutkan wajar saja TNI ditembak mati dan
tidak melanggar HAM, karena kerjanya hanya tidur dan nongkrong. Meski pada akhirnya orang ini minta maaf
kepada Mabes TNI dihadapan petinggi TNI di Cilangkap tanggal 26 Februari 2013
tetapi sesungguhnya pernyataannya itu cermin dari sikap antipatinya atas
kehadiran tentara di Papua.
Sudah minta maaf dia |
Sebenarnya
ruang otonomi khusus untuk Papua sudah disetujui, yang berarti jumlah kucuran
dana bilangan trilyun sudah digelontorkan untuk memajukan harkat dan martabat
sejak tahun 2001. Tetapi kekisruhan terjadi seputar aliran dana itu yang
menurut “pihak yang tak kebagian”, tidak sampai kepada maksud hati untuk
mensejahterakan. Maksud hati adalah
untuk membangun bangsaku di bumi Papua tetapi ketika transfer dana sudah sampai
di ujung jalan, yang terjadi kemudian ramai-ramai membangun “Bank Saku” di
lingkaran yang mendapat kesempatam berkuasa, katanya begitu. Atau mereka yang terusik jaringan
kekuasaannya menjadikan organisasi sipil bersenjata sebagai bumper dan kartu As
untuk berlindung sembari berujar dalam hati, kalau ente ganggu kekuasaan ane,
ente coba buka aliran dana otsus, kami akan bersuara merdeka.
Maka yang
terjadi adalah tentara atau polisi selalu menjadi pusat akumulasi benturan.
Alat negara sah ini menjadi kambing yang di cat hitam manakala provokasi kelompok-kelompok
tadi melakukan hasutan kepada sipil bersenjata yang sepertinya dijadikan “alat
negara” bagi mereka untuk membunyikan suasana tidak stabil. Tentara yang ditugaskan disana adalah untuk
menjaga wilayah perbatasan yang panjangnya lebih 800 km. Namanya wilayah
perbatasan wajar dong ada pergantian pasukan non organik, sama seperti yang
terjadi di Kaliamantan karena jumlah pasukan organik di wilayah itu tidak saja
kurang mencukupi. Tetapi juga sesuai
sirkulasi tugas tentara di manapun di negeri ini, atau dimana pun di dunia pergantian
adalah sesuatu yang layak dilakukan untuk penyegaran.
Sebagai
bagian dari NKRI, Papua memang harus mengejar ketertinggalannya. Otonomi khusus sudah diberikan lebih sepuluh
tahun yang lalu namun tak banyak perubahan yang dilakukan karena dana yang
disalurkan banyak yang salah urus atau masuk ke bank saku tadi. Perjuangan Papua
untuk menyetarakan sumber daya manusia adalah bagian utama bagi dua provinsi di
pulau itu termasuk membangun infrastruktur. Inilah pekerjaan rumah bersama dari
elemen masyarakat yang berinteraksi di sana.
Jakarta sudah menjalankan tugasnya dengan membagi anggaran istimewa bagi
provinsi kaya itu. Kalau Jakarta terlalu banyak campur tangan dalam distribusi
dan penggunaan anggaran nanti dikira intervensi.
Elemen
masyarakat yang masih menyuarakan kemerdekaan sebenarnya masuk kategori
kelompok minoritas. Namun kelompok yang
terdiri dari banyak faksi ini memang sengaja “dipelihara” oleh kalangan
tertentu di internal Papua yang kemudian lewat jaringan LSM di luar negeri
selalu menyuarakan pemisahan diri. Boleh
jadi karena yang disuarakan berulang-ulang kesannya kok seperti opini pembenaran
mayoritas. Demikian juga dengan penugasan tentara di
Papua yang disuarakan jaringan bayaran tadi.
Suaranya pasti tak jauh dari ungkapan: Tarik tentara dari Papua.
Dalam bingkai
kebencian ini, jika yang menjadi korban adalah tentara yang nota bene mendapat
penugasan dari negara dan sah secara undang-undang, tidak ada satu pun LSM atau
yang sebangsa dengannya menyuarakan keprihatinan atau ikut berduka cita. Coba jika yang mati itu OPM atau yang
sebangsa dengannya, dijamin riuh rendah caci maki, umpatan, pelanggaran HAM
berat, mirip orang kerasukan setan. Dan
ketika dunia merespons, semakin beringas dia berkomentar dan menuntut. Makanya untuk kasus terakhir ini meki terasa
menyakitkan di hati gugurnya 8 prajurit TNI dan 4 warga sipil, Cilangkap tidak
terpancing emosi.
Mencermati
dan memahami dinamika Papua ke depan adalah mencoba berkakulasi dengan perilaku
negara penganut hegemoni terhadap agresi ke negara pemilik sumber daya alam
fosil seperti yang terjadidi Irak dan Libya. Perebutan sumber daya alam tak
terbarukan itu juga terjadi pada negara calon adidaya dekade berikut Cina dalam
sengketa Laut Cina Selatan dengan beberapa negara ASEAN. Penempatan Marinir AS di Darwin Australia dan
Guam dalam bahasa diplomasi selalu berdendang dengan syair untuk menjaga
keseimbangan dengan militer Cina. Tetapi
kita tidak boleh percaya begitu saja dengan perilaku ambigu dan standar ganda negara
adidaya itu.
Strategi Mabes
TNI menempatkan 1 divisi Marinir di Sorong dan bagian lain di Papua termasuk
menempatkan 1 skuadron jet tempur di Biak adalah jawaban tanpa harus berlagak
sikap. Tetapi dalam ukuran konflik untuk
“melawan gajah dan herdernya” perlu juga dipertimbangkan melakukan strategi
aliansi pertahanan dengan negara lain yang diniscayakan punya gigi. Dengan
berbagai pertimbangan perspektif sebenarnya Cina bisa dijadikan sahabat
pertahanan dengan tema perjanjian ”jika engkau tercubit, aku pun ikut tercubit dan kita bisa sama-sama marah
pada yang mencubit”. Perkuatan diri tentara
sangat perlu dan sedang dalam modernisasi.
Pertimbangan bersekutu dengan sesama bangsa Asia utamanya Cina bukan
sesuatu yang “malu ah” karena ke depan perebutan sumber daya alam semakin seru,
Papua termasuk didalamnya.
********
Jagvane /
04 Maret 2013