Perairan
luas di kawasan timur Indonesia sesungguhnya masih sepi dari pengawalan
angkatan laut. Laut Arafuru yang berbatasan langsung dengan Australia
membentang mulai dari Merauke sampai Tanimbar dan Timor Leste dari sisi
strategi pertahanan dinilai sangat strategis. Perairan ini merupakan pagar
utama mengamankan Papua dari gangguan infiltrasi atau serangan angkatan laut
negara lain jika hendak menginvasi Papua.
Laut Arafuru juga bernilai historis patriotik ketika konflik Trikora pecah
awal tahun 60an. Yos Sudarso dengan
sejumlah awak dan kapal perang KRI Macan Tutul bersemayam di perairan itu
ketika hendak melakukan infiltrasi ke Papua setelah terjadi baku tembak dengan
armada angkatan laut Belanda.
Pergelaran
kekuatan angkatan laut sudah saatnya tidak lagi harus berpusat di Surabaya. Sehingga manakala ada kegiatan operasi laut
berupa Guskamla (Gugus keamanan laut) dan Guspurla (Gugus tempur laut) dapat mengambil
sejumlah KRI yang sudah didomisilikan di
Kupang atau Merauke dengan model shift misalnya untuk masa 3 bulan operasi. Cara-cara ini tentu lebih efektif dari sisi
kecepatan reaksi dan meminimalkan biaya perjalanan panjang dari Surabaya atau
Makassar. Tapi yang terpenting dari semua itu tentu saja nilai kehadiran
sejumlah KRI yang selalu ada di perairan Arafuru atau perairan Banda untuk
mewibawakan teritori.
KRI Fatahillah, korvet pemukul strategis TNI AL |
Permasalahannya
tentu ada di seputar ketersediaan jumlah KRI untuk laut dalam. Minimal yang diperlukan hadir di perairan
timur Indonesia seperti Arafuru adalah jenis korvet atau KCR-60. Kapal perang
kita dari jenis korvet diperkirakan berjumlah 24 unit dengan dominasi dari
Parchim Class. Pangkalan angkatan laut Kupang
dan Merauke yang sudah berkualifikasi Lantamal sudah selayaknya diisi
masing-masing dengan minimal 3 KRI berkualifikasi korvet termasuk adik kelasnya
kapal patroli cepat minimal 3 unit untuk menunjukkan kehadiran setiap saat di
pagar halaman belakang rumah kita.
Australia
selalu aktif menghadirkan sejumlah kapal perangnya di laut Timor dan sekitarnya
termasuk menjadikan Darwin sebagai pangkalan utama angkatan lautnya. Ini menunjukkan sebuah identitas pentingnya
kehadiran kapal perang sebagai bentuk kewibawaan menjaga border perairan.
Identitas kewibawaan ini sudah selayaknya
dilakukan oleh TNI AL dengan mengirim sejumlah KRI untuk dipangkalkan di
Kupang dan Merauke selama beberapa waktu misalnya 3 bulan berganti shift. Sehingga minimal ada 6 KRI berkualifikasi
korvet yang hadir setiap saat mengawal Arafuru dan Banda.
Yang
menggembirakan tentu saja sudah tersedianya satuan radar modern di Kupang,
Saumlaki, Timika dan Merauke sehingga tidak ada lagi wilayah udara yang blank
spot menghadapi infiltrasi dari selatan yang memang suka usil itu. Seluruh satuan radar itu sudah terintegrasi
sehingga dapat dipantau di pusat komando angkatan udara di Jakarta. Yang belum
tentu saja jet tempur untuk melakukan perburuan dan penyergapan terhadap
penerbangan tanpa identitas yang terdeteksi.
Sudah ada skuadron Sukhoi di Makassar namun rasanya kok masih terlalu
jauh lokasinya dan lagi untuk intersep mestinya tidak efisien jika menjadi tugas Sukhoi. Cukup F16 atau F5E yang sudah seharusnya dipangkalkan
di Kupang.
Biak
sebenarnya paling siap untuk menerima kehadiran skuadron jet tempur. Sudah tersedia 1 batalyon Paskhas disana
berikut satuan radarnya. Kita sangat
berharap untuk program jangka pendek tiga tahun ke depan sudah tersedia 1
skuadron jet tempur F5E yang mengisi pangkalan udara Biak dimana 1 flight
diantaranya digeser ke Kupang untuk melakukan patroli udara. Jika hibah F5E dari Korsel direalisasikan
maka kita punya 2 skuadron F5E, maka sudah selayaknya 1 skuadron dimutasikan ke
Biak. Jangan setengah hati memaksimalkan
Biak yang sudah menanti sekian lama menunggu kehadiran jet tempur TNI AU
menetap disana.
Formasi KRI Parchim Class dalam sebuah latihan tempur laut |
Ketersediaan
skuadron jet tempur ringan untuk patroli udara di kawasan timur Indonesia
khususnya antara Biak, Kupang, Timika dan Merauke serta kehadiran yang terus
menerus kapal perang RI di perairan Arafuru merupakan “fardhu kifayah” bagi
kita. Karena ini merupakan bagian dari rukun kesempurnaan dalam konsep
berpertahanan di bingkai wilayah NKRI. Kalau
kita mengabaikan rukun fardu kifayah berpertahanan ini maka kita sangat berdosa
pada sebuah negara yang bernama Indonesia. Kita sudah punya mata telinga yang lengkap
berupa satuan radar yang saling berinteraksi di kawasan itu. Maka rukun
berpertahanan itu akan semakin lengkap dengan kehadiran 1 skuadron jet tempur
ringan untuk menjaga kewibawaan teritori udara diatas Arafuru dan Laut Timor. Demikian juga dibentuknya Lantamal Kupang dan
Merauke akan menjadi sebuah kesia-siaan jika tidak segera diisi dengan sejumlah
KRI minimal KCR 60 atau korvet.
Laut
Arafuru, laut Banda dan laut Timor adalah wilayah kita apakah itu menyangkut
wilayah teritori pantai dan zona ekonomi eksklusif. Kehadiran berupa patroli laut dan udara yang
terus menerus di wilayah ini merupakan nilai wajah kita sesungguhnya. Jika kita abai maka itulah raut wajah kita
sesungguhnya yang tidak mampu menampilkan nilai kewibawaan yang sejatinya
memiliki wilayah yang berwibawa. Betapa
tidak, posisi strategis negara ini yang menunjukkan kewibawaan teritorinya akan
menjadi sebuah ironi manakala kita tidak mampu menjaganya, bahkan mengabaikannya.
Mestinya ke
depan ini tidak ada lagi alasan kurangnya armada kapal perang atau kurangnya
jet tempur sebagai alasan tak mampu menjaga wilayah. Mulai tahun ini dan seterusnya akan banyak
berdatangan alutsista baru dan bergigi antara lain berupa kapal perang dan jet
tempur. Kalau tahun ini mungkin kita masih bisa menghapus dosa fardu kifayah
itu namun ketika matahari tahun 2015 sudah memancarkan sinar hangatnya kita sudah harus mampu menjaga kewibawaan
teritori darat, laut dan udara dengan kebanggaan yang pasti. Jika itu pun belum bisa dilakukan maka
satu-satunya jalan adalah menengadahkan tangan dihdapan Sang Pencipta: Ya Allah
jagalah dan selamatkanlah negeri kami yang kaya raya ini.
*****
Jagvane / 01
Juli 2012