Indonesia kita adalah warisan karunia terbesar yang kita dapatkan sampai hari ini. Negeri kepulauan terbesar ini sedang menggiatkan pembangunan ekonomi kesejahteraan. Indikator on the spot nya terlihat dengan data pertumbuhan ekonomi yang menggembirakan. Penguatan infrastruktur berbagai sektor memperlihatkan kemajuan yang signifikan. Seperti pertambahan ribuan kilometer jalan tol, peningkatan kualitas jalan raya nasional, pelayanan angkutan kereta api, bandara semakin megah, penambahan puluhan bendungan, angkutan laut, pelayanan publik. Termasuk memegahkan pintu masuk perbatasan darat (border nation) sebagai simbol marwah negeri.
Pembangunan ekonomi menghasilkan pertumbuhan ekonomi dan peningkatan produk domestik bruto (PDB), meski belum sampai pada kriteria kesejahteraan proporsional warga bamgsa. Setidaknya saat ini pendapatan per kapita Indonesia menyentuh angka US$ 4.900 Dollar, masuk golongan negara berpenghasilan menengah atas. Sementara rasio utang terhadap PDB 39% masih dalam kriteria wajar. UU APBN memberikan limit rasio utang sampai 60%. Pertumbuhan ekonomi jelas akan menaikkan PDB kita. Data BPS menunjukkan kekuatan ekonomi Indonesia saat ini berada pada ranking 16 besar dunia, nomor satu di ASEAN dan dengan demikian masuk grup elite G20. Duapuluh negara dengan kekuatan ekonomi terbesar.
Investasi pertahanan dan pembangunan ekonomi kesejahteraan sepanjang 15 tahun terakhir ini menunjukkan sinergitas seiring sejalan. Ini sebenarnya yang kemudian ingin diingatkan kembali oleh Menteri Pertahanan Prabowo Subiyanto baru-baru ini. Bahwa untuk membangun infrastruktur, membangunkuatkan aktivitas industri hilirisasi, mengembangkan UMKM dan sebagainya harus diimbangi dengan pembangunan kekuatan pertahanan. Sumber daya alam negeri ini sangat beragam dan kaya raya. Semuanya harus berada dalam payung perlindungan pertahanan dan keamanan yang kuat. Ini bisa dilihat dari penguatan investasi pertahanan selama program minimum essential force (MEF) TNI. Berbagai jenis alutsista strategis sudah menjadi aset pertahanan negeri yang membanggakan.
Dinamika geopolitik, perubahan iklim, keterbatasan ketersediaan sumber daya alam tak terbarukan adalah situasi tak tergantikan untuk saat ini dan yang akan datang. Potensi konflik di kawasan Indo Pasifik yang menguat harus cepat diantisipasi. Tidak ada lagi ruang zero enemy manakala potensi konflik sudah sampai pada kriteria common enemy. Dinamika di Laut China Selatan (LCS) meski dalam tataran diplomatik selalu mengupayakan code of conduct namun dalam strategi militer antisipasinya adalah penguatan pertahanan. Ancamannya sudah jelas dan sampai pada terminal the real enemy. Itu sebabnya maka barikade pertahanan di Natuna saat ini diperkuat. Radar pertahanan saja berlapis-lapis, bersama sejumlah KRI dan BAKAMLA saling bersiaga. UAV dan jet tempur saling mengisi jadwal patroli. Di darat Brigade Komposit Gardapati yang terdiri satuan Infantri, Artileri, Arhanud, Kavaleri, Marinir, Kopasgat sudah ready for use.
Negara kepulauan ini harus diikat dengan kekuatan pertahanan sinergitas. Doktrin berani masuk digebuk, maknanya adalah tiga matra TNI harus kuat dan saling berinterkoneksi. Kita bersyukur saat ini TNI sudah memiliki manajemen pertempuran konektivitas yang dikenal dengan network centric warfare. Termasuk pertambahan aset pertahanan yang signifikan untuk TNI AL dan TNI AU. Karena dalam dinamika geopolitik saat ini dan struktur bangunan negeri kita yang berpulau-pulau dan lebih banyak perairannya, mengharuskan adanya postur angkatan laut dan udara yang kuat. Perbatasan teritori kita dominan perairan. Artinya dalam doktrin pre emptive strike maka kita harus mempunyai kekuatan AL dan AU yang mencukupi untuk menghancurkan musuh di perbatasan teritori.
Sebenarnya percepatan pertambahan kekuatan pertahanan yang kita lakukan saat ini, karena Indonesia selama ini "terlena" dengan filosofi zero enemy. Faktor lingkungan ASEAN yang damai selama 40 tahun menjadikan fokus pembangunan ekonomi nomor satu. Investasi pertahanan seadanya. Nah setelah lidah naga mulai mengacak-acak ketenteraman kawasan dan jiran sebelah pamer kekuatan di Ambalat barulah kita sadar betapa kekuatan pertahanan kita tertinggal. Lalu Presiden SBY menggagas dan memulai penguatan investasi pertahanan tahun 2010 dengan program MEF. Kemudian selama 4 tahun terakhir Menhan Prabowo mempercepat pencapaian dengan extra ordinary. Kesannya seperti menggebu-gebu padahal sebenarnya baru ingin mencapai target minimal kekuatan alutsista kita yang tertinggal selama ini.
Pengadaan 42 jet tempur Rafale, 25 radar GCI, 2 kapal perang heavy fregate merah putih, 2 kapal perang PPA dari Italia, 2 kapal selam, 22 helikopter Black Hawk dan lain-lain menunjukkan keseriusan pemerintah membangun investasi pertahanan. Pembangunan ekonomi kesejahteraan memang harus seiring sejalan dengan pembangunan pertahanan karena keduanya adalah kekuatan komprehensif sebuah negara. Maka jangan heran disamping banyaknya seremoni peresmian pembangunan ekonomi dan infrastruktur, kita juga banyak kedatangan berbagai jenis alutsista. Baik yang produksi dalam negeri maupun pengadaan lintas negara. Ke depan juga akan terus seperti ini karena kita akan terus melaju menuju Indonesia maju, Indonesia yang sejahtera dan disegani. Kekuatannya adalah keberlangsungan pembangunan ekomoni kesejahteraan dan investasi pertahanan. Keduanya harus seiring sejalan. Nusantara baru Indonesia maju. Semoga.
****
Jagarin Pane, 21 Juli 2024