Peta Konflik Laut Cina Selatan |
Semangat ASEAN ketika asosiasi pertemanan pertetanggaan ini dilahirkan tahun 1967 adalah menginginkan kerjasama ekonomi diantara sesama jiran sekaligus ingin menghapus aura permusuhan 4 negara diantara kumpulan 5 negara (pada waktu itu) Indonesia, Malaysia, Singapura, Filipina. Sementara Thailand menjadi basis deklarasi ASEAN karena peran mediasi dan fasilitasinya. Akhirnya Bangkok menjadi tempat kelahirannya.
Sekarang anggotanya menjadi 10 negara dengan tambahan Vietnam, Kamboja, Laos, Myanmar dan Brunei Darussalam. Sementara Timor Leste diperkirakan akan segera bergabung dengan ASEAN tahun 2012. Selama perjalanan 3 dekade kerjasama ekonomi itu, sampai tahun 1997 ketika reformasi dan demokratisasi di Indonesia dimulai, iklim pertetanggaan diantara negera ASEAN sejuk-sejuk saja. Kalaupun ada riak selalu diselesaikan dengan semangat kebersamaan dan kesetaraan. Itu karena ada peran kepemimpinan dari sosok Presiden RI kedua Soeharto yang mampu mengawal kedekatan dan keakraban ASEAN bersama pemimpin ASEAN yang lain.
Ketika reformasi bergulir tahun 1998 peran kepemimpinan Indonesia di mata anggota ASEAN lainnya memudar. Ketika sedang mengalami rubuhnya pertahanan ekonomi di tahun itu dan sesudahnya, kita bertarung dengan kesulitan ekonomi dan sekaligus bertarung di ruang politik yang sangat liberal. Tak sempat mikirin tetangga, wong omahe dewe ribut memperebutkan nasi, kursi dan posisi, serba amburadul. Dampak krisis ekonomi itu membuat kondisi pertahanan TNI menurun drastis, alutsista yang beroperasi alakadarnya.
Dalam kondisi seperti itu tiba-tiba perseteruan memperebutkan Sipadan dan Ligitan muncul ke permukaan dan akhirnya dengan melalui persetujuan Mahkamah Internasional Sipadan dan Ligitan lepas dari RI sejak tanggal 17 Desember 2002. Merasa diatas angin jiran sebelah itu semakin provokatif dan kemudian kembali mengklaim kawasan Ambalat yang berada di selatan Sipadan dan Ligitan sebagai teritorinya, lalu mengerahkan sejumlah kapal perangnya untuk show of force. Ini yang membuat TNI marah besar lalu mengerahkan sejumlah KRI dan batalyon marinir ke kawasan itu. Sejak saat itu TNI berkesimpulan bahwa Malaysia tidak lagi mengedepankan cara bertetangga yang baik, dan ini harus disikapi dengan cara pandang militer, anda jua kami beli. Maka bisa kita saksikan warna lukisan pertahanan kita sampai saat ini, Tarakan menjadi basis militer segala matra, Sebatik diperkuat dengan pasukan marinir dan radar pantai. Berau jadi pangkalan heli tempur, Sangatta jadi pangkalan militer berskala besar, Kalimantan diperkuat 2 Kodam, pengadaan alutsista besar-besaran dimulai dan sudah menampakkan hasilnya, industri hankam dalam negeri diberdayakan.
Dinamika kondisi kawasan kemudian berubah karena Cina mulai melakukan provokasi dengan armada angkatan lautnya di Laut Cina Selatan. Vietnam dan Filipina berteriak lantang. Malaysia pasang kuda-kuda, armada ke tujuh AS mondar-mandir di LCS. Ini menunjukkan bahwa pusat konflik masa depan ada di seputar LCS. Cina akan tetap pada klaimnya dan berusaha untuk mendapatkan kawasan yang kaya akan sumber daya alam tak terbarukan itu dengan cara apapun. Cina juga sedang membangun kekuatan milternya (AU dan AL) untuk menjadikannya sebagai kekuatan regional yang disegani, tahun 2020 targetnya.
Menyikapi kondisi seperti ini ada pemikiran di sebagian kalangan negara anggota ASEAN untuk menghadapi klaim teritori dan kekuatan militer Cina yang tangguh itu dengan cara mempersekutukan kekuatan pertahanan negara-negara ASEAN menjadi sebuah aliansi atau pakta pertahanan. Wacana ini perlu dikedepankan karena konflik LCS berpotensi menyulut tarung militer yang melibatkan negara besar dan berpengaruh. Itu sama dengan membiarkan halaman rumah kita terbakar oleh amuk emosi amunisi berbaju militer. Itu sebabnya perlu penangkal cegah dengan mempersekutukan kekuatan militer negara anggota ASEAN, misalnya.
Arah pertahanan ASEAN bisa ditumbuhkan menjadi Pakta Pertahanan jika mampu dihilangkan rasa saling curiga diantara negara ASEAN. Misalnya Indonesia dengan Malaysia, Singapura dengan Malaysia, Thailand dengan Kamboja. Persyaratan lain yang mesti dijelaskan adalah pembubaran FPDA yang dibentuk untuk mengimbangi kekuatan militer Indonesia pada era Dwikora. Kalau memang Pakta Pertahanan ASEAN merupakan sebuah kebutuhan untuk menangkal kekuatan militer Cina yang semakin mengkhawatirkan dan mengklaim Laut Cina Selatan, atau untuk menjaga kestabilan wilayah regional ini, mestinya tidak ada sebuah negara anggotanya yang bermuka dua, pura-pura bergabung dengan pakta ini tetapi bathinnya belum menerima karena merasa masih terancam kedaulatannya oleh jirannya sendiri atau mengklaim teritori jirannya.
Indonesia, Singapura, Myanmar, Kamboja, Laos tidak punya konflik teritori dengan Cina. Sementara Vietnam, Malaysia, Filipina, Thailand dan Brunai ada saling tumpang tindih dengan “lidah naga”. Vietnam sejak lama punya sejarah konflik perbatasan dengan Cina, rakyatnya juga anti Cina, Vietnam dekat dengan Rusia sementara Kamboja dan Myanmar adalah sekutu dekat Cina. Militer Vietnam dan Kamboja secara historis punya cerita gemilang ketika mampu mengusir tentara AS dari Indocina pertengahan tahun 70an. Filipina menjadi sekutu tradisional AS, Singapura setali tiga uang. Malaysia dan Singapura bergabung dalam FPDA. Thailand dulu bergabung dengan SEATO yang sudah dibubarkan. Itulah gado-gado pertahanan negara ASEAN dan cerita historisnya. Apakah gado-gado itu bisa disatukan atau dipertemukan dalam sebuah aliansi militer, sangat tergantung pada persamaan sikap diantara negara anggotanya.
Perkuatan alutsista TNI saat ini yang sudah mulai menampakkan bentuk kekuatannya, diniscayakan mulai tahun 2014 sudah menjadi kekuatan penyeimbang diantara sesama negara ASEAN. Kemudian periode 2014-2019 diyakini akan menjadi kekuatan penggentar diantara negara jiran. Pada periode ini Indonesia diyakini sudah memiliki lebih dari 200 jet tempur berbagai jenis, 320 KRI berbagai jenis dalam tiga armada tempur, 12 kapal selam, ratusan rudal jarak menengah baik surface to surface maupun surface to air. Pada saat yang sama industri hankam dalam negeri sudah mampu memasok alutsista seperti tank, panser, roket, artileri, KCR, PKR, kapal selam, rudal, helikopter, pesawat angkut dan jet tempur. Sementara total pasukan TNI bisa mencapai 600 ribu personil dengan 3 divisi pasukan marinir, 3 divisi pasukan Kostrad sebagai pasukan pemukul reaksi cepat.
Kekuatan alutsista TNI ini diyakini bisa menjadi faktor penjinak bagi arogansi dua negara ASEAN yaitu Malaysia dan Singapura. Ingat-ingat saja rentang tahun 2007 sampai dengan 2009 ketika konflik Ambalat memanas, statement pemerintahannya dan elemen masyarakatnya melecehkan kekuatan TNI. Tahun 2010 levelnya sudah agak menurun. Tahun ini ketika berbagai proyek pengadaan alutsista digelar secara signifikan, simultan dan transparan, tensi statement government Malaysia sudah sangat menurun. Bahkan forumer mereka yang mengisi diskusi forum militer di berbagai media maya yang biasanya banyak cakap dan melecehkan RI mulai menunjukkan perubahan sikap, sudah kembali ke habitatnya, sudah mulai jinak kata pawang harimau di taman Safari. Itu artinya perkuatan alutsista TNI merupakan jawaban paling tangguh untuk memberikan “daya pukul” balasan kepada negara-negara yang meremehkan kedaulatan RI tanpa harus mengajaknya berkelahi.
Bagi Indonesia pakta pertahanan regional tidak penting-penting banget karena negeri ini dilahirkan dan dipertahankan dengan semangat cinta tanah air, nasionalisme dan patriotik. Sebuah saksi dan jalinan kisah sejarah yang tak terbantahkan. Meskipun demikian jika memang situasi dan kondisi mengharuskan demikian demi solidartias ASEAN, kita tidak menafikan itu bisa terwujud. Hanya persyaratan ekologis dan keseimbangan dalam hubungan pertetanggaan yang setara perlu dikeluarkan bisulnya, misalnya pengakhiran pakta FPDA, tidak ada klaim teritori misalnya Ambalat. Kemudian tidak menjadi negeri penampung koruptor dan dolarnya dengan dalih tak ada perjanjian ekstradisi. Sederhana kan, karena pada dasarnya cara gaul republik ini ya begitu itu, low profile, banyak menahan diri, dan selalu mengedepankan cara pandang toleransi dengan jirannya. Tapi cara pandang dan sikap itu sering ditafsirkan sebagai bentuk ketidakmampuan menjalankan diplomasi dengan jirannya.
Definsinya jelas, kita perkuat postur TNI dengan berbagai arsenal mutakhir, bergengsi dalam kualitas dan berdaya dalam kuantitas. Ini juga seirama dengan pertumbuhan ekonomi kita yang stabil, meningkat dan berdaya tahan. Kekuatan product domestic bruto, cadangan devisa, pendapatan perkapita, dan kekuatan daya beli selama tiga tahun terakhir menunjukkan indikator yang memuaskan. Itu artinya belanja alutsista kita pun makin tahun makin menggembirakan. Tahun 2014 adalah momentum untuk memperlihatkan taring dan taji TNI tetapi bukan untuk mengajak berkelahi melainkan siap siaga untuk mempertahankan kedaulatan teritori.
Kita meyakini dengan kekuatan militer yang disegani, tetangga yang pongah akan berubah sikap dan tidak lagi semena-mena mengklaim “ini milikku” atau membiarkan uang haram mengisi kantong di rekening banknya bersama sang koruptor. Sebagian negara anggota ASEAN tak punya kepentingan dengan LCS tetapi sebagai anggota pendiri ASEAN kita tidak tega juga jika melihat Vietnam, Filipina dan Malaysia melakukan tarung militer dengan Cina, jelas tidak seimbang dan itu terjadi di halaman kita. Persekutuan militer ASEAN boleh jadi merupakan kekuatan penyeimbang yang memungkinkan Cina berhitung ulang, lalu mengedepankan cara-cara diplomasi untuk penyelesaiannya. Ini memang tidak mudah karena melibatkan cara pandang yang bertolak belakang, sama-sama keras, sama-sama punya argumen. Ini memerlukan waktu bertahun-tahun dan melelahkan. Kehadiran perisai aliansi pertahanan ASEAN menurut pandangan kita merupakan salah satu cara yang diperlukan sesuai urgensi kebutuhan pada kondisi terkini demi solidaritas ASEAN. Namanya juga wacana, sah-sah saja dan realistis kan ?
******
Jagvane / 24 Agustus 2011