Thursday, October 15, 2020

Mengukur Bargaining Prabowo

Lama tak terdengar lanjutan progres pengadaan alutsista strategis Indonesia, tiba-tiba ada lampu hijau dari Washington. Isi pesannya kira-kira begini, silakan datang, kami menyambut hangat Menhan Prabowo dan shopping listnya. Ini kabar yang menggembirakan sekaligus membanggakan karena lampu merah kunjungan selama dua puluh tahun sudah padam, berganti lampu hijau.

Di sisi ini Prabowo telah memenangkan pertarungan harga diri tanpa merasa susah payah melobby dan merayu. Sementara AS melihat sudut pandang horizon tentang perspektif sosok mantan Pangkostrad ini. Sudut pandang Indo Pasifik yang dinamis dan potensi kepemimpinannya untuk Indonesia setelah 2024 menjadi poin penting terbukanya portal kunjungan ini.

Menghadapi militer China, AS perlu mitra besar, sedikit dibawah kategori sekutu. Indonesia adalah mitra besar yang perlu sekali dirangkul untuk kepentingan strategis AS di Asia Pasifik khususnya Laut China Selatan (LCS). Karakter Paman Sam biasalah, selalu "nggolek bolo" untuk mempertahankan hegemoninya di belahan dunia manapun.

Indonesia sebenarnya sedang memproses pengadaan alutsista dengan AS. Misalnya pengadaan 24 unit jet tempur F16 Viper, 6 pesawat Hercules terbaru, 8 Osprey, 8 Chinook dan 8 Apache batch 2.  Namun jujur saja sebenarnya saat ini kita dalam posisi "tersinggung" dengan kesombongan AS lewat CAATSA untuk menghalangi pembelian 11 jet tempur Sukhoi SU35 dari Rusia. Padahal kontraknya  sudah ditandatangani tahun 2018 yang lalu.

Langkah cerdas Prabowo sepanjang semester satu tahun ini melakukan proses percepatan pembelian alutsista selain dari AS. Dia kunjungi Perancis, Rusia dan Turki. Dengan Austria melakukan kontak intensif untuk bisa membeli 15 jet tempur Typhoon bekas tapi masih rendah jam terbangnya. Pesan tersirat dari semua hasrat besar Prabowo sebelum mendapat green light dari AS adalah tidak ingin berkiblat ke AS dalam pengadaan alutsista. Boleh jadi karena kekecewaannya terhadap blokade visa kunjungan ke AS.

Posisi tawar Prabowo dalam kunjungan ke AS bisa diolah dengan kemampuan diplomasi dan lobby tim Kemenhan. Misalnya berupaya semaksimal mungkin meloloskan hambatan pembelian 11 jet tempur Sukhoi SU35. Atau jika Uak Sam keberatan bisa diganti dengan sejumlah jet tempur stealth F35. Nilai kunjungan bargaining selama tiga hari mulai hari ini akan diuji dengan kalimat: apakah AS akan meluluskan permintaan Indonesia untuk mendapatkan 11 jet tempur Sukhoi SU 35 atau menggantinya dengan F35. 

Jika memang tidak  mendapatkan salah satunya atau bahkan keduanya Menhan eks Capres itu sudah siap dengan paket pengganti yaitu 2 skadron Rafale plus 1 skadron Typhoon. Artinya 24 unit jet tempur F16 Viper yang sedang berproses dilepas juga. Dua jenis jet tempur non AS, Rafale dan Typhoon  menjadi kekuatan tawar menawar Prabowo.

Lebih dari itu "mengalahnya" AS pada embargo personal terhadap Prabowo selama 2 dekade karena  melihat posisi geostrategis dan geopolitik Indonesia yang sangat penting. Indonesia dianggap paling berani berhadapan dengan China. Ketika Coast Guard China memasuki perairan ZEE Natuna, Indonesia bereaksi keras dan mengirim sejumlah kapal perang dan jet tempur.

Sejatinya menjaga stabilitas LCS harus menggunakan pakem si vis pacem parabellum. Jika ingin damai bersiaplah untuk perang. Artinya penguatan alutsista adalah kemutlakan, tidak bisa tidak. Kita harus bisa secepatnya memiliki militer dengan kekuatan pukul yang diperhitungkan. Sejalan dengan langkah itu kita harus berupaya menyeimbangkan kekuatan dengan "merapat" pada mitra yang ingin menjaga stabilitas kawasan.

Dalam program modernisasi militer Indonesia untuk angkatan udara masih memerlukan minimal tambahan 3 skadron tempur baru. Maka layak pula jika isian skadron baru itu dihuni SU35 atau F35. Dan jika tidak mendapat keduanya sah-sah saja jika kita segera merealisir pengadaan 2 skadron Rafale dan 1 skadron Typhoon. Bahkan untuk Typhoon kalau tidak ada halangan diprediksi pertengahan tahun depan sudah datang.

Bagaimanapun AS adalah sahabat yang bisa memahami harapan dan keinginan kita. Apalagi situasi LCS yang demam tinggi terus menerus memerlukan strategi kemitraan yang cerdas. Artinya untuk kepentingan nasional kita juga. Secara ekonomi kita dekat dengan China dan AS. Namun dengan pertimbangan stabilitas kawasan kita juga harus memilih langkah cerdik dalam memilih teman yang bisa menjaga kampung kita meskipun teman kita berbeda kampung.

Harapan masa depan LCS adalah stabilitas. Maka jika banyak negara di luar kawasan ikut mengambil peran, adalah sebuah kewajaran. Jepang, Australia dan Kanada sudah mengikuti langkah AS. Inggris juga sudah merapat. NATO diprediksi akan ikut menjadi payung stabilitas. Kemitraan strategis untuk menjaga stabilitas LCS memang mahal harganya. Kita dan ASEAN tentu ingin situasi ini berlaku abadi, alias tidak ada keangkuhan dan pamer kekuatan militer. Maka bargaining Prabowo yang dibawa ke AS akan menjadi headline di kawasan ini hari-hari mendatang.

****

Jagarin Pane/15 Oktober 2020