Selama empat hari terakhir suasana Republik tercinta
hiruk pikuk oleh sebuah sebab yang sama, aktor yang sama dalam sebuah judul
sinetron kisah nyata “ Nista Yang Tak Pernah Padam”. Berbulan-bulan kita
disuguhi sajian alur cerita dengan menggoreng adrenalin, memupuk kebencian,
memanen murka. Hanya karena ulah satu
orang yang menanam bibit permusuhan kebhinekaan maka yang merasakan adalah
sebagian besar rakyat Republik yang sejatinya adalah lem perekat kebhinnekaan
itu.
Suka atau tidak suka lem perekat dominan di Republik
nasionalis ini adalah Ukhuwah Islamiyah dan kultur Jawa. Ukhuwah Islamiyah
mampu mendekatkan keragaman suku dalam bingkai kesamaan religi untuk merawat Republik. Demikian juga dengan kultur Jawa yang menjadi
suku mayoritas anak negeri, adalah sebuah kultur yang menjunjung nilai budaya: Menang
tanpa ngasoraake, ngluruk tonpo bolo. Wujudnya adalah senantiasa bersikap arif
dan bijaksana dalam menyikapi segala sesuatu.
Berbulan bilang energi Republik habis terkuras untuk
sebuah tema nista yang direbus terus menerus yang menyebabkan iklim negeri
menjadi kerontang, padahal kita sedang ada di musim hujan yang basah dan
dingin. Nah ditengah iklim yang sejuk tapi kerontang itu sekali lagi
diperlihatkan suara menggema di serial sidang dalam aura pelecehan marwah,
berlagak sebagai kawan Tuhan, mengatasnamakan Tuhan, dan punya bukti dari Tuhan
lalu mengancam akan mempermalukan.
Padahal di awal serial meja hijau, seseorang itu
menampilkan suara isak dan derai air mata, terbata-bata mohon dimaafkan. Lalu karakter
arogansi muncul lagi, main ancam, main gertak, berlagak sebagai Jaksa padahal Terdakwa.
Dia tak tahu atau atau pura-pura tak tahu yang diancam adalah pemimpin
tertinggi dari “Republik Kyai” sebuah organisasi keagamaan santun dan teduh terbesar
di negeri ini bahkan di seluruh dunia, “rakyatnya” yang bernama Nahdliyin hampir
menyentuh bilangan 90 juta.
Maka murkalah Nahdliyin, maka murkalah Jamaah yang
mengamalkan Tahlil dan Qunut. Maka
sibuklah petinggi keamanan negeri untuk menyejukkan suasana, padahal hujan
sudah berkali-kali membasahi Republik, namun kali ini tak mampu mendinginkan “lapangan
rumput” yang sering diinjak-injak harga dirinya. Kalau kita bisa mengamati traffik
lalulintas yang bernama telepon, SMS, WA, Line, FB dan lain-lain, situasi di
“lalulintas transmisi “ itu benar-benar mencerminkan suasasana Republik yang
gelisah memanas.
Ketika tentara Kyai murka, lakon kembali dipertunjukkan
dengan menampilkan air muka dan tutur kata minta maaf, mohon dimaafkan, tidak
ada maksud ini itu dan seterusnya. Sebegitu mudahkah, di hari ini
mempertontonkan arogansi, di hari lain memperlihatkan wajah iba dan minta
dikasihani. Bukankah ini ciri pribadi
yang labil, yang tak mampu menguasai emosi dan jelas tak cocok jadi pemimpin.
Secara Jamiyah para tentara Kyai yang bernama Banser,
Anshor, Santri akan mengikuti garis komando panglima Kyai Rois Aam. Kalau Rois
Am bilang dinginkan suasana, semua mengiyakan. Itu secara Jamiyah, tetapi
secara Jamaah tentu perlu waktu untuk mendinginkan suasana. Sebagaimana disampaikan KH Said Aqil Siroj,
“Kepala Staf Manajemen Kyai”, ketersinggungan Nahdliyin perlu waktu untuk menetralisirnya.
Ketika suasana murka dan panas itu berkecamuk, Kyai Said
sampai kerepotan mengatur Anshor dan Banser yang sudah siap membanjiri
Jakarta. Untunglah suasana di permukaan
organisasi alias Jamiyah Nahdliyin mampu diredakan meski belum tuntas secara Jamaah.
Harus dibedakan Jamiyah dan Jamaah ya. Jamiyah itu esensinya adalah organisasi
dan Jamaah itu adalah isinya organisasi. Jadi kalau ada ummat yang mengamalkan Tahlil
dan Qunut sudah pasti dia adalah Nahdliyin meski belum tentu ada di Jamiyah.
Makanya Kesultanan Brunai yang mengamalkan Tahlil dan Qunut adalah Jamaah Nahdliyin,
itu contohnya.
Sebagaimana disampaikan KH Mustofa Bisri bahwa Kyai dan
Ulama yang ada di Indonesia itu hakekatnya sama. Mereka mewakafkan dirinya
untuk masyarakat, memberikan pelajaran ilmu pada Santrinya, memberikan contoh
adab dan akhlak. Dengan memberikan contoh akhlak dan adab itu, maka terlihat
garis wajah dan laku sikap para Nahdliyin yang tak pernah menampilkan
keangkuhan beragama, bersikap toleran dan menghargai perbedaan. Itu yang membuat bandul Republik kita terjaga
juga kesantunannya sebagai negeri Rahmatan Lil Alamin.
Nista yang tak pernah padam, boleh kita sandangkan pada
sang aktor. Pribadi yang labil, arogan
tetapi kemudian karena terdesak lalu menghiba, terisak, terbata-bata, lalu
kembali membentak, menghina, mengancam.
Lengkap sudah. Tetapi kali ini
dia berhadapan dengan kemurkaan tentara Kyai di Republik Nahdliyin. Ketika murka sudah sampai diubun-ubun, dia
menghiba lagi dan mohon maaf. Duh Gusti, kemarin sudah menista agama, sekarang
menista Ulama. Benar-benar nista yang tak pernah padam. Dia lupa bahwa
"alutsista" yang paling gahar dari para Kyai dan tentara Kyai adalah DOA.
Jadi mirip sebuah pepatah lama, “Gara-gara dia setitik
rusak Jokowi sebelanga”. Pemerintahan
kita mestinya cerdas menyikapi gerak lagak orang ini. Bukankah menjadi pemimpin
harus mampu menjaga lisan dan sikap, mampu memberikan ketenangan kepada
masyarakat yang dipimpinnya. Dan
masyarakat pun ikut senang dengan model kepemimpinannya. Hanya karena satu orang ini rusak tatanan
kebhinnekaan, rusak tatanan kerukunan berbangsa, habis energi anak negeri membahasnya. Untung saja kemurkaan tentara Kyai bisa
dikendalikan. InsyaAllah Republik Khatulistiwa ini masih berada dalam ridho
Allah SWT, amin.
****
Jagarin Pane / 05 Feb 2017