Monday, November 23, 2020

Mencermati Langkah Kuda Militer AS di LCS

Bukan AS namanya kalau tidak mengambil langkah kuda untuk menjaga posisi keunggulan militernya. Baru saja tersiar publikasi bahwa AS akan menghidupkan kembali Armada ke 1 untuk mengawal ketat perairan Laut China Selatan (LCS). Dan ini yang sangat mungkin, menjadikan Singapura sebagai pangkalan utama Armada ke 1 AS. Termasuk juga pulau Christmas di selatan Jawa.

Sebenarnya saat ini sudah ada Armada ke 7 AS yang berpangkalan di Yokosuka Jepang. Yang selama ini bermanuver di LCS ya dari gugus tempur Armada ke 7 itu dengan satu kapal induk, 20.000 pasukan, puluhan kapal pengiringnya dan 150 pesawat berbagai jenis. Namun menurut Secretary of the Navy Kenneth Braithwaite rentang kendali Yokosuka terlalu lebar, tidak efektif karena juga harus mengawal Korea Utara dan Taiwan serta memayungi Jepang.

Dalam pandangan kita sebenarnya ini adalah bagian dari strategi cerdas AS  menutup celah dan akses ALKI (Alur Laut Kepulauan Indonesia) untuk militer China ke Samudra Hindia. Sebab di timur Indo Pasifik sudah ada pangkalan militer AS di Guam, utara Papua dan Subic di Filipina yang bisa kembali digunakan setelah ditutup. Subic dan Clark adalah pangkalan militer terdepan AS dalam perang Vietnam. Juga di Darwin Australia sudah ada penempatan satu brigade pasukan Marinir AS dan salah satu pangkalan aju AL AS.

Jika Singapura jadi pangkalan Armada ke 1 AS, ini benar-benar di depan hidung kita sebab Batam dan Tanjung Pinang ada di sebelahnya. Tanjung Pinang adalah salah satu pangkalan strategis TNI AL dan sebagai salah satu mata rantai logistik militer mengawal Natuna. Sebenarnya sudah lama AS menggunakan Singapura sebagai tempat singgah, bekal ulang dan rehat untuk armada kapal perangnya. Namun volumenya tidak sering.

Singapura punya resiko tinggi jika menjadi pangkalan AL AS. Beijing yang sendirian dan gondok sudah pasti akan mengarahkan peluru kendali konvensional dan nuklir jarak jauhnya kesana. Menarget negeri pulau itu untuk menjadi sasaran tembak peluru kendali balistik China jika terjadi perang besar. Tijitibeh kata China, mati siji mati kabeh.

Jika armada ke 1 AS aktif kembali dan mengambil Singapura dan Christmas Australia sebagai pangkalan AL maka kita mau tidak mau harus menyesuaikan kondisi itu dengan membesarkan kekuatan TNI AL segera. Tidak bisa tidak.  Selat Sunda, Selat Malaka adalah pintu keluar masuk Armada ke 1 AS dan kapal perang yang lewat bukan sembarang kapal perang. Setiap melewati ALKI mereka pasti memetakan situasi sekitar perairan termasuk bawah air untuk kepentingan intelijen.

Belum lagi kekuatan angkatan laut India yang sudah mulai "pdkt" dengan AL AS. Untuk diketahui empat negara QUAD yaitu AS, India, Australia dan Jepang baru saja melakukan latihan militer bersama di Teluk Benggala. Dan akan dilanjut di Laut Arab akhir bulan ini. Persekutuan informal 4 negara ini suatu saat bisa menjadi aliansi militer paling gerun di Asia jika ada kesepakatan formal diantara mereka.

Pengambil kebijakan bidang pertahanan kita, tidak bisa  lagi bekerja dengan prosedur standar apalagi menganggap kehadiran armada ke 1 AS sebagai hal yang biasa. Harus ada upaya percepatan pengadaan kapal perang dan fleksibilitas kemitraan. Disatu sisi kita percepat perkuatan AL dan AU, di sisi lain kita harus mampu membawa fleksibilitas jatidiri ditengah perubahan dan dinamika kawasan.

Meski Singapura menjadi pangkalan AL AS namun negara kota itu hanya sebuah titik. Karena sesungguhnya durasi lalulintas kapal perang Armada ke 1 AS yang datang dan pergi mutlak harus melewati ALKI. Siapkah kita mengawalnya. ALKI adalah jalur laut pelayaran internasional namun kalau yang lewat kapal perang tetaplah kita siaga dan memperlihatkan diri.

Pangkalan AL yang ada di ALKI-1 harus diperkuat dengan tambahan kapal perang. Padang, Sabang, Belawan segera berbenah. Penuhi kekuatan standar pangkalan AL dengan tambahan kapal perang minimal jenis korvet. Termasuk sistem persenjataan pertahanan pangkalan. Laut Jawa juga bagian dari ALKI dimana di sisi selatannya ada pangkalan TNI AL terbesar yaitu Surabaya dan Jakarta.

Proses pengadaan alutsista diharap tidak bertele-tele. Pengalaman soal pengadaan jet tempur Sukhoi SU35 contohnya, terlalu lama durasi prosesnya, tiga tahun. Jika bisa diselesaikan lebih awal, dipastikan SU35 sudah hadir di langit nusantara.  Dulu di era duit terbatas untuk anggaran pertahanan, wajar kita sulit dan lama untuk mendapat alutsista. Sekarang sudah disediakan anggaran beli alutsista yang besar, mendapat barangnya pun ternyata lama juga.

Semua sedang bergerak dan berproses. Penuhi segera 3 skadron jet tempur dengan F16 Viper dan Sukhoi SU35, itu saja dulu. Lobby terus  Paman Sam agar pengadaan SU35 bisa berjalan mulus, tinggal selangkah lagi. Kemudian tawaran Jepang untuk menyediakan 8 kapal perang fregat modern disambut hangat. Jangan kelamaan mikir, percepat prosesnya. Sehingga diharapkan dalam lima tahun kedepan sudah tersedia kebutuhan kapal perang jenis fregat dan destroyer. Dan ini yang penting, punya marwah ketika beriringan dengan kafilah Armada ke 1 AS yang melintas ALKI.

****

Jagarin Pane / 22 Nopember 2020