Ada yang menarik dalam episode pencarian pesawat Airasia
di laut Jawa ketika KRI Bung Tomo 357 yang baru seminggu ikut kafilah BASARNAS
mencari dan menemukan korban pesawat rute Surabaya-Singapura itu, ditarik dari
kontingen SAR lalu digantikan dengan KRI Usman Harun 359. Logika operasional sebuah kapal perang
sekelas KRI Bung Tomo adalah 20 hari tanpa bekal ulang. Artinya selama waktu
itu mampu menjalankan tugas operasi militer ataupun operasi militer selain
perang.
Sepertinya sih ingin menguji nyali Singapura yang sempat
emosional dengan penamaan kapal perang baru Indonesia yang dibeli dari Inggris,
dengan nama KRI Usman Harun. Singapura menganggap penamaan kapal perang itu
tidak pantas untuk meyandang nama dua orang KKO Indonesia (sekarang marinir) yang
dihukum gantung di Singapura karena perbuatan terornya pada masa Dwikora. Padahal
penghukuman mati itu sendiri sangat menyakitkan rakyat Indonesia. Tetapi dengan
kedatangan PM Lee Kuan Yew tahun 1973 ke Indonesia dan berziarah ke makam kedua
pahlawan bangsa itu, persoalan sejarah kelam telah tutup buku.
KRI Banda Aceh 593 dalam operasi SAR Airasia |
Pergantian KRI Bung Tomo dengan KRI Usman Harun dalam
operasi SAR terbesar di Indonesia itu ternyata tidak membuat Singapura menarik
kedua kapal perangnya dari Laut Jawa. Dan
tetap ikut serta dalam kafilah kemanusiaan yang mulia sebagai akibat musibah
Airasia. Singapura tentu tidak ingin
disorot dunia jika menarik diri dari operasi militer selain perang itu hanya
karena ketersinggungan pada sebuah nama. Kita angkat topi dengan kedewasaan
cara pandang dan cara langkah pemerintah Singapura utamanya Kementerian
Pertahanan yang lebih mengutamakan misi kemanusiaan daripada mengumbar emosi
terhadap KRI Usman Harun.
Kebijakan sebuah negara untuk memberi penamaan terhadap
asset militernya tidak bisa diintervensi oleh negara manapun dan oleh sebab
apapun. Negara adalah eksistensi bangsa
yang memiliki kekuatan martabat, derajat dan harga diri yang tak bisa ditawar untuk
menentukan kebijakan dan cara bernegara berdasarkan kesepakatan final elemen
sumber daya didalamnya. Indonesia dalam menjalankan harkat dan martabatnya di
medan pergaulan antarbangsa tidak ingin mencampuri cara pandang bangsa lain
dalam pola berbangsanya. Itu juga yang diharapkan Indonesia sepanjang sejarah
perjalanannya, tidak ingin negara lain ikut campur dalam pola kebijakan yang
dijalankan berdasarkan harkat dan martabat itu.
Singapura mestinya sudah memahami itu. Perjalanan berbangsa
dan antarbangsa di kemudian hari akan mampu menjelaskan bahwa kebesaran Republik
Indonesia tidak akan terbendung lagi dan tidak akan mampu dilakoni dengan patron
mendikte oleh negeri pulau itu.
Perjalanan pertumbuhan ekonomi kesejahteraan yang dilalui bangsa ini sedang
dan akan menjelma menjadi kekuatan ekonomi besar dunia. Sekarang saja PDB kita sudah menjadi nomor
satu di ASEAN. Belum lagi perkuatan
militer yang terus menerus dilakukan diniscayakan akan menjadikan negeri ini
yang terkuat di ASEAN sebagaimana didengungkan oleh Presiden Jokowi baru-baru
ini.
Salah satu kapal modern BASARNAS jenis catamaran |
Semangat bertetangga dan memahami dinamika bertetangga
harus bisa dijalankan dengan irama kesantunan, bukan irama mendikte karena
merasa lebih sejahtera dan kaya. Yang
tidak bisa tergantikan atau terkalahkan dari Republik Indonesia terhadap
Singapura adalah wilayahnya yang luas, kaya sumber daya alam, jumlah penduduknya
yang besar, memiliki semangat nasionalis
patriotik. Sementara saat ini dan seterusnya sumber daya manusianya semakin
cerdas, tingkat kesejahteraan semakin baik, kekuatan ekonomi Indonesia menjadi
penentu bukan lagi pengikut, kekuatan militer kita semakin gahar dan bangsa ini
mampu menjalankan nilai demokrasi yang egaliter.
Dalam perspektif itu kita melihat Singapura sudah bisa
membaca tanda-tanda perubahan jaman, tanda-tanda perkuatan ekonomi dan militer
Indonesia yang tak terbendung lagi.
Dalam bingkai itu mestinya Singapura tidak melihat negeri ini sebagai
ancaman melainkan sebagai mitra kerjasama ekonomi yang simbiosis mutualistis. Sementara
kekuatan militer masing-masing negara sejatinya adalah mengawal kerjasama
ekonomi untuk kesejahteraan dan kesetaraan.
Kekuatan militer yang dimiliki adalah untuk menjaga posisi kehormatan
dan martabat masing-masing negara untuk tetap berlaku wajar dalam bingkai
kerjasama antartetangga.
Militer Indonesia telah mampu menunjukkan manajeman
operasi militer selain perang seperti yang ditunjukkan dalam operasi
Airasia. Singapura menyaksikan itu dan
boleh jadi menjadi pembelajaran bagi negaranya.
Bahwa tidak boleh menganggap enteng kemampuan militer Indonesia,
ketangguhan dan kecakapan prajurit TNI, berbagai jenis alutsista yang
disertakan, koordinasi antar satuan semua berjalan cemerlang dan itu disaksikan
oleh dunia dengan kagum.
Memperlihatkan cara pandang kekanak-kanakan hanya dalam
soal penamaan kapal perang diharapkan menjadi bab akhir dalam pola egoisme
bertetangga. Kedepan nilai pertetanggaan
yang dibangun dengan semangat kerjasama akan menjadi kekuatan sinergitas
ekonomi tak tergantikan. Sepanjang jaman
ini Indonesia dan Singapura juga ASEAN ditakdirkan hidup berdampingan. Catatan perjalanannya adalah jika kekuatan
ekonomi dan militer kita lemah, kita mudah didikte. Maka perkuatan ekonomi dan militer kita yang
sedang bergelora dan digelorakan saat ini adalah jawaban dari catatan
perjalanan itu. Singapura sudah membaca
itu dan boleh jadi sudah mulai tahu diri.
****
Jagarin Pane / 14 Jan 2015