Tuesday, September 5, 2023

Menyikapi Peta Baru China "Ten Dash Line"

China baru saja mengeluarkan peta baru di Laut China Selatan (LCS), Taiwan dan Utara India. Peta teritorial di selatan yang dijuluki lidah naga menjulur dari Hainan mencaplok dan menyapu bersih seluruh wilayah LCS. Hanya menyisakan 12 mil teritori kedaulatan wilayah perairan negara ASEAN yaitu Vietnam, Indonesia, Malaysia, Brunai dan Filipina. Yang terbaru wilayah utara India di lembah Himalaya dimasukkan menjadi wilayah China. Khusus perairan timur, lidah naga China menyambar perairan selatan Taiwan dan mengubah garis putus-putus nine dash line menjadi ten dash line.

Menlu Retno Marsudi bereaksi tegas, bahwa Indonesia konsisten dengan aturan konvensi hukum laut internasional UNCLOS 1982 yang sudah diratifikasi lebih 100 negara. Bahwa menarik garis batas apapun harus sesuai dengan kaidah hukum internasional yang telah disepakati. Bengalnya China ini seperti sedang menguji kemarahan diplomatik para tetangganya termasuk India. Apalagi waktu releasenya tanggal 28 Agustus 2023  saat menjelang KTT ASEAN di Jakarta. Termasuk KTT dengan mitra strategisnya, termasuk China juga didalamnya.  Saat ini KTT ASEAN sedang berlangsung.

Artinya China sedang menguji ketahanan diplomasi ASEAN plus India dan Taiwan. Semua negara yang tersinggung dengan peta baru itu serentak mengeluarkan kemarahan diplomatik ke wajah Beijing. Sultan Brunai yang jarang-jarang mengeluarkan pernyataan diplomatik, kali ini bersuara keras menolak. India, Vietnam, Taiwan dan Filipina mengeluarkan pernyataan pedas. Bahasa emak-emaknya kira-kira begini: gak tahu diri lu. Dan seperti biasa China tidak menanggapi serius pernyataan diplomatik itu, kecuali hanya bilang ini peta rutin yang dirilis kementerian sumber daya alam China. 

Masalah tumpang tindih klaim perairan ZEE (zona ekonomi eksklusif) layaknya seperti perselisihan halaman tak berpagar antar tetangga. Misalnya antara Indonesia dan Malaysia, Indonesia dan Filipina, Indonesia dan Vietnam. Perselisihan itu ada dan nyata. Beberapa diantaranya bisa diselesaikan dengan kecerdasan diplomatik. Seperti batas wilayah ZEE Indonesia-Vietnam dan Indonesia-Filipina sudah selesai secara permanen. Soal ten dash line, Indonesia berbeda dengan 4 negara ASEAN lainnya yang tumpang tindih kepulauan Paracel dan Spratly. China tidak mengklaim kepulauan Natuna termasuk teritori kedaulatan perairan 12 mil laut dari pantai. Ten dash line mengambil wilayah ZEE laut Natuna Utara. Padahal di kawasan itu sudah ada ekploitasi migas blok Tuna milik Indonesia.

Klaim China pada seluruh ten dash line jelas tidak ada dasar hukum internasionalnya. Bikin-bikin peta sendiri, sak karepe dewe, dengan berlindung pada payung justifikasi "historis tradisional" sejarah China. Sangat tidak pantas dan menunjukkan kepongahan. Itu sebabnya meski dirayu China berkali-kali, Indonesia tidak pernah bersedia merundingkan soal ZEE Natuna. Karena jika Indonesia menyetujui itu sama saja mengakui lidah naga China yang menjulur sampai ZEE Natuna. Indonesia sah memiliki hak berdaulat di ZEE Natuna sesuai UNCLOS 1982.

Sementara itu Indonesia dan Malaysia sampai saat ini masih bersengketa soal batas ZEE di perairan Kalimantan Utara yang populer disebut Ambalat. Bahkan sempat memanas antara tahun 2005 sampai 2010. Saat itu Malaysia merasa diatas angin atas perolehan pulau Sipadan dan Ligitan melalui keputusan Mahkamah Internasional. Kemudian melakukan show of force dengan mengerahkan kapal perang dan pesawat militer ke Ambalat. Pada saat yang sama militer Indonesia berada dalam kondisi kekurangan alutsista imbas dari embargo militer dari AS dan belum pulih dari krisis ekonomi.

Kasus Ambalat menjadi pelajaran yang sangat penting untuk kita.  Bahwa kekuatan militer sejatinya menjadi kekuatan tawar yang diperhitungkan dalam menjalankan diplomasi antar negara. Malaysia tidak menunjukkan etika bertetangga. Saat itu Malaysia menunjukkan sikap arogansi militer yang berlebihan karena mereka merasa unggul dalam perolehan alutsista. Waktu itu Malaysia memiliki 18 jet tempur Sukhoi, 18 jet tempur Mig29 dan 8 jet tempur F18 Hornet. Semuanya double engine. Bandingkan dengan Indonesia yang hanya memiliki 10 jet tempur F16 dan 14 jet tempur F5E Tiger single engine yang mengalami embargo militer selama 10 tahun sejak tahun 1995 sampai tahun 2005. 

Sebuah drama pernah terjadi ketika Sipadan dan Ligitan masih dipersengketakan. Indonesia mengirim 4 pesawat counter insurgency Bronco untuk melakukan patroli udara. Tidak lama kemudian Malaysia mengirim 3 jet tempur F5E Tiger ke Sipadan. Jelas tidak seimbang. Meski kita diperlakukan seperti itu, kita marah tetapi marahnya proporsional, menahan diri. Presiden SBY kemudian merancang program modernisasi alutsista TNI yang dikenal dengan Program MEF (Minimum Essential Force) pada tahun 2010. Kemudian dilanjutkan Presiden Jokowi. Hasilnya bisa kita lihat saat ini. Keunggulan militer Indonesia sudah jauh melewati jiran serumpun itu. Pada saat yang sama Kuala Lumpur mengalami stagnasi alutsista di semua matra. 

Klaim China yang mengeras dengan mengeluarkan peta baru terhadap ZEE Indonesia di utara Natuna, mengharuskan kita mempercepat penguatan militer. Termasuk memperbanyak latihan militer gabungan multilateral seperti Super Garuda Shield yang sedang berlangsung saat ini di Jawa Timur. Konflik Ambalat menjadi pelajaran dan pengalaman penting untuk kita. Betapa ketika alutsista kita "kalah awu" ada tetangga yang show of force, merasa lebih kuat. Salah satunya ketika itu Presiden SBY berkunjung ke Karang Unarang Ambalat dengan KRI Untung Suropati 372 tiba-tiba melintas rendah pesawat militer Malaysia seakan mengejek dan mengabaikan etika diplomatik. Saat ini ketika kita sudah unggul jauh dalam perolehan alutsista, secara defacto kita menguasai Ambalat. Setiap hari ada patroli 3-4 KRI di Ambalat. Sementara Malaysia "sudah tahu diri".

Peta baru China menggambarkan ambisi teritori yang over dosis. Jawaban terhadap klaim dan merasa benar sendiri itu, salah satu pilihannya adalah memperkuat taring militer. Maka apa yang dilakukan Kementerian Pertahanan kita adalah menggelar program extra ordinary pengadaan alutsista secara besar-besaran. Semuanya untuk mengantisipasi potensi konflik dan perang terbuka di LCS. Pakemnya sederhana kok, ketika relasi otak sudah sulit diajak kompromi diplomatik, otot militerlah yang mengambil alih. Maka persiapkanlah kekuatan otot ketika ada yang mulai melotot. Cerita apapun di dunia ini tidak pernah lepas dari otak dan otot.

****

Jagarin Pane / 5 September 2023