Tuesday, April 18, 2023

Memilah Persepsi Dan Perspektif Konflik Indo Pasific

Perubahan geopolitik dan geostrategis di Timur Tengah berubah cepat seperti pepatah " Dikira panas sampai petang ternyata hujan tengah hari". Dan yang membuat hujan perubahan itu adalah pesaing hegemoni AS, China. Betapa tidak, pada hari-hari belakangan ini pulihnya hubungan diplomatik Arab Saudi dan Iran serta penerimaan Suriah ke pangkuan liga Arab menjadi parfum wangi di tengah bulan suci Ramadhan. AS dan sekutunya NATO terkesima, salah tingkah dan mati angin. Sementara China memeluk prestasi diplomatik damai terbaik  di tengah menguatnya polarisasi dunia dan berkecamuknya perang Rusia-Ukraina.

Mari kita memilah persepsi dan perspektif potensi konflik di Indo Pasific. Persoalan kunci yang didefinisikan adalah soal Taiwan dan klaim nine dash line China di Laut China Selatan (LCS). Apakah hanya sekedar itu permasalahannya. Ternyata tidak. Dalam perspektif AS persoalan besarnya adalah persaingan hegemoni dengan semakin tergerusnya "nilai" AS di mata negara-negara dunia. Dalam upaya membendung "banjir bandang" kemampuan ekonomi dan militer China, AS dan sekutunya mengambil pola reaktif dan overdosis dengan membangun permusuhan ekonomi dan permusuhan militer. Khusus dalam bidang militer AS membentuk pakta nuklir AUKUS di Indo Pasific bersama saudara "satu trah anglo saxon", Inggris dan Australia. Kemudian mengajak Filipina untuk bersekutu dan membuka  7 pangkalan militer di negeri itu, mengantisipasi agresi militer China ke Taiwan dan ancaman ke LCS.

Dengan Indonesia, AS mengirimkan ribuan prajurit untuk latihan militer skala besar Garuda Shield di Sumsel, Kaltim dan Sulut. Mengirimkan pesawat tanker avtur US Air Force untuk simulasi pengisian BBM belasan F16 TNI AU di sepanjang selatan Jawa Timur. Mengirim pesawat intai strategis Poseidon untuk latihan bareng. Mengajak pasukan marinir Indonesia berlatih di markas USMC. Termasuk mengikutsertakan dan memberangkatkan prajurit Kostrad dari pangkalan militer Guam untuk terbang non stop dan diterjunkan di Puslatpur TNI AD Baturaja dengan 9 pesawat angkut berat.

Apa sih esensi permasalahan di LCS. Secara fakta batas laut Indonesia dan China bersinggungan di zona ekonomi eksklusif (ZEE) perairan Natuna utara, bukan di perairan teritori 12 mil laut dari pantai Natuna. Juga ZEE Malaysia dengan ZEE kita, ZEE Vietnam dengan ZEE kita. ZEE Malaysia dengan ZEE Vietnam. Termasuk ZEE Malaysia, Brunai, Vietnam, Filipina dengan ZEE China. Perairan ZEE adalah perairan dimana sebuah negara  memiliki hak berdaulat untuk eksplorasi dan eksploitasi sumber daya laut.  Artinya disamping klaim tumpang tindih ZEE dengan nine dash line China sesama negara ASEAN yang punya halaman LCS saling klaim juga tuh tapi tidak seheboh dan sedramatis dengan China.

Yang perlu diingat ZEE bukan kedaulatan teritori sebuah negara. Kedaulatan teritori perairan Indonesia adalah 12 mil laut dari garis pantai. Nine dash line China bertemu dan beririsan dengan ZEE Indonesia yang diakui UNCLOS 1982 dan sudah diratifikasi. Berita bagusnya, Indonesia dan Vietnam akhir tahun lalu mampu menyelesaikan secara final tumpang tindih klaim dengan perundingan yang durasinya bertahun-tahun. Artinya klaim tumpang tindih ZEE sejatinya bisa diselesaikan dengan cara beradab dan tak perlu pamer kekuatan otot militer. Indonesia dan Vietnam telah menunjukkan pada dunia kemampuan dan kecerdasan serta marwah diplomasinya untuk menyelesaikan klaim ZEE diantara keduanya.

Soal AUKUS yang tiba-tiba saja lahir "tanpa hamil duluan" alias tidak mengedepankan dialog dengan negara kawasan  ASEAN sesungguhnya adalah langkah tegap berwajah pucat. Sebagai jiran satu RW Indonesia bereaksi tegas pada jiran selatan ini yang telah melanggar status non proliferasi nuklir di kawasan. Lebih dari itu hanya karena respon yang berlebihan terhadap ancaman China di Indo Pasifik lantas membuat pakta nuklir "NATO Timur Jauh".  Boleh jadi pemberitaan soal keinginan Indonesia yang terkesan tiba-tiba untuk membeli 4 kapal perang destroyer type 052D dari China sebagai jawaban militer soal kehadiran AUKUS. Rencana beli ini yang mengemuka di pemberitaan bisa dicatat sebagai penegas posisi Indonesia yang non blok. Sekaligus untuk menempatkan dan memilah persepsi dan perspektif potensi konflik karena klaim secara proporsional.

Maka percepatan perkuatan otot militer Indonesia semakin memperjelas bahwa kita mengantisipasi konflik LCS sesuai porsi dan persepsi kita. Dalam pakem diplomatik Indonesia tidak bermusuhan dengan China. Indonesia tidak perlu seperti Filipina yang masuk dalam kategori aliansi militer dengan AS. Kita membangun kekuatan militer kita sepadan dengan luasnya wilayah teritori karena kita memang kekurangan aset alutsista. Bahkan kekuatan minimal saja belum tercapai. Kita membeli berbagai jenis alutsista dari berbagai negara adalah bagian dari strategi militer yang cerdas. Termasuk rencana beli destroyer 052D dari China. Yang terakhir ini kalau jadi, tentu membuat tetangga selatan berpikir lagi. Dan biarkanlah dia berpikir.

****

Jagarin Pane / 17 April 2023