Wednesday, November 4, 2020

Upaya Menggeser Posisi Netral

Amerika Serikat saat ini sedang menumpahkan perhatiannya pada kawasan Laut China Selatan (LCS), sebuah kawasan perairan dan karang atol yang kaya sumber daya perikanan dan energi. AS bersama keponakannya Australia sedang berupaya kuat membentuk "persekutuan bulan sabit" untuk mengurung China mulai dari Jepang sampai India. Disebut demikian karena negara-negara yang diajak itu posisinya mengelilingi China seperti bulan sabit.

Khusus kepada Indonesia, pemilik dua pertiga teritori ASEAN, jurus soft diplomacy yang diperlihatkan AS adalah segera mengucurkan dana milyaran dollar untuk berinvestasi sumber daya perairan di Natuna. Kemudian memberikan persetujuan perpanjangan GSP (generalized specialist preferences), sebuah formula keringanan bea masuk barang ekspor Indonesia ke AS yang sudah bertahan puluhan tahun. Artinya GSP tidak jadi dicabut.

Sang pemegang sabuk hegemoni sekaligus penyandang kekuatan ekonomi dan militer nomor wahid di jagat ini sejatinya sedang digerogoti oleh penantang terkuatnya, China. Secara pasti dan sistematis China mampu menjadikan dirinya, sebuah kapal besar dengan 1,4 milyar penduduknya, sebagai kekuatan ekonomi raksasa kedua setelah AS. Prediksi ke depan China akan menjadi kekuatan ekonomi nomor satu di dunia.

China sedang bergeliat dan bergairah, nun jauh di timur jauh. Sementara pertarungan adu pengaruh di Asia Barat alias Timur Tengah secara potensi dan perspektif tidak lagi se spektakuler potensi konflik di Indo Pasifik. Wilayah ini akan menjadi ajang pertaruhan dan pertarungan paling berbahaya dan sangat berpotensi menjadi pemicu pertempuran maha dahsyat. Itu sebabnya AS telah dan sedang menggeser kekuatan militernya ke Indo Pasifik.

Langkah adu cepat dilakukan pemilik hegemoni. Safari kunjungan berulang dilakukan ke Indonesia, Vietnam, Filipina dan India. Taiwan diperkuat dengan ratusan rudal Harpoon pertahanan pantai dan tambahan 60 jet tempur F16 Viper. Dengan Filipina sudah dihidupkan lagi perjanjian tradisional mereka, menggunakan Subic dan Clark sebagai benteng perisai Filipina dan pangkalan aju untuk militer AS.

Indonesia sedang dibujuk rayu dan sedikit disanjung dengan bermanis muka. Menhan Prabowo disambut permadani merah di Pentagon. Menlu AS Pompeo datang ke Jakarta membawa tembang diplomasi, menghaluskan tutur kata. Kami akan kucurkan investasi besar, memberi kado GSP untuk dimanfaatkan semaksimal mungkin, dan menyediakan kebutuhan alutsista gentar strategis, demikian bunyi syair tembangnya.

Keputusan AS akan berinvestasi di Natuna tentu sebuah keputusan cerdas bagi kedua belah pihak. Bagi Indonesia kucuran dana milyaran dollar sangat membantu terpuruknya ekonomi akibat pandemi. Kemudian yang tidak kalah penting dari sisi pertahanan, bisa menjadi perisai penggentar bagi pengklaim. Sedangkan bagi AS ini cara menghadirkan eksistensi kehadiran superioritasnya di "garis depan" meski berwarna sipil.

Untuk kerjasama pertahanan  pilihan menggunakan F16 Viper dan F15 merupakan pilihan realistis. Bukan berarti keinginan mendapatkan F35 tidak diluluskan AS, namun waiting list utk pesawat siluman itu sampai 9-10 tahun. Sedangkan kebutuhan terhadap armada jet tempur sangat mendesak, karena ancaman sudah di depan mata.  Itu sebabnyaTyphoon tiba-tiba menjadi pilihan dadakan karena barangnya sudah tersedia. Kalau jadi membeli F16 Viper waiting listnya 3-4 tahun.

Perjuangan AS untuk menggeser posisi netral Indonesia di LCS sejauh ini menjadi rezeki ekonomi bagi kita. Perpanjangan GSP dan investasi AS sangat membantu kita. Tentu saja tidak ada makan siang gratis. Tetapi bagi kita selama tidak ada bau-bau pangkalan militer AS tidak mengapa. Investasi di Natuna adalah dunia usaha. GSP adalah dunia usaha. Kalaupun kita beli Viper, Herky, Chinook atau bahkan rudal Harpoon Coastal memang kita sedang membutuhkannya.

Mungkin bagi AS kesediaan Indonesia menerima investasi di Natuna merupakan pergeseran posisi netral. Sebab sebelumnya China mati-matian merayu Indonesia untuk bisa berinvestasi di Natuna tapi ditolak. Ya harus ditolak dong, sebab kalau diterima tentu artinya kita membenarkan alias mengakui klaim nine dash line China. Sebab kawasan investasi itu adalah eksplorasi ZEE tumpang tindih.

Maka dalam kontestasi berebut pengaruh, gadis manis berambut sebahu yang bernama Indonesia bolehlah sedikit jual mahal. Tetap senyum manis dengan Paman Panda juga memberikan senyum menggoda buat Paman Sam.  Diplomasi kita jelas untuk kepentingan nasional kita dan dua paman tadi juga telah banyak memberikan nilai tambah untuk kita. Memberikan ruang untuk investasi AS bukan untuk menggeser posisi netral. Demikian juga membeli sejumlah alutsista AS bukan untuk menjadi  sekutu. Semuanya untuk kepentingan nasional kita.

****

Jagarin Pane / 4 Nopember 2020