Friday, September 6, 2024

Memahami Kerjasama Pertahanan Dengan Australia

Akademi Militer Magelang menggelar seremoni meriah menyambut kedatangan Menteri Pertahanan Australia Richard Marles Kamis 29 Agustus 2024 yang lalu. Seremoni militer ini menjadi sambutan kehormatan istimewa untuk lahirnya  sebuah perjanjian kerjasama pertahanan (Defence Cooperation Agreement, DCA) antara Indonesia Australia. Setelah melalui 30 kali perundingan marathon baik secara daring maupun luring. Termasuk perundingan di Jakarta dan Canberra secara bergantian pada bulan Mei, Agustus dan Desember 2023. Akhirnya selesai 20 Agustus 2024. Dan PM Australia Anthony Albanese mengundang Menteri Pertahanan Prabowo Subianto untuk merayakan selesainya DCA di Canberra.

Apa sih istimewanya DCA ini dan apa untungnya bagi Indonesia. Apalagi jika kita menelusuri perjalanan bertetangga dengan jiran selatan berwajah dan berwatak Eropa ini. Senangnya selalu cawe-cawe urusan dalam negeri Indonesia seperti soal OPM di Papua dan HAM. Masih segar dalam ingatan kita ketika Timor Timur dalam proses menuju kemerdekaannya tahun 1999. Negeri Kanguru ini memperlihatkan arogansi militernya. Pengerahan kekuatan militernya ke Timor Timur sangat berlebihan. Padahal misinya sebagai pasukan perdamaian INTERFET (International Force East Timor) non PBB.

Kemudian yang paling menyesakkan adalah  ancaman Australia. RAAF akan mengebom pusat-pusat komunikasi dan infrastruktur militer di Jakarta dengan pesawat pengebom jarak jauh F111 Aardvark, jika terjadi eskalasi antara pasukan ABRI dan INTERFET di Timor Timur. Benar-benar angkuh dia. Saat itu Jakarta menyikapinya dengan kepala dingin karena masih dalam suasana reformasi, transisi pemerintahan dan kondisi perekonomian yang masih morat marit. Termasuk kondisi alutsista kita yang masih diembargo AS dan sekutunya. Bayangkan, sebuah suasana kebathinan kebangsaan yang mengharuskan kita banyak mengurut dada. Ini salah satu catatan penting dalam hidup bertetangga dengan jiran sebelah yang "bernasab" anglo saxon.

Pada perjalanan diplomatik berikutnya lahirlah Lombok Treaty tahun 2006 yang menjadi awal pemulihan hubungan kedua negara yang dingin selama 7 tahun. Seperti diketahui Indonesia dan Australia pernah menandatangani perjanjian kerjasama pertahanan tahun 1995. Namun sejak lepasnya Timor Timur tahun 1999, Indonesia membatalkan perjanjian ini karena merasa kecewa dengan arogansi militer dan diplomatik negeri benua selatan itu. Sekali lagi ini adalah pelajaran sejarah bertetangga yang harus diingat. Tetangga selatan ini karakter bertetangganya memang "agak laen", suka mengatur, senang mendikte, high profile.

Dinamika geopolitik di Indo Pasifik now and next terutama di halaman depan rumah kita yang bernama Laut China Selatan (LCS) adalah penguat kesepakatan DCA ini. Australia yang rumahnya berada di belakang rumah besar kita sangat berkepentingan dengan akses militer untuk menuju LCS melalui ALKI I yaitu selat Sunda, laut Jawa, selat Karimata dan laut Natuna Utara. Juga menuju LCT (Laut China Timur) melalui ALKI II yaitu selat Lombok, selat Makasar, dan laut Sulawesi. Sementara bagi Indonesia manfaat DCA ini diniscayakan menjadi kekuatan bargaining kepada Canberra agar tidak usil mencampuri soal OPM, mendikte soal HAM, dan bersikap obyektif menilai semua hal. Juga bagian dari diplomasi militer Indonesia untuk mengingatkan "pihak sono" yang sedang giat memperkuat basis militernya di Spartly dan Paracel. Pesan tersiratnya jangan bermain api. 

DCA ini mengikat kedua negara untuk memperluas kerjasama militer meski tidak masuk dalam kriteria aliansi militer atau pakta militer. Salah satu programnya adalah melaksanakan latihan militer gabungan (latgab) skala besar Indonesia-Australia di Jawa Timur November 2024 mendatang. Bagi Australia latgab ini merupakan yang terbesar dengan mengerahkan 2.000 pasukan. Sementara latgab terbesar di Indonesia adalah Super Garuda Shield (SGS), kolaborasi Indonesia dan Amerika Serikat. Tahun ini SGS yang berlangsung 26 Agustus sampai 6 September 2024 mengerahkan 7.000 prajurit berbagai negara. Indonesia dengan 4.500 pasukan, AS dengan 2.000 pasukan. Sisanya dibagi bersama Australia, Jepang, Singapura, Korsel, Inggris, Kanada, Perancis dan Selandia Baru.

Kesepakatan kerjasama pertahanan kedua negara ini dalam perspektif kita adalah win-win solution. Untuk kepentingan bersama. Termasuk menjaga iklim kondusif di kawasan. Traktat ini bagi Indonesia adalah bagian dari kecerdasan diplomasi non blok yang bebas aktif sekaligus diplomasi militer. Sembari menegaskan kita tidak bersekutu dengan siapapun. Dengan China kita juga sering mengadakan latihan militer bersama. Demikian juga dengan Rusia. Elastisitas pergaulan diplomatik Indonesia berdasarkan kepentingan nasional dan kebersamaan dalam kawasan untuk maju bersama. Dengan Singapura, Indonesia sudah punya perjanjian kerjasama pertahanan. Singapura yang teritorinya sempit memerlukan ruang udara dan laut untuk latihan militer. Indonesia berkenan dan  meminjamkan areal combat maneuver untuk kapal perang dan jet tempur Singapura. Lokasinya di selatan Natuna. 

Kedua negara Indonesia dan Australia saat ini sedang membangunkuatkan angkatan perangnya.  Posisi geopolitik Australia mengharuskan negara itu "berkolaborasi" dengan Indonesia secara militer. Ini juga berkorelasi dengan penguatan militer Indonesia saat ini. Sebab dalam pengawasan implementasi DCA di lapangan, Indonesia harus memiliki infrastruktur alutsista yang bertaring juga. Seperti  kapal perang heavy fregate, kapal selam, jet tempur, radar, peluru kendali, drone bersenjata, satelit militer dan lain-lain. Jadi penguatan militer Indonesia saat ini dalam dinamika geopolitik kawasan adalah untuk menuju kesetaraan dan proporsionalitas dalam manajemen pertahanan. Termasuk mengawal DCA dengan Australia dan Singapura. Negeri kepulauan yang luas ini harus memiliki kekuatan militer yang proporsional berkorelasi dengan luasnya wilayah.  Dan kita sedang menuju kesana. 

***

Jagarin Pane / 06 September 2024