Sunday, October 25, 2020

Bermain Cantik, Lincah Dan Gesit

Luar biasa pertarungan diplomatik untuk mencari simpati dan memenangkan opini antara AS dan China sepanjang perjalanan tahun ini di Indo Pasifik. Semua komponen kementerian luar negeri dan pertahanan kedua gajah besar itu dikerahkan untuk berkunjung dan dikunjungi. Sementara para diplomat gajah berdiplomasi, alutsista gahar berbagai jenis kedua belah pihak dipamerkan sebagai unjuk kekuatan diplomasi militer. Pamernya di halaman depan komplek perumahan ASEAN.

Di Tokyo awal bulan ini berlangsung pertemuan QUAD yang dituduh China sebagai mini NATO. Empat negara, Jepang, AS, Australia dan India berembug informal "ngrasani" Paman Mao yang haus teritori. PM Jepang Suga Yoshihide yang baru dilantik langsung melakukan kunjungan luar negeri pertama ke negara garis depan Laut China Selatan (LCS) Vietnam dan Indonesia. Dan berjanji secepatnya akan mengekspor sejumlah alutsistanya.

Menlu China dan sejumlah diplomat kawakannya melakukan hal yang sama, diplomasi ofensif dan terang-terangan. Wang Yi berkunjung ke lima negara ASEAN, Kamboja, Malaysia, Laos, Thailand dan Singapura. Dia mengajak negara ASEAN untuk menjauhi AS yang selalu bikin masalah. ASEAN harus bersatu sikap menghadapi arogansi AS di LCS, katanya.

Indonesia sejatinya punya posisi tawar yang bagus. Posisi geostrategis dan geopolitik kita menjadi tumpuan harapan dua gajah. Misalnya aliran konvoi kapal perang dan jet tempur dari arah selatan pasti melewati teritori kita.  Maka AS berusaha melakukan berbagai langkah diplomasi untuk merangkul Indonesia. China juga sami mawon, mengajak kita melakukan kerjasama investasi di Natuna. Menko Maritim dan Investasi kita diundang ke Beijing.

Penolakan terhadap pesawat intai strategis AS Poseidon untuk mendapat fasilitas singgah di Indonesia setidaknya memberikan tamparan halus bahwa Indonesia punya nyali mengatakan tidak. Sama halnya ketika kita mau beli jet tempur Sukhoi SU35 dihalangi Pakde Sam.  Rasanya ditampar juga kan. Oleh sebab itu seharusnya AS lebih bisa memahami posisi Indonesia yang sudah kontrak pengadaan Sukhoi SU35. Jangan egois Pakde.

Juga soal Indo Pasifik utamanya LCS, AS mestinya bermain di tataran kesetaraan dalam pola diplomasi. Keangkuhan AS dalam menjalankan diplomasi mau menang sendiri bisa saja menimbulkan kebencian mendalam bagi negara yang dihasut. China tidak bisa dikucilkan begitu saja, sudah kadung menjadi raksasa. Sama halnya dengan Rusia yang mendapat sanksi CAATSA dari AS. Rusia dan China yang selalu ditekan dan difitnah bisa saja dikemudian hari membentuk pakta militer. Putin sudah memberikan isyarat itu. 

Sementara Indonesia harus bermain cantik, lincah dan gesit ( meminjam syair lagu Ebiet G  Ade), baik di tataran diplomasi dan pertahanan. Diplomasi kita yang dikawal ketat Menlu cantik lincah dan gesit (juga mungil) telah membuktikan kemampuan berdiplomasi dalam berbagai issue internasional. Misalnya Vanuatu yang baru saja "digebuk" diplomat kita di PBB karena sok tahu dan sok menggurui soal Papua. Dan Indonesia sekarang menjabat lagi sebagai ketua Dewan Keamanan PBB. Menlu kita cerdas untuk selalu tersenyum kepada kedua Pamannya, Paman Sam dan Paman Mao.

Menhan kita juga cerdik dan lugas. Ketika jalan visa nya ke AS masih di blokade, dia melakukan manuver kunjungan ke Austria, Perancis, Jerman, Rusia dan Turki. Austria merasa senang karena 15 Typhoon nya diminati Prabowo. Perancis menyambut gembira, Rafale yang sedang dibangga-banggakan India, makin berkibar karena kita pengen beli banyak. Sementara Viper malah statusnya jalan ditempat. Akhirnya Wahington memberi green light untuk Menhan kita.

AS berharap banyak dari mitra besarnya Indonesia. Sementara  dengan Vietnam AS masih salah tingkah.  Langkahnya terbatas pada basa-basi silaturahim karena sejarah luka pertempuran perang Vietnam belum pulih. Apalagi saat ini Vietnam sekutu dekat dengan Rusia. Kalau kita berharap banyak dari mitra kita mestinya kita juga harus memberi ruang dan peluang untuk take and give pada mitra kita. Itu yang seharusnya dilakukan AS.

Menlu AS Mike Pompeo pekan depan akan berkunjung ke Jakarta untuk membujuk Jakarta agar tidak terlalu non blok alias netral dalam menyikapi klaim nine dash line China. Nah dalam momen itu mestinya Indonesia memperkuat posisinya soal SU35 agar bisa dikecualikan dari UU CAATSA. Mau merangkul tapi kok menghalangi transaksi bisnis alutsista kita.

Di tengah kunjungan itu Pompeo juga akan  menyempatkan diri hadir di forum GP Ansor. Dalam kacamata diplomasi ini sebuah jurus untuk mencari simpati di organisasi kepemudaan nasionalis religi terbesar. Sekalian mencari dukungan civil society. Bahwa AS serius ingin merangkul Indonesia alias cari teman untuk memperkuat garis depan LCS

Maka kita akan melihat di hari-hari mendatang ketangguhan dua figur, Retno Marsudi dan Prabowo melakukan diskusi, perundingan dengan segala dinamikanya. Posisi kita jelas tidak ingin didikte AS tetapi harus dibahasakan secara "njawani dan halus". Demikian juga soal alutsista jika AS memberikan jalan terang soal SU35, kita lanjutkan proses pengadaan 24 jet tempur F16 Viper dan lain-lain. Lha kalau angel temen, angel temen tuturanmu Pakde Sam, tidak salah juga kalau kami borong Rafale dan Typhoon.

****

Jagarin Pane / 25 Oktober 2020