Friday, December 3, 2021

Apa Dia Bilang, Apa Kubilang

Akhirnya kan terjadi juga, cepat atau lambat. Apa dia bilang, apa kubilang. Dia bilang laut kita miliknya terus kubilang betulkan. Sudah lama aku mau bilang pada saatnya dia akan bilang laut itu punya dia. Bocoran surat diplomatik akhirnya merembes juga dan disebarluaskan kantor berita Reuters. Cepat atau lambat China akan berkata jelas pada kita, bahwa nine dash line nya memotong zona ekonomi eksklusif (ZEE) perairan Indonesia di Laut Natuna Utara (LNU). Lalu China bilang pada kita agar pengeboran gas di kawasan nine dash line nya dihentikan. Dan yang lebih mengherankan mengapa China keberatan dengan latihan militer gabungan Indonesia-AS.  Padahal pada waktu yang bersamaan secara estafet dan paralel militer AS melakukan latihan militer dengan Australia, dengan Filipina juga dengan Jepang.

Sebenarnya sejak awal latihan militer skala besar yang diberi nama Garuda Shield antara TNI AD dan US Army di Baturaja Sumsel, Ambawang Kaltim dan Makalisung Sulut Agustus 2021 yang lalu, diyakini membuat wajah Beijing masam. Dan terbukti kan. Kalau kita memantau detail teknis latihan militer skala besar itu yang melibatkan 1 brigade pasukan masing-masing negara, ini adalah latihan militer bertema counter attack, high class network centric warfare antara AS dan Indonesia. Salah satunya adalah mobilitas besar pasukan raider lintas udara kedua negara diberangkatkan dari Guam AFB di Pasifik dengan 9 pesawat angkut besar C17 Globemaster III milik AS langsung diterjunkan ke Puslatpur TNI AD di Baturaja Sumsel. Luar biasa. Pasukan Indonesia diberangkatkan ke Guam lebih awal, tiga minggu sebelum penerjunan untuk penyesuaian dan koordinasi.

Garuda Shield sebenarnya sudah bertahun-tahun dilaksanakan. Dan tahun ini adalah yang terbesar dengan kekuatan 5.000 prajurit kedua negara beserta sejumlah alutsista canggih. Mengapa baru sekarang diributkan China. Dan ketika negeri itu mengerahkan puluhan jet tempur dan pesawat pengebom nuklir melintasi ADIZ (Air Defence Identification Zone) Taiwan untuk memprovokasi, bukankah itu sebuah manuver militer yang membahayakan perdamaian. Dan China melakukan itu berkali-kali. Mana yang lebih  kasar diplomasi militernya antara mengerahkan puluhan jet tempur ke ADIZ Taiwan, "mengambangkan" kapal selam di selat Taiwan atau latihan militer Garuda Shield.

Keberatan China soal pengeboran minyak di Natuna dan latihan militer Garuda Shield dengan bahasa diplomatik menggertak tidak dijawab oleh Kemenlu RI. Setidaknya itu bunyi publikasinya. Ini sebuah sikap yang diniscayakan berkarakter wibawa. Dan memang harus begitu. Karena jelas sesuai konvensi hukum laut internasional UNCLOS 1982 hak berdaulat perairan ZEE Natuna dimiliki sah Indonesia. Harus dibedakan antara hak berdaulat di 200 mil ZEE dengan kedaulatan teritori 12 mil dari pantai. Kedaulatan teritori adalah hak mutlak pemilik teritori sedangkan hak berdaulat di ZEE, kapal-kapal asing bebas melintas namun tidak boleh mengambil sumber daya yang ada di ZEE.

Agak berlebihan kemudian jika China keberatan soal latihan militer kita dengan Paman Sam. Sementara angkatan laut China sesuka hati wira wiri di Laut China Selatan (LCS), apalagi kapal selamnya. Bisa saja kapal selamnya sudah memetakan selat Sunda, selat Malaka atau selat Lombok di jalur laut strategis ALKI 1 dan 2. Sudah tidak terhitung militer China memprovokasi Vietnam, Filipina dan Malaysia. Termasuk Indonesia. Eksplorasi dan pengeboran gas di ZEE Natuna "ditungguin" kapal coast guard dan kapal perang China berbulan-bulan sejak Juni 2021. Indonesia juga mengirim beberapa KRI dan kapal BAKAMLA untuk mengawal eksplorasi yang dilakukan perusahaan minyak Rusia dan Inggris. Eksplorasi jalan terus.

Dinamika diplomatik dan pengerahan kekuatan militer di LCS tentu menguras energi diplomasi dan sumber daya alutsista. Sementara Indonesia selama ini selalu berupaya bersikap netral manakala klaim China menggerus ZEE beberapa negara jiran. Dan ketika nota diplomatik China dilayangkan untuk pertama kali soal keberatannya terhadap eksplorasi gas di ZEE Natuna juga soal latihan Garuda Shield, mau tidak mau mengharuskan kita untuk mengambil sikap tegas, tidak netral lagi. Kita sudah satu barisan dengan Malaysia, Vietnam dan Filipina. Apalagi soal Garuda Shield sangat tidak pantas ada negara lain keberatan. Ketika China mengadakan latihan militer skala besar dengan Rusia setelah Garuda Shield tidak ada satupun negara di Indo Pasifik yang keberatan, terganggu dan protes. 

Pesan kuat secara militer dari dinamika terakhir ini adalah bersiap menghadapi segala kondisi terburuk.  Termasuk deklarasi Pakta AUKUS antara tiga negara "anglo saxon" Australia, Inggris dan AS. Pakta militer ini adalah jawaban strategis dan jangka panjang untuk memagari hegemoni militer regional China di Indo Pasifik. Aliansi AUKUS adalah rival setara untuk membendung ambisi China terhadap penguasaan teritori yang kaya energi tak terbarukan. Bagi Indonesia percepatan pengadaan alutsista strategis seperti kapal perang heavy frigate, kapal selam, jet tempur, uav, radar, peluru kendali jarak jauh adalah jawaban secara militer.

Semua yang dibutuhkan ini adalah investasi bidang pertahanan untuk menjaga dan melindungi eksistensi negara bangsa. Sama halnya ketika kita bicara soal investasi bidang ekonomi. Muaranya sama untuk eksistensi negara bangsa. Investasi atau pembangunan bidang ekonomi adalah untuk kesejahteraan dan kemakmuran. Investasi bidang pertahanan adalah untuk mengawal kesejahteraan dan kemakmuran. Dua-duanya harus seiring sejalan. China sudah bilang dia keberatan maka kita juga bisa bilang: kami juga keberatan kalau sampeyan keberatan.

****

Jagarin Pane / 3 Desember 2021