Friday, March 25, 2022

Membaca Kegelisahan Indo Pasifik

Perang terbuka yang sedang berkecamuk antara Rusia dan Ukraina di Eropa membawa gelombang gelisah bin cemas di kawasan Indo Pasifik. Taiwan adalah salah satu pusat kegelisahan yang membawa negeri itu pada tingkat kesiagaan militer yang ekstra tinggi. Sejalan dengan berlangsungnya pertempuran terhebat di Eropa, negara-negara di kawasan Indo Pasifik sebulan terakhir ini meningkatkan kewaspadaan dan kesiagaan manajemen pertahanan serta menguatkan sinergi komunikasi intelijen tegangan tinggi. Indonesia juga berada dalam kesiagaan tinggi menjaga perairan Natuna. Beberapa kapal perang dan jet tempur melakukan simulasi anti serangan udara disana.

Taiwan hari-hari ini sedang dalam kondisi tekanan psikologi militer dan berada dalam tingkat kesiagaan pertahanan skala penuh. Ketika Ukraina diserang bertubi-tubi dengan beragam alutsista teknologi tinggi Rusia, AS dan NATO ternyata tidak bisa berkutik melakukan respon balasan. Maka bagi Taiwan "pelajaran bersejarah" ini menjadi catatan penting untuk diyakini. Bahwa meski berulang-ulang disampaikan "sekutu tanpa hubungan diplomatiknya" AS akan memberikan angin surga perlindungan militer untuk Taiwan jika diserang China, statemen ini tidak bisa dijadikan jaminan dan titik tumpu manajemen pertahanan. Taiwan harus memprioritaskan kemampuan pertahanan dengan kekuatan sendiri.

Skenario penyatuan Taiwan bagi China adalah amanat konstitusi, wajib hukumnya termasuk menggunakan kekuatan militer. China sudah mempersiapkan rencana besar untuk maksud itu.  Prediksi yang mengemuka adalah tahun 2027 dengan asumsi yang dipakai sebelum terjadi perang terbuka Rusia-Ukraina. Mengepung dan menyerbu Taiwan dari udara dan laut dengan target penyelesaian 1 hari saja merupakan target ambisius tetapi bisa saja terjadi. Sebab jika terlalu lama melakukan serbuan militer dan bantuan AS datang maka yang terjadi adalah melebarnya medan pertempuran, begitu skenarionya. Nyatanya di Ukraina AS tidak menolong secara fisik. Berkaca dari contoh soal di Ukraina bisa jadi China akan mempercepat penyatuan Taiwan dengan mengerahkan kekuatan militernya. Tidak harus menunggu tahun 2027.

Mencontoh model serbuan Rusia di Ukraina, China merasa diatas angin saat ini. Karena ternyata AS dan aliansi militer NATO tidak mampu memberikan perlindungan militer melainkan hanya teriak-teriak, ancam ini ancam itu, sanksi ini sanksi itu. Sejauh ini bagi Rusia, AS dan NATO seperti sebuah peribahasa, anjing menggonggong kafilah berlalu. China  membaca ulang peribahasa ini dan maknanya  memberikan kekuatan energi tambahan untuk rencana besarnya menyerbu Taiwan. Sama halnya dengan ribut rusuh dalam demo besar berbulan-bulan di Hongkong beberapa waktu lalu,  AS dan sekutunya ikut "ngipas-ngipas" suasana atas nama demokrasi. Nyatanya China mampu meredamnya dengan kekuatan militer. Hongkong kan punya China dan itu urusan dalam negeri China, kata diplomatnya. 

Apa sebab Indo Pasifik gelisah, jawabnya karena klaim-klaim China di regional ini didukung oleh kekuatan militernya yang semakin perkasa dan memiliki senjata nuklir. Sedangkan negara-negara di Asia Timur dan Tenggara tidak punya, termasuk Australia. Ini mungkin yang menjadi pertimbangan utama dibentuknya aliansi nuklir AUKUS dari tiga negara "saudara sepupu" keluarga besar anglo saxon Australia, Inggris dan AS. Aliansi ini memang untuk melakukan perlawanan nuklir sebagai payung pelindung negara-negara Asia Pasifik. Tetapi dengan terjadinya invasi Rusia ke Ukraina menurut pandangan kita marwah dan kehormatan Paman Sam sebagai payung pelindung mulai tergerus bagi negara-negara di kawasan Asia Pasifik termasuk Indonesia.

Jepang baru saja mendapat tamparan diplomatik dari Rusia dengan membekukan dan memutus perundingan soal sengketa kepemilikan kepulauan sakhalin. Kembali ke titik beku dan ini berarti membuka tambahan satu lagi titik panas di Asia Pasifik. Hot spot yang sudah "ngeri-ngeri pahit" dan mudah tersulut adalah soal Taiwan, demarkasi Panmunjom Korea dan nine dash line Laut China Selatan. Pesawat patroli anti kapal selam Poseidon Australia belum lama ini juga mendapat "serangan" laser dari kapal perang destroyer China di selatan perairan Merauke. Dalam terminologi militer tembakan laser ke pesawat atau kapal perang lawan merupakan kemenangan digital war game. Australia merasa dipermalukan China, kemudian melakukan protes diplomatik.

Rencana Indonesia mengundang Vladimir Putin untuk hadir di KTT G20 bulan Oktober  mendatang di Bali mendapat kritik keras dari Australia. Ributnya bukan main sampai menelepon Presiden Jokowi.  PM Australia menganggap Indonesia terlalu jauh dan terlalu dini dan menganggap Rusia tidak boleh hadir di pertemuan tingkat tinggi dua puluh negara dengan GDP terbesar. Dua sudut pandang ini harus dipertemukan solusinya namun tak perlu jua koar-koar mendikte. Tipikal negeri jiran selatan ini selalu high profile dalam merespon segala sesuatu yang terkait dengan kepentingan dia dan sekutunya. Kesannya grusa grusu, panik dan cenderung memaksakan kehendak. Sama halnya ketika membentuk AUKUS tanpa melakukan bargaining dan diskusi diplomatik dengan sejumlah negara di Indo Pasifik, langsung mempublikasikannya.

Kegelisahan Indo Pasifik harus disikapi dengan menjunjung martabat diplomatik semua pihak dan ketenangan bersikap. Semua tidak menginginkan perang berkecamuk di kawasan ini. Martabat diplomatik bisa dicapai jika ada kemauan dan kesanggupan serta kecerdasan dalam mengurai benang kusut persoalan. Kegagalan mencegah perang di Ukraina karena adanya keangkuhan pola sikap, pola ucap dan pola tindak. Memaksakan kehendak, merasa paling kuat dan meremehkan pihak lain. Negara-negara di kawasan Indo Pasifik harus mampu menggelar pertemuan internal dengan China tanpa menyertakan "negara luar". Kerjasama ekonomi dan investasi adalah rujukan utama dengan tambahan kultur Asia Timur dan Tenggara yang mengedepankan kehormatan dan penghormatan. Dialog kesetaraan, kebersamaan, saling ketergantungan menuju kesejahteraan bersama menjadi tema besarnya. Indonesia bisa memulai langkah besar ini.

****

Jagarin Pane / 25 Maret 2022