Saturday, September 18, 2021

Aliansi AUKUS, Formula Overdosis Bin Paranoid

Sepanjang pekan ini Indonesia mendapatkan dua "tekanan bathin" sekaligus dalam soal dinamika kawasan yang tak putus dirundung demam. Yang pertama adalah kedatangan tamu tak diundang tapi bukan maling, yaitu munculnya 6 kapal perang China di ZEE Laut Natuna Utara untuk menggertak gerak proyek eksplorasi minyak perusahaan Rusia. Yang satu lagi adalah deklarasi bersejarah yang kebablasan yaitu terbentuknya aliansi militer berbaju nuklir AUKUS (Australia, United Kingdom, United States) di Australia.

Sementara itu pada pekan yang sama Menhan Indonesia dan Menhan Inggris baru saja menjadi saksi penandatanganan kontrak antara industri pertahanan Inggris Babcock Internasional  dengan industri pertahanan Indonesia PT PAL. Kontrak dimaksud adalah  pembangunan berlisensi 2 kapal perang heavy fregate Babcock Arrowhead 140 yang akan dibangun di galangan kapal PT PAL Surabaya. Penandatanganan kontrak dilakukan diatas kapal perang Inggris HMS Argyll bersamaan dengan ajang DSEI 2021 di London.

Kontrak ini tentu sangat membanggakan kita karena kapal perang ini adalah yang terbesar, tercanggih yang akan dimiliki TNI AL dan tercanggih pula di ASEAN. Kebanggaan lainya adalah membangunnya di galangan kapal Indonesia, artinya akan banyak tenaga ahli dan teknisi kita yang terlibat. Secara tidak langsung adalah pemberdayaan sumber daya manusia, tenaga kerja terserap, menguatkan keahlian dan mendapatkan transfer teknologi kapal perang kelas berat. Inilah episode terakhir yang berakhir happy ending dari serial Iver Class berkelas yang dimodifikasi dan sangat dinantikan kehadirannya. Minimal bisa mengimbangi destroyer China Kunming 197 yang hari-hari ini "merajalela" di Natuna.

Dari sudut pandang militer perkembangan dinamika kawasan Indo Pasifik khususnya Asia Tenggara sangat intens dan tegang sepanjang pekan ini. Unjuk kekuatan di perairan Utara Natuna dengan munculnya 6 kapal perang China dan gugus tempur kapal induk AS Carl Vinson adalah pemicunya. Rombongan kapal perang China datang untuk menunjukkan ketidaksenangannya atas pekerjaan eksplorasi minyak yang katanya wilayah itu punya dia. Enak aja. Indonesia tidak tinggal diam dan mengerahkan 4 KRI dan 2 kapal Bakamla. Kemudian datang konvoi USS Carl Vinson melenggang dan berdansa atas nama kebebasan navigasi internasional. Maka bertemulah masing-masing "kontingen" di acara show of force antar kapal perang di perairan strategis itu.

Menghadapi China soal ZEE Laut China Selatan (LCS) dengan membentuk aliansi nuklir AUKUS jelas overdosis dan ketakutan yang berlebihan. Indonesia sangat keberatan dengan terbentuknya poros nuklir di kawasan ini. Australia terlihat begitu panik sekaligus arogan dan kurang menghargai negara tetangganya di ASEAN. Padahal dia pun adalah penandatangan traktat non proliferasi nuklir. Dia langgar sendiri. Konflik LCS mestinya disikapi proporsional dan profesional, bukan tergesa-gesa dan terkesan paranoid lalu bentuk AUKUS. Konflik LCS adalah soal ZEE, soal hak berdaulat bukan soal kedaulatan teritori 5 negara ASEAN. Dan mestinya diadapi saja dengan cara-cara konvensional.  Apalagi secara teritori negeri Kanguru itu tidak terancam secara langsung. Masih ada pelapis garis depan yang bernama Indonesia.

Aliansi AUKUS memprioritaskan Australia untuk segera memiliki 8 kapal selam nuklir. Padahal Australia pada tahun 2016 sudah menandatangani pembelian 12 kapal selam serang konvensional dari Perancis. Dan itu dibatalkan sepihak sehingga membuat Perancis marah besar dan menyebut Australia sebagai penghianat. Bahkan Presiden Perancis menarik pulang Duta Besarnya dari London dan Washington yang membuat hubungan diplomatik ketiga negara itu mencapai titik terendah sepanjang sejarah. Jelas marah dong sudah kontrak 50 milyar dollar tiba-tiba dibatalkan demi memenuhi hasrat libido paranoidnya Australia yang overdosis itu.

Dalam pandangan kita aliansi nuklir ini justru memperkeruh keadaan yang sudah demam tinggi di kawasan Asia Tenggara. Indonesia mengantisipasinya dengan penguatan alutsista konvensional seperti pengadaan 2 kapal perang Arrowhead 140 dari Inggris. Ini yang disebut antisipasi proporsional, mengimbangi. Kalaupun Australia sudah punya senjata nuklir toh dalam perang nuklir tidak ada yang menang, semuanya tijitibeh, mati siji mati kabeh, game over. Semua teknologi terkini yang tercipta untuk kesejahteraan umat manusia hancur berantakan oleh senjata nuklir. Australia terlihat bermain kasar bersama saudara semarganya AS dan Inggris. Hanya mementingkan ego kepentingan sepihak demi hegemoni tiga serangkai yang merasa sebagai pemilik kebenaran. Dan yang lain tidak boleh benar.

****

Jagarin Pane / 18 September  2021