"Analisis Historis Dinamis (Bagian Satu)"
Dinamika geopolitik dunia saat ini mengharuskan Indonesia bersiap menghadapi turbulensi tak terduga. Persiapannya adalah memperkuat cakram pertahanan berkorelasi dengan luasnya teritori, dan kekayaan sumber daya alam. Termasuk menyikapi karakter historis dan dinamis para tetangga yang ada di sekitar rumah gadang yang bernama bumi pertiwi ini. Seperti terbentuknya aliansi militer Australia dan Papua Nugini baru-baru ini. Aliansi "Pukpuk Treaty" ditandatangani 12 Oktober 2025 merupakan sebuah surprise geopolitik kawasan. Perjanjian strategis mereka berdua menyebut jika salah satu negara diserang secara militer, negara mitranya wajib membantu tanpa syarat.
Australia bersama keluarga besar "Anglo Saxon" AS dan Inggris sudah membentuk aliansi militer nuklir AUKUS di Indo Pasifik. Dengan tujuan menghadapi China. Sementara dua negara anggota ASEAN Malaysia dan Singapura pasca era Dwikora bergabung dalam FPDA (Five Power Defence Arrangements). Bersama Australia, Selandia Baru dan Inggris mereka membentuk persekutuan militer tahun 1971 sebagai dampak Dwikora. Filipina secara historis menjadi sekutu militer AS sejak perang Vietnam. Subic Navy Base dan Clark Air Force Base di Filipina menjadi pangkalan aju pergerakan militer dan alutsista AS untuk menggempur Vietnam Utara waktu itu. Meski akhirnya AS kalah secara militer. Vietnam Utara dan Selatan menjadi satu kesatuan Vietnam.
Negeri kepulauan kita yang luas ini berada di lingkaran historis dan dinamis dalam peta geopolitik kawasan. Hot spot terberatnya saat ini dan ke depan adalah dinamika konflik di Laut China Selatan (LCS). Dalam pandangan AUKUS, China adalah musuh bersama karena klaimnya pada LCS dan Taiwan. Dalam catatan historis FPDA, Indonesia dianggap musuh bersama karena luka sejarah konfrontasi Ganyang Malaysia. Sementara dalam pandangan masing-masing negara seperti Vietnam, Taiwan dan Filipina, China adalah potensi musuh mereka karena ambisi teritorinya yang begitu ekspansif.
Berdasarkan pengalaman historis pula, aslinya negara-negara di sekitar Indonesia yang bersentuhan teritori punya catatan diplomatik kurang sedap bahkan ngeri-ngeri sedap. Kecuali Brunai dan Filipina, tetangga "bernuansa persemakmuran" Australia, Malaysia dan Singapura mempunyai tabiat bermanis wajah didepan. Namun sering menggunting dalam lipatan, dengki dan arogan. Australia misalnya dalam persoalan Timor Timur awalnya mendukung Indonesia untuk intervensi militer akhir tahun 1975. Namun sejalan dengan perubahan peta geopolitik, Canberra berganti wajah arogan, mendikte dan merasa berjaya memimpin INTERFET untuk "menguasai" Timor Timur secara militer tahun 1999.
Konfrontasi Dwikora tahun 1963 sejatinya ngeri-ngeri sedap sekaligus pertaruhan eksistensi Indonesia. Suasana sudah menjelang perang terbuka. Puluhan ribu pasukan dan sukarelawan dikirim ke Kalimantan dan Sumatra. Kapal induk Inggris memprovokasi lewat Selat Sunda dari Singapura menuju Darwin.Tapi pulangnya dipaksa lewat Selat Lombok oleh Indonesia dengan pantauan kapal selam TNI AL. Malaysia dan Singapura berlindung di ketiak Inggris karena kemampuan militernya tidak berdaya menghadapi superioritas militer Indonesia yang sangat berjaya waktu itu. Berbagai infiltrasi pertempuran terjadi seperti di markas tentara persemakmuran di Kalabakan dekat Tawao Sabah dan Sakilkilo Sabah. Di Long Midang Krayan Prov Kaltara dan beberapa titik di Kalimantan Barat juga terjadi pertempuran sporadis.
Sabotase peledakan bom di Singapura oleh KKO Indonesia (sekarang Marinir) tanggal 10 Maret 1965 membuat negeri itu panik. Meski akhirnya Singapura bisa menangkap Usman dan Harun kemudian mengeksekusinya dengan hukuman gantung. Ketika peristiwa sudah berlangsung puluhan tahun kedengkian Singapura berlanjut ketika Indonesia memberi nama KRI Usman Harun untuk nama KRI striking force frigate tahun 2012. Singapura keberatan dengan pemberian kedua nama pahlawan ini. Inilah ciri jiran yang belum legowo dengan sejarah dan berusaha mendikte secara diplomatik. Indonesia tidak menggubris. Tetangga menggonggong, KRI Usman Harun 359 berlayar gagah melewati Selat Malaka.
Embargo alutsista buatan Barat adalah pengalaman pahit justru ketika kita membutuhkan untuk marwah kedaulatan. Bayangkan, kita punya 40 Jet tempur Hawk dan 100 tank Scorpion buatan Inggris. Tapi tidak boleh dipergunakan untuk menggempur GAM di Aceh. Jet tempur F5E dan F16 buatan AS diembargo suku cadangnya karena insiden Santa Cruz di Timor Timur. Pada saat seperti ini tiba-tiba muncul insiden di Bawean dan klaim Malaysia di Ambalat. Insiden Bawean Juli 2003 adalah provokasi 5 jet tempur Hornet dari kapal induk AS yang melintas di laut Jawa menuju Darwin. Manuver 5 Hornet ini membahayakan penerbangan sipil dari dan menuju Juanda. Iswahyudi AFB mengirim 2 jet tempur F16 untuk memantau pergerakan konvoi kapal induk AS. Meski sempat dikunci 5 Hornet, pilot F16 kita tetap tenang dan meminta agar manuver dihentikan. Sementara klaim Malaysia soal Ambalat mulai berkobar tahun 2004 sejak negeri jiran itu show of force dengan mengerahkan kapal perang.
Karakter jiran-jiran di sekitar rumah besar kita secara historis dan bergabung dalam beberapa aliansi militer terlihat dalam gambaran diatas. Juga pengalaman diembargo. Maka dalam pandangan strategis pertahanan Indonesia, dinamika historis geopolitik dan potensi konflik di kawasan ini perlu antisipasi secara dini. Dan perlu percepatan dalam pemenuhannya. Termasuk dalam strategi diversifikasi pengadaan alutsista. Semuanya berdasarkan peta geopolitik dan karakter jiran di sekitar kita. Kalau dalam program modernisasi alutsista TNI yang populer dengan sebutan MEF (Minimum Essential Force) perlu waktu 15 tahun yaitu 2010-2024. Maka program extra ordinary OEF (Optimum Essential Force) target waktunya 5 tahun saja. Yaitu tahun 2025-2030. Itu sebabnya ada kesan pengadaan alutsista TNI saat ini begitu bergelora.
Salah satu contoh diversifikasi alutsista adalah realisasi investasi drone bersenjata (UCAV) di Skadron 51 Pontianak dan Skadron 52 Natuna. Dengan kedatangan 12 UCAV Anka dari Turkiye maka 8 UCAV CH4 Rainbow buatan China digeser ke Skadron 53 UCAV di Tarakan. Skadron 51 dan 52 diisi UCAV Anka yang baru dan UCAV Aerostar yang sudah eksis lebih dulu. Wajar dong, karena rasanya kurang pas jika Rainbow berpatroli di LCS. Jadi jeruk makan jeruk kesannya. Juga rencana pengadaan jet tempur J10 Chengdu China adalah bagian dari strategi pertahanan pola diversifikasi. Jika 42 unit jet tempur Rafale befokus untuk membentengi teritori Natuna, Sumatera dan Kalimantan. Maka Jet tempur J10 Chengdu bisa dialokasikan di Sulawesi atau NTT. Sudah pahamlah maksudnya.
(Bersambung)
****
Jagarin Pane / 8 November 2025