Release dari Defence Security and Cooperation Agency (DSCA) Departemen
Pertahanan AS tanggal 6 Juli 2020 merupakan kejutan dalam percepatan proses
pengadaan alutsista Indonesia. DCSA menyetujui rencana Indonesia membeli 8
Helikopter canggih Osprey V22.
Hanya saja selama ini program pemerintah Indonesia untuk memperkuat
tentaranya dengan pengadaan berbagai jenis alutsista selalu diketahui publik
dan netizen. Karena dipublikasikan. Contoh kita mau beli kapal perang Iver
Class jauh-jauh hari sudah diketahui publik. Dan semuanya mendukung. Nah Osprey
ini surprise dan yang mengumumkannya lembaga bergengsi DSCA Yues'e.
Helikopter Osprey V22, lagi hangat dibicarakan |
Pertahanan teritori kita di Natuna sudah terancam. Jadi kalau ada yang
masih bilang tigapuluh tahun ke depan kita tidak punya musuh, ajak dia ke Natuna.
Suasana disana benar-benar siaga penuh. Fokus utama barikade pertahanan kita
sekarang adalah Natuna. Karena situasinya sudah tidak biasa alias extra
ordinary maka percepatan pengadaan alutsista juga harus extra ordinary.
Ingat waktu kita ditunjuk sebagai pasukan peace keeping di perbatasan
Lebanon-Israel satu dekade lalu. Alutsista pendukung prajurit milik kita tidak
memenuhi standar. Mosok mau ngirim panser Saladin. Ntar diketawain sama Sultan
Saladin yang menaklukan Jerusalem. Lalu dipesan cepat puluhan panser dari
Perancis. Ini Extra ordinary. Berangkat dari titik inilah kemudian kita membuat
ratusan panser Anoa dengan mesin dari Perancis.
Natuna harus diselamatkan dan dipertahankan dari aneksasi China. Tidak ada
jaminan bahwa Natuna akan aman-aman saja. Lihat saja perilaku kasar China di
Laut China Selatan (LCS). Kapal nelayan Vietnam ditenggelamkan, kapal perang
Filipina sudah dikunci dengan rudalnya, kapal survey energi Malaysia
dibayang-bayangi di Sabah. Untung saja ada kapal perang AS yang mengawal
didekatnya.
Maka kita perlu melakukan terobosan pengadaan alutsista skala
"wah". MEF (Minimum Essential Force) jilid tiga sekarang ini adalah
memforsir semaksimal mungkin untuk mendapatkan berbagai jenis alutsista
canggih. Pengadaan kapal perang terbesar di ASEAN, Iver Class, pengadaan batch
kedua kapal perang Martadinata Class. Termasuk lanjutan pembuatan kapal selam
Nagapasa Class. Juga pengadaan jet tempur F16 Viper, pesawat angkut berat
Hercules-J, helikopter Apache batch 2, Radar, UAV/UCAV, satbak peluru kendali
jarak sedang dan jauh, tank amfibi dan lain-lain.
Lalu mengapa Osprey V22 helikopter angkut yang bisa berubah menjadi pesawat
baling2, menjadi "bintang kejutan" pengadaan alutsista. Jawabnya
karena selama ini tidak pernah terbayangkan di mata publik. Dan tidak
mungkinlah membelinya. Bukankah AS sangat ketat menyeleksi alutsista canggih
produksi mereka untuk dijual ke negara lain. Untuk Osprey ini baru Jepang
pengguna pertama di luar AS. Belum lagi soal anggaran beli dan anggaran rawat
nantinya.
Klaim Laut China Selatan yang makin panas |
Boleh jadi pemikir dan perencana strategis TNI AD dan Kemenhan melihat
Osprey dalam perspektif daya jangkau dan kecepatan untuk kelas Helikopter.
Misalnya deploy dari Skadron Penerbad di Semarang ke Natuna lebih cepat sampai
karena non stop. Atau ada bencana alam di medan sulit dan jauh. Osprey jadi
solusi.
Kalau melihat peta teritori, Natuna itu sendirian lho. Meski sudah dibangun
pangkalan militer disana namun tetaplah diperlukan kekuatan penyambung untuk
aliran nadi pertahanan. Suplai prajurit, amunisi, alutsista sekaligus counter
attack. Pangkalan aju terdekat adalah Pontianak dan Tanjung Pinang. Osprey
salah satu alat penyambung emergency jarak jauh untuk TNI AD.
Jujur saja kekuatan pre emptive strike kita belum masuk kategori standar,
apalagi disegani. Dalam kondisi ini perkuatan AL dan AU menjadi langkah utama.
Ini negara dengan wilayah besar berwajah kepulauan. Mengawal teritori dengan
doktrin berani masuk digebuk (pre emptive strike) otomatis harus punya kekuatan
pukul menjerakan di matra AL dan AU.
Matra darat punya strategi memperkuat payung skadron Penerbad. Kita ketahui
Penerbad saat ini sedang memekarkan skadron helikopternya di Kalimantan dan
Sulawesi. Maka sah-sah saja jika opsi memilih helikopter Osprey yang wah itu.
Toh itu juga baru persetujuan dan lampu hijau dari DSCA. Persetujuan DSCA ini
menandakan Indonesia sudah naik peringkat menjadi kawan dekat Paman Sam.
Maka tidak perlu juga ada bantahan seolah-olah pengadaan ini bukan
permintaan Kemenhan. Mungkin juga saat pengumuman DSCA itu yang dirasa, kurang
tepat waktunya mengingat kita masih konsentrasi memerangi Covid 19. Namanya
baru persetujuan bukan berarti kemudian ada kontrak pembelian.
Dan jangan pula dibilang klaim sepihak dari AS. Ntar AS tersinggung lho
padahal kita sedang merayu Paman Donald agar kita dikecualikan dari CAATSA
supaya bisa mendapatkan Sukhoi SU35 Rusia. Bilang saja ke publik meski sudah
ada lampu hijau dari DSCA, untuk urusan pembelian masih panjang jalan
ceritanya. Bisa iya bisa tidak. Publik maklum kok.
****
Jagarin Pane / 09 Juli 2020