Monday, April 4, 2022

Salomon Menampar Australia

Perjanjian kerjasama keamanan antara China dan Salomon mendapat reaksi berlebihan dari Australia karena substansi perjanjian ini dianggap merupakan ancaman militer bagi Australia. Begitu bunyi yang mendengung keras dari sebuah negeri benua selatan yang begitu reaktif dan sensitif menyikapi apa saja yang dianggap menjadi ancaman kedaulatan bagi negeri kanguru itu. Bahkan ada pendapat yang mengemuka di Australia agar segera menginvasi negeri mungil itu. Salomon adalah sebuah negara kepulauan kecil di Pasifik Selatan.  Punya 800 ribu rakyat beragam etnis, bertetangga di utara Selandia Baru dan timur laut Australia.

Indonesia pun sejak lama dianggap sebagai ancaman bagi Canberra. Sudah sejak tahun sembilan puluhan Australia memasang radar OTH (over the horizon) di Jindalee Australia Utara untuk memantau pergerakan pesawat di Indonesia. Jiran selatan kita ini merupakan sebuah komunitas kebangsaan yang unik. Mayoritas populasinya bukan asli penduduk benua itu, melainkan pendatang dari Inggris dan Eropa yang datang dan menetap. Nah "tumpukan" komunitas itu hanya tersebar di New South Wales dan Victoria. Hanya di Australia Tenggara dan Selatan sementara di Utara, Barat dan Timur boleh dikata kosong dan tandus. Kalau kita terbang dari Sydney menuju Denpasar hanya satu jam saja kita bisa melihat kesuburan New South Wales, setelah itu sisa lima jam penerbangan, negara bagian lain yang dilintasi pesawat, coklat semua alias tandus.

Kondisi geopolitik dan geostrategis seperti ini bisa menjadi indikator betapa paranoidnya Australia melihat ancaman dari utara teritorinya. Canberra, Sydney, Melbourne dan Brisbane ada "di bawah" bumi selatan, menyendiri. Jiran terdekatnya hanya Selandia Baru dan Antartika. Gus Dur pernah bilang bahwa negeri jiran kita itu sebagai "usus buntu" alias berhenti sampai disitu. Beda dengan Jakarta atau Indonesia yang posisi geopolitik dan geostrategisnya sangat  berwibawa, diperhitungkan dan menjadi jalur utama untuk perlintasan transportasi laut dari Samudra Pasifik ke Samudra Hindia dan sebaliknya.

Dalam persoalan klaim Laut China Selatan posisi Indonesia sangat strategis dan diperhitungkan. Itulah sebabnya Australia dan AS harus "menyetel" performansi wajah dan bahasanya semanis mungkin agar Jakarta ikut "rombongan penggembira" AUKUS.  Bahkan AS sudah pernah menguji mobilitas lima ribuan pasukan gerak cepatnya bersama pasukan TNI bulan Agustus tahun lalu.  Bergerak bersama dari pangkalan militer AS di Guam Pasifik lalu diterjunkan di pusat latihan tempur TNI AD di Baturaja Sumsel. Latihan militer gabungan ini serentak diadakan di Sumsel, Kaltim dan Sulut. Australia juga tiba-tiba saja menghibahkan 15 ranpur anyar Bushmaster untuk dipakai pasukan  Indonesia dalam penugasan UNIFIL di Libanon.

Sebenarnya isi perjanjian keamanan bilateral Salomon-China itu hanya menyediakan fasilitas rehat dan bekal ulang bagi kapal perang China dan mengantisipasi perlindungan keamanan bagi Salomon setelah terjadi kerusuhan massa berbau rasial sentimen anti China di Salomon bulan Nopember tahun lalu. Tidak ada penambahan fasilitas apapun termasuk dermaga untuk pangkalan militer China sebagaimana ditegaskan Perdana Menteri Salomon Manasseh Sogavere.  Ketika terjadi rusuh besar di ibukota Honiara dan kota-kota lainnya yang menyasar etnis China, pasukan Australia diterjunkan untuk meredam dan memadamkan situasi yang menuju chaos di Salomon. Dan berhasil.

Selama ini negara-negara kecil di pasifik selatan memang berada dalam pengaruh kuat Australia. Itu sebabnya perjanjian keamanan Salomon-China dianggap menggunting dalam lipatan di mata Canberra. Apalagi mitra kerjasamanya China yang sudah diproklamirkan menjadi musuh jangka panjang pakta militer AUKUS (Australia, Inggris dan AS) dimana Australia sebagai garda terdepan. Apalagi baru-baru ini kapal perang jenis destroyer China yang melintas di selat Torrens, selatan Merauke sukses membidik dengan sinar laser pesawat patroli anti kapal selam Poseidon Australia yang mengawasi pergerakan kapal perang China. Dalam kacamata diplomasi militer,  bidikan laser Beijing itu sukses mempermalukan Canberra. 

Dalam pandangan kita mengurangi arogansi adalah kunci menuju hakekat pergaulan internasional yang bermarwah. Termasuk mengurangi sikap suudzon, paranoid, merasa terancam tetapi karena merasa lebih makmur, perkasa dan sejahtera lalu mengatur-atur pola pergaulan negara lain. Australia ada dalam bingkai ini. Adalah hak setiap bangsa dan negara merdeka untuk berkawan dengan siapa saja. Termasuk Indonesia yang menempatkan kelincahan dan kecerdasan diplomatik untuk tersenyum dan bergairah pada pergaulan dunia yang setara, take and give. Sejatinya Salomon dalam perspektif ini sukses menampar Australia, bukan karena substansi perjanjian dengan China tetapi karena reaksi yang berlebihan dan emosional menghadapi negeri mungil Salomon.

****

Jagarin Pane / 04 April 2022