Enam bulan pemerintahan Jokowi berjalan, sudah tiga kali
bertemu wajah dengan Presiden Cina Xi Jinping.
Tentu ini sebuah silaturrahmi yang luar biasa, terjadwal, sekaligus
bermakna besar dalam rencana-rencana bisnis strategis kedua negara. Pertemuan ketiga kedua kepala negara adalah
di ajang KAA 22-24 April 2015. Dan bisa
kita saksikan betapa dekatnya mereka, dan saling menempel meski tetap saja ada
kekakuan dari seorang Xi Jinping, ciri khas aura yang memang melekat dari kebanyakan
pimpinan tertinggi negeri tirai bambu, Cina.
Kedekatan itu tentu saja menimbulkan kecemburuan pada
rival Asia Timurnya Jepang yang juga punya banyak rencana bisnis dan investasi
di Indonesia termasuk persaingannya dengan Cina memperebutkan proyek kereta api
cepat di Indonesia. Toh pada akhirnya proyek “Shinkansen” itu jatuhnya ke
tangan Cina bersamaan dengan penandatanganan MOU di sela-sela KAA. Begitu
kekinya Jepang dengan menempelnya Xi Jinping bersama Jokowi dan adanya MOU itu,
sampai-sampai konon PM Shinzo Abe tidak jadi ikut Historical Walk di Bandung Jumat
tanggal 24 April 2015, langsung pulang tuh.
Saling melontar senyum di KAA, Xi Jinping, Jokowi, Shinzo Abe |
Kedekatan hubungan diantara petinggi itu itu mestinya
bisa menggairahkan Indonesia untuk memoderasi konflik Laut Cina Selatan (LCS) yang
semakin hari semakin menjurus pada provokasi dan adu kekuatan. Indonesia harus bisa
memainkan perannya untuk mengajak para pihak utamanya Cina ke meja perundingan
sekaligus untuk menunjukkan semangat Asia Afrika yang “tulus” itu. Kedekatan
dengan Xi Jinping mestinya bisa dimanfaatkan Jokowi untuk omong-omong informal
soal LCS. Bukankah kebanyakan penyelesaian
konflik selalu diawali dengan omong-omong informal, contohnya perdamaian di
Kamboja.
Jokowi, kalau saja dia punya ide dan inisiatif untuk
bergegas menggagas upaya dialog antar para pihak pengklaim LCS, tentu jalur
“diplomasi infrastruktur” kedua negara akan memantik pola hubungan yang jauh
lebih apik. Tidak melulu bisnis dan investasi sebagaimana rencana membangun
infrastruktur bernilai US $50 milyar yang dijanjikan Cina. Bisa saja kekakuan
dan kebekuan pola diplomatik Cina dapat dicairkan dengan dialog-dialog pribadi
sebagaimana yang ditunjukkan Jokowi dan Xi Jinping di KAA barusan.
Tetapi jangan lupa Cina tetaplah selalu berhitung ketat
dalam soal kerjasama apapun. Kerjasama militer dengan RI untuk memproduksi
bersama peluru kendali anti kapal C-705 nyaris
tak terdengar suaranya. Padahal ini
sudah digadang-gadang sejak pemerintahan sebelumnya. Kita tidak tahu apakah
proyek strategis ini jalan di tempat atau berjalan diam-diam atau memang
sengaja didiamkan. Bisa saja terlalu banyak persyaratan teknis dan non teknis
yang diinginkan Cina, ya karena perhitungan “dimpilnya” itu. Sama dengan Pakistan, janji Cina membangun
infrastruktur disana bernilai US $40 milyar sepuluh tahun lalu, realisasinya
tak semanis janji.
Menempel terus, Jokowi dan Xi Jinping di KAA |
Yang menarik dengan Cina adalah, hubungan bisnis dan
investasi termasuk rencana pembangunan infrastruktur bernilai 650 trilyun di
Indonesia tidak diimbangi dengan kedekatan hubungan militer utamanya rencana
strategis pengadaan alutsista. Indonesia
lebih percaya diri jika kedekatan itu ada bersama dengan Paman Sam. Ini bisa
dibuktikan dengan pengadaan 24 jet tempur F16 refurbish, pembelian 8 helikopter
Apache, pembelian peluru kendali udara ke udara, udara ke darat, konsultasi
manajemen pertempuran modern, pelatihan cyber war, latihan bersama antar
angkatan dan lain-lain. Bandingkan dengan Cina, kerjasama teknologi peluru
kendali C-705 belum menampakkan jalan cerita yang terang.
Boleh jadi jalan yang diambil Indonesia adalah bergaul
dengan semua pihak untuk memacu pertumbuhan ekonomi dan militer sambil
bersiasat jika sewaktu-waktu timbul konflik tak terduga. Mendekat ke Cina untuk ikut membangunkan infrastruktur
sambil tetap berdagang berbagai komoditi.
Tetapi juga mempersiapkan kondisi terburuk jika konflik LCS meletus
dengan membangun aliansi pertahanan melawan Cina. Atau bisa jadi kedekatan
hubungan dengan Cina menjadi penuntun bagi kita sebagai fasilitator dan
mediator konflik LCS.
Yang jelas pembangunan kekuatan militer Indonesia bukan
lagi sebuah kemakruhan. Tetapi sudah menjadi wajib hukumnya kalau tidak ingin
menyesal di kemudian hari. Situasi
kawasan tidak bisa diprediksi, angin cepat berubah dan yang bisa memastikan
keyakinan untuk percaya diri dengan semua gangguan cuaca ekstrim tadi adalah
kemampuan pertahanan diri.
Hanya saja sepanjang 6 bulan ini belum terlihat rencana
rinci mau beli alutsista apa, darimana, untuk matra apa. Semua masih belum
jelas selain rencana kedatangan alutsista dari program pemerintah
sebelumnya. Kita jadi rindu dengan gaya
Purnomo Yusgiantoro yang selalu menggebu-gebu melontarkan pernyataan,
setidaknya dia mampu membangunkan spirit berpertahanan bagi anak bangsa.
Tiga kali pertemuan akrab dengan orang nomor satu Cina Xi
Jinping tentu akan memberikan kedekatan personal dengan Presiden Indonesia. Kita
tidak tahu apakah ada disinggung masalah konflik kawasan dengan Cina. Kedekatan
personal jika diimbangi dengan kemampuan diplomasi sebagaimana yang dilakukan
oleh Bung Karno dalam menggagas KAA tentu akan semakin mengharumkan nama
Indonesia di mata dunia.
Menlu Ali Alatas adalah diplomat cemerlang dengan
segudang prestasi. Salah satunya adalah menggagas pertemuan informal yang
dikenal dengan JIM (Jakarta Informal Meeting) untuk mendamaikan pertarungan
antar elite di Kamboja. Hasilnya kita bisa saksikan Kamboja yang sekarang,
damai dan berkawan baik dengan Vietnam.
Begitu berterimakasihnya Kamboja pada kita akhirnya berdampak pada
kerjasama militer yang menguntungkan kita karena militer Kamboja “berguru dan
berkiblat” pada Kopassus. Sebuah
kebanggaan tersendiri. Kalau saja kita
bisa mendamaikan konflik LCS, betapa terhormatnya negeri ini.
****
Jagarin Pane / 25042015
(Artikel Ulang Tahun)