Pernyataan bersama Presiden Indonesia Prabowo Subianto dan Presiden China Xi Jinping soal Laut China Selatan (LCS) tanggal 9 Nopember 2024 mendapatkan respon yang luar biasa. Di dalam dan di luar negeri. Ada dua catatan yang bisa kita kedepankan sebagai bagian dari diplomasi detente Presiden kita ini. Yang pertama adalah ketika Prabowo terpilih menjadi Presiden Indonesia, China mengundangnya secara khusus dalam kapasitas sebagai presiden terpilih. Meski kemudian Kemenlu Indonesia meluruskannya sebagai Menteri Pertahanan. Prabowo berkunjung ke Beijing tanggal 31 Maret sampai 2 April 2024 dan mendapat sambutan hangat Presiden China Xi Jinping. Ini sebuah inisiasi diplomatik terukur Paman Panda untuk merangkul Jakarta.
Yang kedua, setelah dilantik menjadi Presiden Indonesia, Prabowo memilih China sebagai negara pertama yang dikunjungi sebelum kunjungan safari ke benua Amerika. Dan ini hanya berjarak enam bulan interval berkunjung ke China. Luar biasa berbalas pantun diplomatik. Sementara kunjungan berikutnya Prabowo ke AS tanggal 10-13 November 2024, kemudian menghadiri KTT APEC di Peru tanggal 15-16 November 2024 dan KTT G20 di Brazil tanggal 18-19 November 2024. Dalam kunjungan kenegaraan ke China tanggal 8-10 November 2024 inilah lahir Joint Statement bersejarah China-Indonesia. Judulnya sangat rinci: Peningkatan Kemitraan Strategis Komprehensif Dan Komunitas China-Indonesia Untuk Masa Depan Bersama.
Pernyataan bersejarahnya ada di butir 9. Bahwa kedua negara akan bersama-sama membuat lebih banyak titik terang (bright spot) dalam kerjasama maritim termasuk untuk area yang mengalami klaim tumpang tindih dan sepakat untuk membentuk komite pengarah bersama. Kementerian luar negeri Indonesia kemudian memberikan penjelasan bahwa Joint Statement bukanlah pengakuan terhadap nine dash line China. Dan kerjasama maritim Indonesia-China tidak berdampak pada kedaulatan maupun yuridiksi Indonesia di Laut Natuna Utara (LNU). Maka gema joint statement kedua negara ini membuat kalkulasi geopolitik LCS bergelombang.
Dalam perspektif kita langkah diplomatik Presiden Prabowo ini setidaknya berupaya mengurangi demam berkepanjangan di LCS yang sudah menimbulkan banyak provokasi dan insiden. Menurunkan ketegangan atau relaksasi dikenal dengan istilah detente. Yaitu upaya diplomatik mengelola hubungan dengan negara yang berpotensi menjadi musuh untuk menjaga perdamaian. Dan bahkan bisa membangun kerjasama simbiosis mutualistis. Istilah detente sangat populer pada era ketegangan NATO dengan Pakta Warsawa. Langkah diplomatik Prabowo ini juga ingin menegaskan bahwa Indonesia punya cara tersendiri dalam mengelola hubungan luar negerinya. Termasuk diplomasi militer.
Kita tidak ingin terjebak dalam framing ikut dan atau dipengaruhi salah satu persekutuan dan aliansi militer. Dengan AS kita sudah punya hubungan kemitraan strategis komprehensif, sama dan setara dengan China. Indonesia dan Australia punya perjanjian Defence Cooperation Agreement (DCA) revisi dari Lombok Treaty. Juga dengan Singapura. DCA dengan Australia telah menghasilkan latihan militer terbesar sepanjang sejarah "Keris Woomera" bulan November yang lalu di Jawa Timur. DCA dengan Singapura, mengizinkan negeri mungil sejahtera berotot militer itu menggunakan perairan di selatan Natuna untuk latihan militernya. Dengan militer AS, Indonesia setiap tahun melakukan latihan tempur tiga matra skala besar "Garuda Shield", bersama negara sahabat yang lain. Dengan Armada Pasifik Rusia, TNI AL baru saja melakukan latihan tempur laut "Orruda Exercise" di laut Jawa bulan lalu.
Dalam diplomasi detente, mengumandangkan bright spot jauh lebih baik daripada memelihara hot spot. Membangun kerjasama untuk kepentingan bersama jauh lebih penting daripada memelihara titik panas konflik oleh sebuah sebab yang tidak proporsional. Indonesia sebenarnya tidak berkonflik kedaulatan teritori dengan China. Tumpang tindih dengan nine dash line China ada di perairan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) LNU, bukan di perairan teritori kedaulatan NKRI. ZEE Indonesia di LNU adalah hak berdaulat sesuai Konvensi Hukum Laut Internasional UNCLOS 1982. Konvensi ini ditandatangani 10 Desember 1982 di Jamaika. Berlaku efektif sejak 16 Nopember 1994. Indonesia meratifikasi UNCLOS 1982 dengan UU No 17 tahun 1985 . China baru meratifikasi UNCLOS 1982 pada tahun 1996. Sementara AS sampai saat ini belum mengakui UNCLOS 1982.
Mengapa AS begitu bersemangat membangun aliansi militer AUKUS di Indo Pasifik. Menggelar kekuatan militer secara besar-besaran. Melakukan latihan militer dengan sejumlah negara di Indo Pasifik. Memperkuat Australia dengan kapal selam nuklir. Membangun pangkalan militer di Filipina. Menguatkan pertahanan Taiwan. Memindahkan armada kapal induk dari kawasan Teluk ke Pasifik. Semua langkah strategis AS ini adalah untuk mengantisipasi ancaman militer China. Termasuk memelihara hegemoni superioritas ekonominya yang bersaing ketat dengan China. Dalam bahasa Samuel Huntington musuh masa depan AS adalah China.
Mengantisipasi dinamika geopolitik kawasan dan untuk urusan kedaulatan teritori, Indonesia terus menguatkan postur pertahanannya, proporsional dengan luas wilayahnya. Dua kapal perang setara heavy fregate "Brawijaya Class" dari Italia tahun depan memperkuat armada tempur TNI AL. Termasuk kontrak efektif pembangunan dua kapal selam Scorpene dengan Perancis. Pembangunan kapal perang jenis OPV 90, kapal cepat rudal, kapal patroli cepat terus berlangsung di galangan kapal swasta nasional. PT PAL saat ini sedang membangun 2 kapal perang terbesar heavy fregate "merah putih" di galangan kapal miliknya di Surabaya.
Sementara TNI AD akan mendapatkan 22 helikopter Black Hawk dari AS, sejumlah rudal balistik Khan buatan Turki, UAV dan berbagai jenis ranpur lainnya. TNI AU menambah dan menguatkan satuan radar dengan 25 radar GCI baru. Sebagian buatan Perancis dan sebagian lagi buatan Ceko. Juga mempersiapkan infrastruktur untuk 42 jet tempur Rafale, 2 pesawat angkut A300 MRTT, 2 pesawat angkut A400M dan sejumlah drone bersenjata. Ini adalah program strategis extra ordinary untuk memastikan keberdayaan militer menjaga marwah teritori negeri kepulauan ini
China adalah kekuatan ekonomi dan militer masa depan. Pertumbuhan ke arah itu sangat jelas sekarang. Dunia yang unipolar saat ini sudah menuju multipolar. Pemegang piala hegemoni AS dan sekutu Baratnya tentu berupaya agar hegemoni ekonomi, hegemoni militer, hegemoni framing dan informasi tidak tergerus abrasi China. Maka sekarang kita lihat polarisasi dunia menguat. Perang Rusia-Ukraina adalah hasil dari hegemoni framing. Di sisi yang lain ada pembiaran kekejaman Israel di Gaza. Semua ini karena perilaku hegemoni yang overdosis dan mencederai nilai-nilai kemanusiaan. Termasuk lahirnya aliansi militer China, Rusia, Korea Utara, Iran adalah karena ketidakadilan hegemoni. Juga BRICS.
Oleh sebab itu kita melihat langkah diplomatik cerdas Presiden Prabowo dan Presiden Xi Jinping melalui Joint Statement bisa diartikan dalam perspektif memandang over the horizon. Dunia masa depan dengan adalah kerjasama, bukan permusuhan. Indonesia tidak ingin terjebak dalam percaturan spion hegemoni karena masa depan harus dibangun dengan kerjasama ekonomi semua pihak. Membangun kerjasama internasional melalui bright spot adalah jalur terbaik untuk menuju Indonesia Emas. Termasuk membangun kekuatan militer negeri ini adalah untuk memastikan keberdayaan dan kewibawaan teritori NKRI serta marwah diplomasi. Semoga.
****
Jagarin Pane / 25 Desember 2024