Tuesday, November 18, 2025

Strategi Diversifikasi Investasi Alutsista ( Bagian 2 Habis)

 Analisis Historis Dinamis

Dinamika geopolitik kawasan sangat dinamis dan sulit ditebak. Ketika bagian pertama dari tulisan ini diterbitkan beberapa hari yang lalu, belum ada tanda akan ada perubahan esensial dari Defense Cooperation Arrangement (DCA], antara Indonesia dan Australia. Kunjungan Presiden Prabowo ke Australia tanggal 12 Nopember 2025 tepat sebulan setelah terbentuknya aliansi militer Australia dan Papua Nugini "Pukpuk Treaty" tanggal 12 Oktober 2025. Aliansi ini bagian dari upaya diplomasi antisipasi Australia untuk mempertahankan dominasinya terhadap Papua Nugini. Terutama sejak China mulai menanamkan pengaruhnya di negara-negara pasifik selatan.

Kunjungan Prabowo ke Canberra sesungguhnya memberikan keyakinan tentang semakin berkembangnya marwah diplomasi Indonesia. Pengembangan postur pertahanan dan perkuatan alutsista TNI yang semakin berbintang diniscayakan menjadi faktor utama pembaharuan DCA. Perjanjian kerjasama pertahanan dengan Australia ini diperluas menjadi kemitraan strategis komprehensif, multi dimensi. Mirip dengan perjanjian kemitraan strategis antara Indonesia dan Amerika Serikat. Asesories dari kunjungan ini adalah sambutan tuan rumah yang begitu hangat dan serba militer. Australia memamerkan sejumlah alutsistanya kepada Prabowo.

PM Australia Anthony Albanese dan Presiden Indonesia Prabowo Subianto diatas kapal perang LHD (kapal induk helikopter) HMAS Canberra memperbaharui DCA dengan sebuah Headline : Jika salah satu negara terancam oleh negara lain maka kedua negara akan saling berkonsultasi dan membantu. Paragraf ini menjadi penguat DCA tahun 2024. Meski kadar kekentalannya tetap masih setingkat dibawah aliansi militer. Masih setingkat dibawah Pukpuk Treaty antara Australia dan Papua Nugini. Karena sesuai politik luar negeri yang bebas aktif dan dinamis, Indonesia tidak ingin terjebak dalam aliansi militer dari negara manapun. 

Dalam perspektif kita, performa diplomasi Indonesia sebenarnya berada diatas angin dalam pembaharuan DCA dengan Australia kali ini. Kita meyakini bahwa inisiatif amandeman DCA ini bukan dari Jakarta. DCA tahun 2024 sebenarnya sudah cukup bagi Indonesia. Toh dalam takdir hubungan bertetangga antar negara yang penting adalah saling menghargai, saling berkomunikasi dan tidak usil dengan urusan dalam negeri tetangganya. Padahal sejauh ini banyak catatan historis bertetangga dengan negeri berwajah Eropah di selatan kita ini. Ada kesan yang kuat Canberra selama ini merasa lebih superior, cenderung mendikte dan high profile dalam tampilan diplomatik.

Mari kita simak catatan itu. Indonesia-Australia tanda tangan perjanjian keamanan tahun 1995. Nyatanya ketika Timor Timur bergolak tahun 1999, kawan kita ini ikut bermain api. Canberra menyurati Jakarta agar melaksanakan referendum. Australia juga grusa grusu ngebet ingin menjadi leader pasukan INTERFET di Timor Timur. Dalam suasana seperti ini, suatu ketika 2 jet tempur Hawk Indonesia yang berpatroli bertemu dan mempertanyakan penerbangan beberapa jet tempur Hornet Australia di udara pulau Roti NTT. Malam harinya tiba-tiba 5 jet tempur Hornet Australia melakukan manuver provokasi di atas Kupang. Lalu dimana sebenarnya "harga diri" perjanjian keamanan tahun 1995 itu.

Amandemen DCA ini sangat dimungkinkan karena  pengaruh program extra ordinary penguatan militer Indonesia yang dikenal dengan Optimum Essential Force (OEF) tahun 2025-2030. OEF adalah lanjutan dari program MEF (minimum essential force) 2010-2024. Pola diplomasi Indonesia yang mulai mendunia juga menjadi perhatian Australia. Seperti dalam perumusan perdamaian Gaza, bantuan kemanusiaan untuk Gaza, kesediaan mengirim ribuan pasukan perdamaian TNI ke Gaza. Pemberitaan program percepatan perolehan investasi alutsista dan memodernisasi alutsista TNI yang sudah ada, getarannya terasa sampai Canberra. 

Bisa dibayangkan begitu masifnya pengadaan berbagai jenis alutsista TNI saat ini dan diversifikasinya. 42 jet tempur Rafale segera tiba bertahap. 6 jet latih tempur T50 menjelang tiba. 1 pesawat angkut berat terbesar A400M sudah tiba. 25 radar GCI Thales dan Retia sedang dalam proses instalasi. 2 KRI heavy frigate Brawijaya Class sudah ditangan. 2 KRI heavy frigate Merah Putih yang dibangun PT PAL menjelang sentuh air. 2 kapal selam Scorpene sedang proses bangun. PT PAL sukses mengembangkan teknologi kapal selam tanpa awak dan akan membangun 30 unit. Belum lagi pertumbuhan cepat  kapal perang OPV, kapal cepat rudal (KCR), landing platform dock (LPD) produksi dalam negeri.

Sementara pengadaan 48 jet tempur KAAN, 2 kapal frigate Istif Class, 2 kapal cepat rudal, puluhan rudal Atmaca, rudal balistik KHAN, puluhan drone Anka, Bayraktar dan lain-lain semuanya produk Turkiye. Tidak lepas dari perhatian dan pantauan Australia. Canberra "nguping terus" sembari mengguman: what's next.  Belum lagi kerjasama jet tempur KF21 Boramae dengan Korsel yang mulai produksi massal. Indonesia punya alokasi 48 jet tempur. Beberapa alutsista China juga dilirik Jakarta sebagai bagian dari kebijakan diversifikasi investasi alutsista. Seperti coastal missile, jet tempur J10 Chengdu dan kapal perang frigate. Yang lebih bergetar tentu saja adalah akuisisi kapal induk bekas AL Italia INS Giuseppe Garibaldi. Formula  interoperability dalam manajemen pertempuran modern network centric warfare (NCW) adalah bagian dari strategi diversifikasi ini.

Program percepatan pemenuhan investasi alutsista TNI belum pernah semeriah saat ini. Yang bisa menyainginya adalah era Trikora dan Dwikora. Dinamika geopolitik saat ini yang bernuansa susah ditebak dan ngeri-ngeri sedap, luasnya wilayah negeri, kekayaan sumber daya alam, pertumbuhan ekonomi yang berkesinambungan dan penguat bargaining posisi diplomasi Indonesia, adalah indikator utama yang menjadi keharusan mutlak untuk memperkuat pertahanan negara. Negeri yang luas ini harus mempunyai payung pertahanan yang kuat. Sejalan dengan pertumbuhan ekonomi kesejahteraan dan kekuatan ekonomi Indonesia yang saat ini berada di posisi 16 besar dunia.

Strategi diversifikasi pengadaan alutsista dalam pandangan kita adalah kecerdasan membaca peta geopolitik kawasan. Pola ini untuk mengantisipasi adanya embargo dan menyesuaikan dengan karakter potensi konflik di sekitar rumah besar kita. Termasuk menguatkan industri pertahanan dalam negeri yang sudah terbukti menjadi pemasok alutsista panser, tank, roket dan kapal perang. Industri pertahanan kita juga bekerjasama dengan Turkiye dan Korsel. Apalagi saat ini alutsista non barat seperti Turkiye dan China sedang naik daun. Pada saat kita sedang berupaya untuk mempercepat perolehan alutsista, ada jiran yang kemudian ingin mengajak lebih bersahabat lagi. Bukankah ini bagian dari menguatnya marwah diplomasi pertahanan kita. 

****

Jagarin Pane / 18 November 2025


5 comments:

Anonymous said...

Yang pertama komen, Terimakasih bang jagarin untuk pencerahannya

Anonymous said...

bang jagarin terimakasih untuk ulasannya, tetap waspada dengan ausie dan di biak harus minimal 12 j10c atau 12 su35. setelah era pak prabowo bisa saja ausie kembali ketabiatnya berkhianat terhadap ri.

Jagarin Pane said...

Thx again

Anonymous said...

Yang perlu ditimbang ditimbang yang perlu diwaspadai diwaspadai hope for the best planing for the worst

Unknown said...

tetap waspada selama OTHR Jindalee aktif wilayah tengah & timur Indonesia tetap dalam cover mereka