Wednesday, November 26, 2014

Menguji Jalesveva Jayamahe



Berjalan sebulan lebih perjalanan pemerintahan Jokowi, berbagai kejutan jalan berbangsa kita alami antara lain dengan kenaikan BBM dan ultimatum menenggelamkan kapal ikan asing yang menyusup ke perairan Indonesia.  Tentang kenaikan BBM kita berpandangan bahwa memang sudah saatnya energi mobilitas itu dinaikkan meski harga minyak dunia turun. Justru ini jadi momentum untuk menipiskan subsidi sekaligus meminimalkan penyelundupan BBM.  Dananya untuk pembangunan infrastruktur dan pos produktif lainnya.

Mata rantai cerita berjudul poros maritim semakin enak diikuti ketika bintang utamanya srikandi wanita Susi Pudji Astuti melakukan solo run ke Natuna dan Derawan untuk blusukan tanpa basa basi.  Menteri KKP ini memang wanita tangguh yang paham betul seluk beluk kelautan dan perikanan.  Dia kecil, besar, dewasa, kuat, tegar di alam laut Selatan yang ganas.  Dia pula yang berhasil menaklukkan dunia kelautan dan perikanan serta transportasi udara untuk menjelma sebagai pengusaha sukses yang nasionalis.
Kapal Patroli TNI AL
Ultimatum Presiden untuk menenggelamkan kapal ikan asing yang masuk perairan RI disikapi dengan sikap “siap komandan” oleh Menko Polhukam, Menko Kemaritiman, Menlu, Panglima TNI, Kapolri dan Ibu Susi sendiri tentunya.  Maka pada hari-hari ke depan ini kita akan menyaksikan pergerakan armada kapal perang TNI AL, kapal patroli Bakorkamla, kapal KKP, kapal polisi air, kapal bea cukai, pesawat patroli dan intai maritim mengintensifkan patroli terkoordinasi. Secara de facto ini sebenarnya menjadi simulasi awal untuk terbentuknya BAKAMLA sebagaimana operasi militer Garda Wibawa yang di gelar di Tarakan saat ini mensinergikan sejumlah KRI, satuan radar, satuan rudal, satuan intelijen dan pesawat tempur Sukhoi.

Uji nyali jalesveva jayamahe sedang dimulai.  Ini adalah mata kuliah penting untuk mengukur sejauh mana nilai kesiagaan dan kesiapan tugas  armada laut berintegrasi satu sama lain.  Instruksi Presiden ini secara operasional bisa dicermati dengan dua makna. Yaitu untuk memastikan sterilisasi perairan RI dan endurance operasi itu sendiri.  Sisiran wilayah operasi untuk menangkap dan membawa kapal nelayan asing ke pelabuhan terdekat harus bisa memberikan pembuktian nyata.  Kemudian daya tahan armada menjadi bahan evaluasi untuk menjadi bahan masukan apa-apa yang harus diperbaiki, ditambah dan diperkasakan.

Dengan kekuatan 170 an KRI, ratusan kapal patroli kelas KAL (Kapal Angkatan Laut), puluhan kapal patroli milik institusi lain diharapkan akan memberikan efek jera bagi nelayan asing yang selama ini sudah terbiasa dan terbiarkan dengan laut Indonesia yang kaya ikan itu. Semakin jelaslah memang pembentukan BAKAMLA yang sudah lama menjadi wacana itu merupakan sebuah dahaga yang harus dipenuhi. Tetapi lebih penting dari itu adalah menyikapi dengan kewaspadaan tinggi akan respons negara yang punya kekuatan laut digdaya dengan teknologi modern seperti Cina.  
Kapal perang baru Bung Tomo Class
Kapal-kapal nelayan Cina sejatinya tidak murni mencari ikan tetapi juga sebagai agen spionase negaranya.  Kapal nelayan mereka sudah melapor terlebih dahulu kepada “pelindungnya” kapal perang Cina yang beroperasi tak jauh dari mereka. Bahkan sudah dilengkapi dengan peralatan komunikasi canggih sebagai jembatan penghubung dengan kapal perang negaranya yang biasanya mengikuti dari belakang.  Ingat kasus di laut Natuna beberapa tahun lalu ketika kapal KKP kita membawa kapal nelayan Cina ke Natuna, dipaksa lepas untuk dibebaskan oleh kapal perang Cina di tengah laut.

Langkah awal menuju poros maritim sedang dilakukan. Memberikan nilai kewibawaan pada apa yang disebut teritori laut, perlindungan sumber daya  kelautan dan keamanan di laut. Ini adalah langkah yang bagus untuk memberikan kejut nilai, kejut jera dan kejut wibawa. Tentu ke depannya adalah memperkuat armada laut dengan kekuatan herder untuk memastikan nilai rasa pasti aman dan pasti wibawa di laut itu benar-benar dapat kita rasakan dan banggakan. 

Dalam pemerintahan Jokowi yang hendak memeluk laut dan isinya,  tentu harus diperkuat dengan armada kapal perang yang berwibawa disamping kapal perang jenis cabe rawit. Kapal perang berwibawa minimal fregat atau destroyer sedang jenis cabe rawit tentu berkelas KCR.  Untuk kapal berjenis KCR (Kapal Cepat Rudal) sudah tersedia banyak produsennya baik PAL atau galangan kapal lainnya.  Kita bisa memproduksi 20 KCR setiap tahun karena kapasitas produksi galangan kapal kita mampu.
Peluru Kendali anti kapal Yakhont
Lima tahun ke depan AL dan AU kita akan diperkuat dengan alutsista bermutu dan berkelas.  Sesungguhnya poros maritim yang didengungkan itu harus punya mata, telinga dan tangan untuk menjamin eksistensinya.  Indra dengar, lihat dan pukul itu adalah sebuah sistem terpadu antara matra laut dan udara dengan seperangkat perabot alutsista yang bernama kapal perang, radar, jet tempur, satuan rudal dan pasukan marinir untuk memastikan integrasi, koordinasi dan komunikasi “berani masuk digebuk” bisa berjalan dengan solid.

Memiliki armada laut dan udara yang kuat bukanlah sebuah biaya atau expense.  Justru dia menjadi investasi untuk membuat bangsa ini bernilai, bermakna dan berwibawa. Tidak kalah penting adalah untuk menjamin sebuah kepemilikan atas nama teritori laut termasuk ZEE (Zona Ekomoni Eksklusif) yang sudah diakui oleh dunia internasional.  Memberdayakan sumber daya laut dan isinya termasuk sumber daya energi fosil yang terkandung didalamnya untuk memperkuat basis PDB dan pertumbuhan ekonomi kita.  Saatnya membuktikan semboyan Jalesveva Jayamahe menjadi kekuatan ekonomi dahsyat dengan dukungan kekuatan laut dan udara berkelas herder.
****
Jagvane / 26 Nopember 2014