Saturday, January 22, 2011

Natuna, Titik Panas Konflik Regional Masa Dpan

Adalah Cina yang menyulut lidah api klaim dengan menjulurkan lidah naganya sampai menyentuh perairan Natuna pertama kali dua puluh tahun silam.  Lidah naga itu yang menjilati perairan Natuna dan teritori sekitarnya membuat petinggi TNI panik.  Bagaimana tak panik, karena waktu itu Natuna tak dikawal mata telinga sekalipun.  Si mata telinga alias radar memang tak ada di gugusan pulau yang menjorok ke utara laut Cina Selatan itu, landasan pacu lanudnya pun tak mampu didarati pesawat angkut dan tempur.

TNI pun berbenah, pangkalan udara Ranai (Rantau nan indah) didandani apik dan sekaligus dipasang radar terbaik untuk ukuran saat itu. TNI AL mengirim beberapa KRI, TNI AD memasang arsenal hanud, TNI AU patroli menggunakan F5E dan F16.  Lanjutan dari pengembangan kekuatan ini pulalah mengapa beberapa tahun kemudian lanud Supadio Pontianak digelar 1 skuadron Hawk secara permanen sampai sekarang. Salah satu fungsinya untuk mengawal Natuna.

Tahun 2010 yang lalu intensitas kehadiran ”intelijen” Cina melalui armada kapal dagang yang dipenuhi instrumen elektronik militer mengganggu teritori beberapa negara ASEAN termasuk Indonesia.  Juli 2010 misalnya, TLDM (Malaysia) memergoki armada kapal dagang ini di pulau Terumbu Layang-layang.  Dengan Filipina juga demikian, armada kapal dagang Cina seperti meyakini bahwa itu adalah teritorinya sehingga tak langsung pergi ketika diingatkan.  Ketika armada itu memasuki perairan Natuna, beberapa KRI segera mengingatkan dan memberi isyarat agar mereka segera keluar dari teritori NKRI.  Dan mereka keluar.

Pertengahan tahun 2010 Presiden SBY mengeluarkan statemen: RI memantau aktif kondisi dan dinamika laut Cina Selatan sehubungan dengan aktivitas yang meningkat bagi kapal dagang Cina.  Namun sesungguhnya yang dikhawatirkan adalah meningkatnya kekuatan militer Cina secara siginfikan beberapa tahun terakhir.

Merespons perkembangan kekuatan militer Cina sehubungan dengan klaimnya atas perairan Natuna, tentu tidak harus dijawab secara normatif alias NATO (No Action Talk Only) tapi harus dijabarkan dalam bentuk pengembangan kekuatan tempur TNI.  Beberapa bulan kemudian lewat proses sign lintas eksekutif dan legislatif, belanja alutsista pun dimulai dengan anggaran 150 trilyun rupiah untuk jangka waktu lima tahun ke depan setidaknya untuk mencapai Minimum Essential Force).

Beberapa negara ASEAN juga berbenah diri dengan memperkuat tentaranya.  Vietnam yang juga berkonflik dengan si Naga telah memesan 5 kapal selam Kilo dari Rusia, memperkuat angkatan udaranya dengan 30 Sukhoi.  Malaysia sudah menerima 2 kapal selam Scorpene , 18 Sukhoi, 7 kapal perang dan membangun pangkalan militer di Sabah.  Sementara Filipina anteng-anteng saja walaupun saling klaim pulau di laut Cina selatan dengan Cina.  Mungkin anggapan mereka masih dipayungi dengan armada ke 7 AS karena Clark dan Subik pernah menjadi pangkalan AU dan AL armada ke 7 AS dua dekade lalu.

Bagaimana dengan kita, ada sinar cerah untuk pertambahan alutsista.  Armada barat yang bertanggung jawab terhadap perairan Natuna sudah membentuk satuan kapal cepat rudal, senjata utamanya rudal C802 dan C705 buatan Cina.  Saat ini sudah tersedia 7 KRI ready for combat, ke depan diniscayakan akan ditambah sampai 30 KRI kelas KCR (Kapal Cepat Rudal). Kemudian ada penambahan 4 kapal selam, ada proyek light fregat untuk 10 KRI, integrasi rudal yakhont pada KRI Ahmad Yani Class, pertambahan pangkalan utama TNI AL, pemesanan 100 tank amphibi BMP-3F dan pengembangan satuan Marinir.  Jumlah armada TNI AL saat ini 154 KRI akan terus ditambah sampai mencapai 274 KRI dibagi dalam kekuatan 3 armada (barat, tengah, timur).

TNI AU juga ikut berbenah karena konflik ini mau tak mau akan didominasi oleh kekuatan laut dan udara.  TNI AU lima tahun ke depan diprediksi akan diperkuat dengan 2 skuadron Sukhoi dan 3 skuadron F16, 1 skuadron Super Tucano dan 1 skuadron Yak130, selain 2 skuadron Hawk dan 1 skuadron F5E eksisting.  Pangkalan skuadron tempur pun ditambah, pilihan yang mengemuka ada di Biak dan Medan.

Merespon dinamika laut Cina Selatan mengharuskan kita siap siaga dan mempersiapkan alutsista modern.  Tugas TNI adalah menjaga kedaulatan dan kewibawaan teritori NKRI. Perkembangan pesat militer Cina harus disikapi dengan perkuatan arsenal secara signifikan. Tak perlu jua mengharap-harap kehadiran armada ke 7 Paman Sam.  Mending memperkuat diri sendiri untuk percaya diri, karena harga diri bangsa adalah mempertaruhkan kehormatannya dengan kekuatan jati diri seperti pada era perang kemerdekaan 1945-1949.  Kekuatan kita adalah jati diri kita, tak perlu minta bantuan dari negara lain dan itulah sejatinya kehormatan bangsa ini.

Titik panas Natuna ini adalah konflik regional masa depan.  Situasi ini wajib kita amati secara cerdas sembari mempersiapkan alat pukul arsenal mematikan. Ini adalah syarat mutlak untuk menjunjung kewibawaan NKRI, bukan untuk mengajak perang tetapi menyetarakan diri untuk berkata: jangan ganggu kami, kalau tidak ingin berantakan.  Kami tak ingin memulai tapi juga tak ingin dimulai.
*****
Jagvane ( 22012011)