Wednesday, July 13, 2011

Uji Nyali di Laut Cina Selatan

Kawasan Konflik Laut Cina Selatan
Awalnya adalah di sebuah tanggal, 9 Juni 2011, di sebuah tempat di lepas pantai  timur Vietnam datang 3 kapal patroli Cina, mirip dengan awal kisah Ambalat, pekerja pembangunan mercu suar di Karang Unarang didatangi kapal angkatan laut Malaysia, lalu memukuli pekerja Indonesia.  Kapal patroli Cina melakukan provokasi, melarang sekaligus merusak peralatan survey kegempaan pada sebuah kapal Vietnam yang sedang melakukan eksplorasi kandungan minyak di kawasan itu.

Vietnam pun menyalak keras, pemerintahnya berteriak dan mengadu pada ketua ASEAN, rakyatnya yang patuh dan tak pernah demonstrasi diajak pemerintahnya untuk melakukan unjuk rasa menantang arogansi AL Cina di Laut Cina Selatan, lalu Angkatan Lautnya juga melakukan latihan perang di kawasan itu beberapa hari kemudian. Vietnam benar-benar marah dan segera kontak Moskow agar 5 kapal selam Kilo yang sudah dipesan, dipercepat pengirimannya tahun 2014 termasuk 8 Sukhoi batch terakhir. Silo-silo Yakhont  yang ada di sepanjang pantai Vietnam disiagakan, siap tarung dan diarahkan ke pulau Hainan yang persis ada di depan mata Vietnam. Di pulau itu militer Cina telah membangun pangkalan AL yang modern dan lengkap.  Arsenal artileri dan tank  Vietnam segera dikirim ke utara negeri itu untuk unjuk gigi lawan PLA di matra darat.

Filipina juga tak tinggal diam karena sebelumnya nelayan negeri itu paling sering diganggu dan diprovokasi kapal “nelayan” Cina yang sebenarnya merupakan kapal spionase Cina bersama beberapa kapal selamnya.  Konvoy ini yang selalu mengawasi kawasan perairan Lidah Naga yang diklaim Cina sudah menjadi milik nenek moyangnya Dinasti Han jauh sebelum tahun Masehi beredar. Pemerintahan Aquino Jr mengadu pada Uwak Sam dan segera melakukan peremajaan alutsista mendatangkan kapal fregat second dari AS termasuk pesawat tempur.

Dua insiden yang melibatkan Cina, Vietnam dan Filipina itu bergema keras dan mendapat perhatian serius dari “herder” lautan Pasifik, armada VII AS.  Maka kapal induk bertenaga nuklir USS George Washington dan kapal-kapal pengawalnya termasuk kapal selam bertenaga nuklir  yang sedang mengawasi Korut segera menuju selatan.  Di Filipina rombongan herder ini mampir dua jenak untuk memberikan semangat dan rasa tenang pada sahabat karibnya yang pernah menjadi  lokasi pangkalan induk dan aju armada VII AS yaitu Clark dan Subic. 

Filipina yang sedang tersengat semangat mempertahankan kedaulatannya segera mengoperasikan kembali kapal  destroyer RRP Rajah Humabon yang terkenal pada perang dunia II.  Bersama beberapa kapal perang yang dimilikinya, Rajah Humabon seakan ingin mempertontonkan keperkasaannya dulu, lalu bergabung dengan armada VII AS, dan mereka pun melakukan latihan tempur di perairan Spratly selama beberapa hari.  AS ingin menegaskan pada Filipina bahwa dia tak ingin berdiam diri jika sekutu tradisionalnya itu diancam Cina atau teritorinya di Spartly diambil paksa Cina.

Dari perairan Filipina armada kapal induk AS itu bergegas menuju selatan, lalu memasuki laut Natuna, Selat Karimata dan Selat Sunda.  Di kawasan teritori Indonesia USS George Washington menyapa TNI AL  sembari mengajak latihan bareng sambil melintas, makanya disebut Passex, passing exercise, latihan sambill lewat, bahasa budayanya kulonuwun gitu.  Maka TNI AL kirim KRI Diponegoro dan KRI Slamet Riyadi dan beberapa personil untuk ambil bagian dalam latihan bareng itu. Wakasal Laksamana Madya Marsetio dijemput khusus di Halim dan diterbangkan ke landasan USS George Washington. 

Tumben, kali ini kok baik hati sampai menjemput segala bahkan membolehkan wartawan TVOne melakukan liputan khusus di jeroan kapal induk itu.  Bandingkan dengan tahun 2003 ketika rombongan kapal induk AS melintas di laut Jawa, tepatnya di Bawean 5 pesawat tempur Hornetnya melakukan manuver provokasi dan membahayakan penerbangan sipil seakan ingin menanyakan “kesiapan” F16 kita yang pada waktu itu lagi apes-apesnya kena embargo.

Gerakan armada kapal perang AS itu yang melintas kawasan perairan ASEAN menyiratkan hasrat kuat dan tegas bahwa AS marah secara militer dengan cara Cina yang menggertak Vietnam dan Filipina dalam konflik di Laut Cina Selatan.  AS ingin menegaskan pada ASEAN bahwa Paman Sam masih merupakan payung yang bisa diandalkan sekalipun perkembangan militer Cina dan alutsistanya berkembang sangat pesat.  Kawasan Spratly dan Paracel memang sudah menjadi sengketa menahun antara Cina, Vietnam, Filipina, Malaysia, Brunai dan Taiwan.  Saat ini Vietnam menguasai 20 pulau di kepulauan Spratly, Filipina menguasai 8 pulau, Malaysia menguasai 3 pulau dan Brunai menguasai 1 pulau.

Cina memang sedang mempersiapkan kekuatan angkatan lautnya untuk menjadi kekuatan angkatan laut yang andal. Ini sesuai dengan arahan Presiden Cina Hu Jintao. Sebuah kapal induk sedang dikerjakan, puluhan fregat dibangun.  Saat ini kekuatan AL Cina  diperkuat dengan 21 kapal destroyer, 42 kapal fregat,  68 kapal selam, 121 kapal amphibi dan 368 kapal patroli.  Sementara AU nya diperkuat dengan 1.900 pesawat tempur berbagai jenis.  Baru-baru ini Cina mempertontonkan pesawat siluman J-20 yang diuji coba Januari 2011.  Untuk tahun anggaran 2011 ini saja Cina menggelontor PLA dengan kucuran dana sebesar $ 91,5 Milyar atau setara dengan 800 trilyun rupiah.  Target Cina adalah menjadikan tahun 2020 sebagai awal tahun keperkasaan angkatan laut Cina.

Meskipun begitu sebagai tes cuaca, Cina “merasa perlu” melakukan uji nyali dan provokasi pada beberapa tetangganya di kawasan Laut Cina Selatan sekaligus menguji adrenalin armada pasifik AS. Hasil tes menunjukkan bahwa para tetangganya ternyata tidak gentar menghadapi manuver AL Cina, bahkan armada angkatan laut AS juga membalas gertakan Cina dengan melakukan latihan perang bersama Filipina, Indonesia dan Australia.  Dalam waktu dekat dengan Vietnam juga akan dilakukan latihan perang laut dengan angkatan laut AS.

Bagi Indonesia, uji nyali di Laut Cina Selatan merupakan sebuah dinamika yang harus disikapi tegas dan lugas. Itu adalah halaman depan kita yang boleh jadi halaman perairan itu ikut terkena imbas konflik regional. Perkuatan militer di kawasan Natuna sudah dipersiapkan sejak lama dan harus ditingkatkan.  Pangkalan AU dan AL sudah beroperasi penuh.  Setiap hari ada patroli udara dengan beberapa sorti pesawat tempur, demikian juga dengan patroli angkatan laut.  TNI AL menempatkan beberapa KRI dari jenis Korvet dan KCR (Kapal Cepat Rudal) di Natuna dan Anambas.  Gejolak di kawasan ini memberikan keyakinan kuat bahwa untuk mengawal NKRI diperlukan kekuatan  alutsista TNI yang  modern, besar dan berwibawa.  Sudah saatnya pula kita  bergandeng tangan memberikan kekuatan pukul penuh pada pengawal republik agar ada kewibawaan pada kedaulatan negara kita.  

Sembari menunggu kedatangan berbagai jenis alutsista yang sudah dipesan (dan kita akan panen raya alutsista mulai tahun 2012), kita harus terus melangkah dengan pesanan-pesanan baru baik buatan dalam negeri maupun yang masih harus diimpor.  Jangan buruk sangka lebih dulu seperti yang disangkakan oleh sebuah LSM agar kita tak beli senjata dari Belarusia.  Terlalu pagi ngomongnya, atau ini bagian dari skenario persaingan antar produsen alutsista luar negeri, tepatnya persaingan antara makelar alutsista.

Perkuatan alutsista TNI adalah keniscayaan yang harus terus dikumandangkan dan dijalankan dengan istiqomah. Sudah dimulai sejak tahun 2010, Pemerintah melakukan reformasi alutsista secara besar-besaran. Kita semua wajib mendukung dan  membesarkan anak kandung kita, TNI, dengan alutsista yang tangguh karena jati diri TNI adalah  kedigdayaan personal dan alutsista.  Tapi jangan juga dilupakan kesejahteraannya agar kombinasi digdaya personal dan alutsista lalu diadon dengan kesejahteraan akan menjadi sebuah definisi abadi: profesional.

*****
Jagvane / 13 Juli 2011