Sunday, June 29, 2025

Detente Di Ambalat

Sempat bertanya dalam hati untuk apa PM Malaysia Anwar Ibrahim melakukan kunjungan kenegaraan singkat sehari ke Jakarta Jumat tanggal 27 Juni 2025. Karena belum sebulan Presiden Prabowo berkunjung ke Kuala Lumpur menghadiri KTT ASEAN. Termasuk kunjungan Prabowo ke Malaysia tanggal 9 Januari 2025, tanggal 27 Januari 2025 dan tanggal  6 April 2025. Sementara PM Anwar Ibrahim sebelumnya ikut menyaksikan pelantikan Presiden Prabowo di gedung DPR / MPR Jakarta Oktober tahun lalu. Dari konferensi pers kemudian baru diketahui ternyata ada kesepakatan diplomatik strategis antara kedua negara serumpun. Perairan Blok Ambalat yang menjadi sengketa di perbatasan kedua negara di Kalimantan Utara dan Sabah, akan dikelola bersama dalam eksplorasi dan eksploitasi sumber daya energi fosil.

Kesepakatan diplomatik tingkat tinggi kedua negara ditengah dinamika geopolitik kawasan yang mudah meledak saat ini, dalam perspektif kita menjadi cara pandang relaksasi, untuk meredakan ketegangan. Dalam perang dingin era NATO vs Pakta Warsawa dikenal dengan istilah detente. Kesepakatan ini mungkin saja bisa menular ke negara anggota ASEAN lainnya seperti Thailand dan Kamboja yang bersitegang perbatasan di Aranyaprathet. Sebagaimana diketahui perairan Ambalat menjadi sengketa tumpang tindih zona ekonomi eksklusif (ZEE) kedua negara. Saat ini secara defacto militer Indonesia mengontrol penuh perairan laut dalam ini dengan pengerahan 4-5 KRI sepanjang tahun, patroli udara, UAV dan pasukan marinir. Termasuk sering melakukan latihan militer gabungan terintegrasi.

Kilas balik selama dua puluh tahun terakhir ini ketika konflik Ambalat mulai memanas bisa menjadi catatan sejarah. Kesimpulannya adalah kita bertetangga dengan jiran yang arogan manakala alutsista kita belum memadai. Adalah jiran sebelah yang merasa diatas angin dengan lepasnya Sipadan dan Ligitan dari Indonesia melalui Mahkamah Internasional akhir tahun 2002 di Den Haag. Kemudian melakukan show of force, unjuk kekuatan militer dan provokasi. Pada saat yang sama kekuatan alutsista kita utamanya kekuatan udara kalah jumlah dan kalah kualitas. Kondisi ini diperparah dengan embargo alutsista dari AS dan Inggris. Juga bencana tsunami dahsyat di Aceh yang memerlukan perhatian serius. Termasuk kondisi ekonomi yang belum pulih sejak krisis keuangan tahun 1998 yang berakhir dengan pergantian pemerintahan.

Malaysia yang saat itu punya kekuatan matra udara dengan 18 jet tempur Sukhoi, 18 Mig 29, 8 Hornet, 16 F5E Tiger dsn 32 Hawk merasa lebih superior dari Indonesia. Ketika 4 pesawat baling-baling  OV10 Bronco TNI AU melakukan patroli di perbatasan, Malaysia mengerahkan 3 jet tempur F5E Tiger untuk mengusir Bronco. Angkatan Laut Malaysia juga melakukan manuver dan provokasi berkali-kali di mercusuar Karang Unarang. Yang paling menyesakkan adalah ketika Presiden Susilo Bambang Yudhoyono melakukan kunjungan ke Karang Unarang dengan KRI Untung Suropati 372 tiba-tiba melintas rendah pesawat patroli Malaysia diatas konvoi beberapa KRI. Beberapa insiden pelecehan inilah yang kemudian menyadarkan pemerintahan presiden SBY untuk memperkuat TNI dengan program strategis MEF (minimum essential force) mulai tahun 2010. Termasuk mengantisipasi dinamika Laut China Selatan (LCS) yang mulai beriak.

Saat ini kekuatan militer Indonesia sudah jauh mengungguli kekuatan militer Malaysia di semua matra. Program MEF selama 15 tahun ini mampu mengangkat dan menguatkan postur militer Indonesia. Termasuk membangun industri pertahanan dalam negeri. Sementara program penguatan militer Malaysia justru stagnan selama sepuluh tahun terakhir karena pemerintahan yang tidak stabil. Apalagi kita sudah memiliki pangkalan militer trimatra di Natuna. Andai saja terjadi konflik terbuka dengan Malaysia di Ambalat, pangkalan militer Natuna diniscayakan mampu memblokade jalur militer Malaysia dari Semenanjung ke Sabah. Uniknya Malaysia ini, Semenanjung dengan Sabah dan Sarawak dipisah LCS. Adanya klaim nine dash line China dan kepulauan Natuna Indonesia membuat Malaysia Barat dan Malaysia Timur benar-benar terputus secara geografi. 

ZEE bukanlah kedaulatan teritori. Tetapi hak berdaulat negara kepulauan dan negara pantai untuk mengeksplorasi dan mengeksploitasi sumber daya alam didalamnya. Dalam radius 200 mil perairan dari pantai air surut pulau terjauh sebuah negara. Keputusan bersama Indonesia-Malaysia untuk kerjasama eksplorasi dan eksploitasi sumber daya energi tak terbarukan di Blok ND-6 dan ND-7 Ambalat yang menjadi sengketa, menjadi terobosan diplomatik simpatik. Meski tetap harus berhati-hati. Kesepakatan ini berarti kedua negara lebih mengutamakan azas manfaat, simbiosis mutualistis pragmatis. Dalam ruang yang lebih luas bagaimanapun Indonesia dan Malaysia bertetangga seumur hidup karena takdir sejarah. Dengan banyak persamaan diantara keduanya, termasuk kultur dan nasab orang-orang Malaysia. Sementara penyelesaian sengketa memerlukan waktu puluhan tahun. Sekarang saja sengketa sudah berlangsung lebih dua puluh tahun. Tidak ada kemajuan apapun. Konflik berkepanjangan tentu kontra produktif bagi kedua negara.

Kesepakatan ini menjadi kredit poin untuk Anwar Ibrahim di pemerintahannya. Termasuk dalam penguatan posisi politiknya yang mendapat dukungan penuh Yang Dipertuan Agong Malaysia. Seperti kita ketahui Anwar menjadi PM Malaysia karena mendapat restu total dari Raja Malaysia ditengah koalisinya yang rapuh. Karena sebelumnya roda pemerintahan di Malaysia tidak stabil dengan seringnya terjadi pergantian PM. Penyebabnya koalisi partai politik yang "mudah mutung", transaksional dan saling menjatuhkan. Malaysia dibawah kepemimpinan Anwar Ibrahim saat ini bisa merajut kembali penguatan militer Malaysia yang stagnan selama 1 dekade. Pembangunan kapal perang Maharajalela Class dapat berlanjut setelah terkatung-katung selama 10 tahun. Juga penguatan AU Malaysia mulai menampakkan jalan terang dengan pembelian jet tempur ringan dari Korsel Fa50. Sementara proses akuisisi 30 jet tempur Super Hornet bekas pakai Kuwait sudah menunjukkan kemajuan karena ada persetujuan dari AS.

Detente di Ambalat sebangun dengan detente di LCS antara Indonesia dengan China yang sudah lebih dulu berjalan. Semuanya untuk membangun kerjasama eksplorasi dan eksploitasi. Sekaligus membangunkembangkan saling percaya secara bilateral. Sembari tentunya terus melakukan upaya-upaya diplomatik untuk penyelesaian win-win solution. Dan itu memerlukan durasi to be continued. Jalan tengah dengan kerjasama untuk kepentingan bersama  dan manfaat bersama adalah momentum penggunaan waktu. Agar tidak tersita manakala sumber daya energi fosil semakin terbatas. Pilihan Indonesia untuk bekerjasama dengan Malaysia di Ambalat adalah langkah pragmatis. Sekaligus bermanfaat mendinginkan suhu permusuhan yang berlebihan. Karena ini tidak menyentuh wilayah teritorial kedaulatan. Konflik bersenjata Rusia-Ukraina, India-Pakistan, Iran-Israel, Thailand-Kamboja menghasilkan kehancuran dan tidak menyelesaikan masalah.

Pengalaman bertetangga ketika alutsista kita belum memadai adalah pelajaran berharga. Kalau militer kita tidak kuat, negara lain mudah melecehkan. Oleh karena itulah kita bangkit dan berlari mengejar ketertinggalan. Indonesia sudah dan sedang melakukan penguatan alutsista teknologi terkini. Bahkan saat ini penguatan alutsista kita semakin total football dan extra orfinary. Semua ini dilakukan karena kita memiliki wilayah laut dan darat yang luas dan sangat kaya sumber daya alam. Investasi pertahanan adalah upaya untuk menjamin kepastian perlindungan sumber daya alam, kesejahteraan rakyat dan eksistensi bangsa. Beragam jenis investasi alutsista sudah banyak yang datang. Masih banyak yang segera datang seperti 42 jet tempur Rafale, 2 heavy fregate Brawijaya Class, 2 heavy fregate Merah Putih, 2 kapal OPV, 1 kapal intelijen bawah air, 24 radar GCI, 2 pesawat A400M. Dan masih banyak yang lain

Detente di Ambalat dan LCS menjadi catatan diplomatik "wasathiyah", moderasi dan mengambil jalan tengah untuk keadilan bersama. Lebih mengutamakan azas manfaat dan pragmatis. Pada saat yang sama dan seiring azas manfaat, kita tetap melanjutkan perundingan untuk memastikan penyelesaian sengketa. Peredaan ketegangan merupakan bagian dari relaksasi diplomatik yang memang diperlukan. Karena semua sengketa atau klaim tumpang tindih antar negara tidak dapat diselesaikan dengan konfrontasi. Harus dengan perundingan, dan itu memerlukan waktu puluhan tahun. Bahkan sengketa Kashmir antara India-Pakistan seusia dengan umur eksistensi kedua negara. Dan ribut terus. Mengelola bersama sumber daya ekonomi di wilayah sengketa kedua negara, Indonesia dan Malaysia adalah simbol persahabatan dua negeri nusantara. Meski bersengketa tetap mengedepankan semangat kerjasama untuk kemashlahatan bersama.

****

Jagarin Pane / 28 Juni 2025


Sunday, June 8, 2025

Mengukur Posisi Geopolitik Indonesia di LCS

Seperti berbalas pantun. Pernyataan Menteri Pertahanan AS Pete Hegseth  dalam forum pertahanan tahunan terbesar di Asia, Dialog Shangri-La di Singapura tanggal 30 Mei sampai dengan 1Juni 2025 terkesan vulgar dan memaksa. Dia mengajak seluruh sekutu dan mitra strategis AS di Indo Pasifik memperkuat pertahanan, menjalin kerjasama militer, menaikkan anggaran pertahanan dan membeli alutsista dari AS. Karena China yang hegemonik, katanya, dengan pembangunan kekuatan militernya telah menjadi ancaman dan berusaha mengubah status quo di Indo Pasifik. Pernyataan lugas ini kemudian disambut hangat Indonesia dengan pernyataan Kapuspen TNI Mayjen TNI H.Kristomei Sianturi S.Sos, M.Si (Han) dua hari kemudian. Dengan tegas dikatakan bahwa China bukan ancaman bagi Indonesia.

Menhan AS ini gaya komunikasinya mirip atasan langsungnya Donald Trump. Ingin mengajak negara-negara di kawasan Indo Pasifik merapatkan barisan dengan satu komando dan satu musuh bersama yaitu China. Pete Hegseth dengan jelas menyampaikan informasi bahwa China akan menyerbu Taiwan pada tahun 2027. Inilah yang kita sebut bahasa proxy war dengan mengajak negara-negara Indo Pasifik mengikuti arahan dan instruksi sang adidaya. Memframing sedemikian rupa untuk menjadikan China sebagai common enemy. China dengan tegas membantah framing Pentagon dan mengatakan bahwa AS sebagai pemegang hegemoni berupaya menciptakan kekisruhan di kawasan Indo Pasifik dari suasana damai yang sudah tercipta sejak lama. Di forum Shangri-La ini yang juga nama sebuah hotel megah, Menteri Pertahanan China tidak hadir. Juga Menteri Pertahanan Indonesia diwakili Wamen Marsekal Madya (Purn) Donny Ermawan Taufanto M.D.S., M.S.P.

Pernyataan berbalas pantun dari Mayjen Sianturi patut kita apresiasi. Sekaligus menegaskan posisi geopolitik Indonesia yang selalu ingin proporsional dan obyektif untuk kepentingan nasional. Kita mengetahui sejauh ini klaim nine dash line China di Laut China Selatan (LCS) tidak menyentuh perairan teritorial Indonesia di kepulauan Natuna. Berbeda dengan negara ASEAN lainnya yang memperebutkan pulau-pulau karang atol Spratly dan Paracel. Persinggungan nine dash line China ada di zona ekonomi eksklusif (ZEE) 200 mil Laut Natuna Utara. ZEE adalah produk Konvensi Hukum Laut Internasional UNCLOS 1982. ZEE bukanlah perairan kedaulatan teritorial 12 mil laut dari pantai. ZEE adalah hak berdaulat untuk memanfaatkan sumber daya alam di perairan tersebut.

Dalam pandangan kita posisi geopolitik Indonesia di LCS bagaimanapun harus tetap mengedepankan azas proporsionalitas yang sepadan. Karena Indonesia tidak berkonflik teritorial dengan China.  Kita masih ingat ketika Presiden Prabowo baru dilantik, negara pertama yang dikunjungi adalah China. Bersama Presiden Cina Xi Jinping kedua pemimpin membuat kesepakatan bilateral yang mengejutkan. Isinya kurang lebih ZEE dapat menjadi ruang kerjasama yang saling menguntungkan antara Indonesia dan China. Kesepakatan ini juga dalam rangka menurunkan tensi ketegangan (detente) di LCS. Menjaga keseimbangan hubungan di halaman depan rumah kita yang strategis ini perlu kecerdasan diplomatik termasuk merespon proxy war dari pemegang sabuk hegemoni dunia saat ini.

Dalam dinamika "ngeri-ngeri sedap" ini Kementerian Pertahanan tentu sudah memahami peta cuaca ekstrim yang kemungkinan bisa terjadi setiap saat. Dua peristiwa "mendadak perang" yaitu pertempuran kilat antara India-Pakistan dan Thailand-Kamboja memberikan warning tegas bahwa Indonesia perlu mempercepat perkuatan militernya. Indonesia membutuhkan segera pesawat airborne early warning and control (AEW&C), pertambahan kapal selam, kapal heavy frigate, jet tempur, radar, berbagai jenis drone bersenjata, peluru kendali balistik, coastal missile, air defence system dan lain-lain. Semuanya harus berada dalam interoperability system yang disebut network centric warfare. Kesannya kok banyak banget ya. Karena memang sampai saat ini kekuatan alutsista kita belum proporsional dengan luasnya wilayah negeri ini. Kita harus berlari cepat untuk mengejar ketertinggalan ini. 

Bukankah filosofi Si Vis Pacem Para Bellum yang bermakna, jika ingin damai bersiaplah untuk perang, bisa menjadi refleksi bersama. Dengan memperkuat manajemen pertahanan, pihak yang mengajak tarung jadi "mikir dewe", ukur kekuatan juga. Dengan kecerdasan diplomatik, bersama diplomasi militer dan show of force konflik bisa diminimalisir. Contohnya sudah ada. Pertempuran India-Pakistan yang sengit itu hanya berlangsung singkat meski kedua negara memiliki persenjataan canggih termasuk bom nuklir. Masing-masing pihak tentu mengukur kekuatan. Mau tijitibeh (mati siji mati kabeh) atau urip bebarengan. Harus kita pahami bersama bahwa investasi pertahanan untuk membentuk kekuatan pertahanan yang berkelas tujuannya adalah sebagai payung pelindung pertumbuhan kekuatan ekonomi kesejahteraan dan eksistensi negeri. Termasuk bargaining politik luar negeri.

Posisi geopolitik Indonesia yang strategis di kawasan ASEAN dan Indo Pasifik mengharuskan negeri kepulauan ini punya kemampuan melakukan diplomasi cerdas dan lincah dengan dukungan kekuatan militer yang proporsional. Sementara saat ini kekuatan militer Indonesia belum sampai pada sebutan proporsional yang sebanding dengan luas wilayahnya. Maka apa yang dilakukan Kementerian Pertahanan saat ini adalah sebuah upaya extra ordinary, upaya percepatan. Dalam rangka melaksanakan salah satu Asta Cita Presiden yaitu memantapkan sistem pertahanan dan keamanan negara. Penjabarannya adalah memperkuat manajemen pertahanan republik, termasuk mengembangkuatkan industri pertahanan nasional. Juga percepatan pengadaan berbagai jenis alutsista canggih produk industri pertahanan nasional dan dari berbagai negara. Karena dinamika kawasan yang sudah demam berkepanjangan ini,  maka program percepatan pemenuhan investasi pertahanan adalah sebuah keniscayaan.

Kita bukan sekutu AS. Meski begitu AS selalu berupaya untuk memasukkan Indonesia sebagai lapisan kedua yang disebut mitra strategis komprehensif. Namanya sih keren namun tetap saja statusnya ada di lapis kedua. Baris pertama sekutu AS di Indo Pasifik adalah Jepang, Korsel, Taiwan, Singapura, Australia dan Filipina. Sebagai mitra strategis komprehensif Jakarta tidak harus seia sekata alias manut dengan keinginan Washington. Kita punya hubungan baik dengan China, Korea Utara dan Rusia. Kita tidak berkonflik teritorial dengan China. Kerjasama ekonomi dan investasi dengan China sudah berjalan dengan simbiosis mutualistis. Maka pernyataan Kapuspen TNI yang menyatakan China bukan ancaman bagi Indonesia, benar adanya. Ojo grusa grusu njih Pakde Sam.

****

Jagarin Pane / 8 Juni 2025


Tuesday, May 27, 2025

Sketsa Wajah Pertahanan Indonesia Tahun 2030

Pembangunan kekuatan pertahanan berbasis teknologi adalah bagian dari upaya yang terus menerus dilakukan setiap negara. Dinamika kawasan di berbagai belahan bumi bulat bundar ini sangat berpotensi menjadi hot spot yang saling melumat. Perang Rusia-Ukraina dengan durasi menahun terbukti menjadi palagan paling mematikan dan menghancurkan. Pengeboman Gaza oleh Israel menjadi tragedi kemanusiaan paling kejam sepanjang sejarah sejak perang dunia kedua berakhir. Perang kilat 2 hari antara dua negara musuh bebuyutan satu rumpun beda agama mampu mencengangkan dunia. India dan Pakistan baru saja menampilkan model pertempuran berbasis teknologi network centric warfare (NCW). Kemudian soal de facto Taiwan, klaim nine dash line Laut China Selatan (LCS),  klaim Greenland dan konflik Iran-Israel adalah "wajah bisul gunung berapi dunia". Setiap saat bisa meletus dahsyat dan menghanguskan peradaban dunia.

Pemikir strategis pertahanan dan pengambil keputusan di setiap negara pasti sudah mengamati dan menganalisis semua dinamika konflik antar bangsa ini. Termasuk benchmark pertempuran terkini antara India dan Pakistan. Tidak terkecuali Indonesia. Pemerintah sudah dan sedang bergegas untuk menyiapkan kekuatan payung pertahanan berbasis teknologi. Gambaran untuk melihat sketsa wajah pertahanan kita tahun 2030 bisa terlihat dari berbagai program percepatan dan extra ordinary pengadaan alutsista oleh pemerintah bersama DPR. Kementerian pertahanan bergerak cepat dan cerdas untuk melakukan pengadaan berbagai jenis alutsista seluruh matra TNI. Salah satu alutsista strategis yang cepat saji adalah pengadaan kapal perang setara heavy frigate PPA Fincantieri Italia. 2 kapal perang yang baru selesai dibangun untuk AL Italia ini, kita beli.

Untuk matra laut yang sudah pasti ada tambahan 4 kapal perang heavy frigate (Merah Putih dan Brawijaya Class). Prediksi kita masih ada tambahan 4 KRI heavy frigate lagi untuk menguatkan armada tempur tahun 2030. Bisa jadi memakai pola "beli jadi" seperti PPA Fincantieri untuk percepatannya. Termasuk potensi pembelian kapal induk bekas untuk pangkalan drone dari Italia atau pembuatan LHD di PT PAL yang difungsikan sebagai pangkalan drone. Sementara saat ini pesanan 2 Kapal cepat rudal 70 meter sedang dibuat di Turkiye untuk TNI AL. Di Jerman sedang ada pengisian jeroan teknologi untuk kapal perang intelijen bawah air. Kapalnya dibuat di Indonesia, Instalasi infrastruktur teknologinya di Jerman. Di galangan swasta nasional juga ada beberapa penyelesaian pembangunan kapal perang, mulai dari jenis KPC, KCR, Korvet. Masing-masing berjalan on progress. Sementara penambahan kapal selam prediksinya bisa dari lanjutan Nagapasa Batch 2 membangun 3 kapal selam kerjasama dengan Korsel. Paralel dengan pembangunan 2 kapal selam serbu yang digadang-gadang Scorpene Perancis.

Matra udara bersiap menyambut kedatangan 42 jet tempur Rafale ketika nama ini sedang tidak baik-baik saja akibat pertempuran India - Pakistan. Dalam pandangan kita manajemen pertempuran udara modern tidak melulu mengunggulkan teknologi jet tempur tok. Tapi harus dilihat dalam berbagai aspek seperti pilot skill, interoperability dan ketersediaan NCW. Salah satu penentu air superiority adalah kemampuan pesawat AEW&C (Airborne Early Warning and Control) dalam sistem NCW. Pesawat peringatan dini seperti Boeing Wedgetail punya daya cium dan endus lebih 500 km. Jadi berlaku hukum sebab akibat, "first kiss first kill". Dengan benchmark pertempuran udara India-Pakistan ini selayaknya pengadaan minimal 3 unit pesawat AEW&C untuk TNI AU perlu langkah percepatan, extra ordinary. 

Sembari menunggu Rafale, kementerian pertahanan kembali menghidupkan kontrak untuk pengadaan 6 jet tempur Sukhoi SU35 dan 12 jet tempur Mirage dari Qatar. Keduanya sempat tertunda dengan segala dinamikanya. Juga akan datang pesanan 2 pesawat tanker Airbus A400M dan 2 pesawat angkut berat A330 MRTT. Akan datang juga 6 jet latih tempur T50 buatan Korsel untuk melengkapi 13 unit T50 yang sudah ada. Proses negosiasi pengadaan 24 jet tempur F15 Id masih terus berlanjut. Jika semuanya berjalan mulus, maka sketsa wajah tentara langit kita terlihat semakin mekar menuju gahar di tahun 2030. Termasuk kemungkinan perolehan 36 jet tempur KFX/IFX dan adanya penambahan kekuatan 25 unit radar GCI. Sementara matra darat bersiap menunggu kedatangan 22 helikopter Black Hawk dari AS dan sistem peluru kendali balistik Khan dari Turkiye. Yang menarik, ratusan drone bersenjata berbagai jenis yang dipesan untuk 3 matra TNI, pemasoknya adalah Turkiye. Luar biasa.

Perlu dicatat bahwa untuk pencapaian pertumbuhan ekonomi dan pertahanan, kita harus memiliki kekuatan manajemen pemerintahan dan leadership yang tegas. Strong government adalah sebuah keniscayaan manakala kita ingin fokus untuk menguatkan pertumbuhan ekonomi dan pertahanan. Ada banyak contoh tentang pemerintahan yang kuat, baik secara sistem maupun figur leadership. Contohnya Amerika Serikat, Rusia, China, India, Vietnam, Turkiye. Ada banyak bukti tentang keunggulan negara-negara ini. Vietnam maju pesat dengan pertumbuhan ekonomi tahun 2024 sebesar 7,04 % jauh diatas Indonesia yang tumbuh 5,03%. Rusia tetap segar dan menjadi pengendali pertempuran dengan Ukraina. Industri pertahanan Turkiye maju pesat. China tidak perlu dijelaskan lagi, apalagi si Paman Sam.

Saat ini banyak negara dengan strong government baik berkarakter demokrasi maupun kerajaan mampu menguatkan pertumbuhan ekonomi dan pertahanannya. Seperti di jazirah Arab. Hampir semua negara di jazirah Arab saat ini menjadi pusat pertumbuhan ekonomi dan pertahanan yang kuat. Kita lihat Arab Saudi, Qatar, UEA, Kuwait, Bahrain sudah menjelma menjadi negara maju sejahtera dan memilki manajemen pertahanan yang canggih. Arab Saudi bahkan berinvestasi ke AS sebesar US$ 600 milyar. Dan belanja alutsista buatan AS sebesar US$ 142 milyar. Fantastis banget. Qatar menghadiahkan pesawat boeing mewah untuk kepresidensn AS. Donald Trump sumringah sukses berkunjung ke kawasan jazirah Arab belum lama ini.

Indonesia saat ini dalam perspektif kita memiliki strong government dan leadership yang tegas. Karya pemerintahan saat ini salah satu yang sudah memberikan hasil gemilang adalah kemampuan kita untuk berswasembada beras. Bahkan produksi beras kita adalah yang terbesar melebihi kebutuhan nasional. Ini sebuah prestasi cum laude. Rencana besar lainnya yaitu swasembada pangan dan swasembada energi. Juga program efisiensi anggaran dan pemberantasan korupsi adalah bagian dari upaya manajemen pemerintahan Prabowo untuk mengelola keuangan negara sesuai harapan rakyat. Sebagai negara besar Indonesia terus bergerak menuju negara maju. Saat ini kekuatan ekonomi kita ada di urutan 16 besar dunia dan kekuatan pertahanan ada di ranking 13 besar dunia. Dengan berbagai ragam kebhinekaan yang dimiliki baik suku, agama, dan budaya, ketahanan nasional Indonesia tidak lepas dari ujian kohesivitas dan sinergitas.

Ujian yang kita jalani saat ini adalah adanya sinyalemen campur tangan proxy war untuk menguji daya tahan, kekuatan kohesivitas dan sinergitas anak bangsa. Ada dua tema besar yang bergulir deras menjadi palagan framing adu domba. Yaitu  soal Nasab Habib dan Ijazah Presiden ke 7. Daya gempur "alutsista" framing membombardir dahsyat di kedua medan pertempuran narasi ini. Dampaknya adalah menguatnya polarisasi dan friksi di kawasan grass root. Dari sudut pandang kita, permusuhan proxy war sesama anak negeri perlu diwaspadai dan harus menjadi perhatian serius bersama karena bisa menjadi embrio perpecahan horizontal.

Indonesia akan terus bergerak maju membangun kekuatan ekonomi krsejahteraan dan pertahanan yang seiring sejalan. Kita meyakini dengan strong government dan leadership yang tegas, republik ini akan mampu menjadi negara maju sejahtera. Dan memiliki kekuatan pertahanan proporsional yang sebanding dengan luas wilayah. Investasi pertahanan sejatinya adalah untuk memberikan jaminan eksistensi, marwah dan kelangsungan perjalanan bangsa besar ini. Sketsa wajah pertahanan kita tahun 2030 akan memberikan persepsi dan perspektif yang mencerahkan. Mari bergegas menyongsong horizon 2030 dengan menguatkan kohesivitas dan sinergitas sesama anak bangsa. Inilah Republik Indonesia.

****

Jagarin Pane / 26 Mei 2025


Saturday, April 19, 2025

Bukan Show Room Atau Show Of Force

Kabar beruntun sebagai ungkapan "merpati tidak pernah ingkar janji", minggu-minggu ini adalah tindak lanjut 2 memorandum of understanding (MOU) menjadi realisasi. Meski belum diumumkan secara resmi namun sudah bocor halus di kalangan forum militer tanah air. Yaitu realisasi pengadaan jet tempur Sukhoi SU35 dari Rusia dan jet tempur Mirage 2000-5 ex Qatar. Kemudian edisi berita terkini adalah  kehadiran petinggi Boeing di Jakarta untuk upaya realisasi pembelian jet tempur canggih F15 Id dari AS. Ini juga sudah ada MOUnya sejak tahun 2023. Jadi ada tambahan beberapa merek alutsista strategis jet tempur yang akan menjadi aset investasi pertahanan Indonesia.

Seperti biasa selalu ada berbagai tanggapan, pernyataan dan pertanyaan dari netizen forum militer tanah air. Maklumlah kita berada di era medsos, literasi dan narasi digital. Salah satunya mengapa kita membeli banyak merek alutsista jet tempur. Bukankah sudah ada jet tempur F16, Hawk, Sukhoi, T50 dan Rafale. Mengapa tidak F16 saja yang kuantitasnya ditambah dan di upgrade. Atau Rafalenya yang ditambah. Bukankah membeli banyak merek akan menimbulkan kendala soal maintenance.Termasuk ketersediaan dan kesiapan pilot serta ekosistem teknisi jika berbeda "kurikulum merek".

Yang harus dipahami, secara kuantitas kita masih kekurangan jet tempur untuk negeri kepulauan ini yang luasnya setara dengan benua Eropa. Saat ini TNI AU punya aset alutsista pemukul 16 jet tempur Sukhoi, 33 jet tempur F16, 30 jet tempur Hawk, 13 jet tempur T50 dan 13 pesawat counter insurgency  Super Tucano. Dan yang sedang dinanti kedatangannya adalah 42 jet tempur Rafale edisi mutakhir. Untuk mencukupi kekuatan standar yang berkorelasi dengan luas wilayah teritori dan dinamika kawasan, Indonesia masih membutuhkan puluhan jet tempur dengan kekuatan minimal 12 skuadron tempur.

Soal banyaknya merek tidak lantas kemudian menjadi sebuah sebutan sebagai show room alutsista atau show of force. Pengalaman embargo after insiden Santa Cruz Timor Leste memberikan pelajaran dan pengalaman pahit ketika bergantung pada satu merek, satu pabrikan dan satu negara. TNI AU waktu itu punya 12 jet tempur F16 fighting falcon dari AS. Embargo suku cadang membuat elang penempur nelongso. Hanya 3 unit yang siap terbang ala kadarnya. Kemudian 3 Juli tahun 2003 terjadi insiden Bawean dengan show of force 5 jet tempur F18 Hornet dari kapal induk AS USS Carl Vinson yang melintas di Laut Jawa menuju Darwin. TNI AU kemudian mengerahkan 2 jet tempur F16 untuk mengingatkan manuver F18 membahayakan penerbangan sipil dari dan ke Juanda Surabaya. 

Embargo dan insiden ini kemudian yang menjadi pemicu pembelian 4 jet tempur Sukhoi dalam program cepat saji pemerintahan Megawati. Hanya dalam hitungan bulan barang harus sudah sampai. Agar bisa tampil dalam HUT TNI tahun 2004. Dalam bahasa militer show of force 5 Hornet US Navy merupakan simbol ejekan dan pelecehan teritori. Kemudian Indonesia membalasnya dengan bahasa militer juga. Membeli jet tempur Sukhoi dari Rusia. 4 jet tempur ini kemudian tampil dalam perayaan HUT TNI 5 Oktober 2004.

Soal embargo ini memang menyakitkan. Termasuk ketika 4 jet tempur Hawk yang dibawa pilot Inggris secara ferry. Ketika sampai di Bangkok ditinggal begitu saja oleh pilotnya. Padahal hanya selangkah lagi sampai di Medan. Indonesia membeli 40 jet tempur Hawk dari BAE System Inggris. Ini adalah sebuah pertolongan untuk sebuah perusahaan Inggris BAE System yang hampir bangkrut waktu itu. Embargo yang diperlihatkam Inggris terhadap proses pengadaan alutsista yang sedang berlangsung adalah cermin arogansi dan dominasi London. Juga ketika TNI AD menggunakan tank Scorpion dan jet tempur Hawk di Aceh tahun 2003 ternyata tidak diperbolehkan oleh negara pembuatnya, Inggris. Keterlaluan.

Realisasi pembelian 12 jet tempur Mirage ex Qatar adalah tindak lanjut kesepakatan MOU dan bagian dari kesepakatan investasi Qatar di Indonesia sebesar US$ 2 milyar. Tetangga Qatar, Uni Emirat Arab bahkan sudah kontrak efektif pembuatan kapal perang jenis landing platform dock (LPD) 163 meter ke PT PAL Indonesia. Nilai kontraknya US$ 408 juta. Qatar dan UEA adalah mitra strategis Indonesia. Sementara itu realisasi pembelian 6 jet tempur Sukhoi SU35 sebenarnya adalah pembelian yang tertunda. Menjelang kontrak efektif 11 unit SU35 tahun 2018, tiba-tiba ada ancaman UU CAATSA dari AS yang sedang marah dengan Rusia. Sebagai akibat pencaplokan Semenanjung Crimea milik Ukraina. Sebanyak 6 unit SU35 ini akan memperkuat Skuadron Sukhoi di Makassar yang juga menjadi payung pertahanan IKN.

Demikian juga dengan realisasi pembelian jet tempur canggih F15 Id dari AS. Pada MOU tahun 2023 Indonesia berencana membeli 24 jet tempur twin engine ini. Jika dalam realisasi nanti kita hanya membeli 16 unit untuk satu skuadron, sudah sangat membantu dan menjadi satu keputusan yang tepat. Terutama untuk ketersediaan anggaran. Pembelian jet tempur F15 Id juga menjadi salah satu opsi untuk menyeimbangkan neraca perdagangan Indonesia AS yang surplus terus puluhan tahun untuk Indonesia. Untuk tahun 2024 surplus untuk Indonesia ke AS sebesar US$16,84 milyar. Sekilas info, beberapa jenis alutsista yang sudah dan sedang dibeli Indonesia adalah 8 helikopter Apache, 5 pesawat Super Hercuĺes dan 22 helikopter Black Hawk.

Penambahan aset alutsista sebagai investasi pertahanan negeri ini semuanya adalah untuk mengejar ketertinggalan menuju kesetaraan. Kekuatan pertahanan mutlak kita perkuat sebagai pengawal kekuatan ekonomi dan eksistensi negeri. Indonesia masih membutuhkan berbagai jenis alutsista striking force seperti jet tempur, drone bersenjata, radar, kapal perang, kapal selam, peluru kendali. Pengadaan  berbagai merek alutsista adalah dalam upaya meminimalisir embargo, adanya kesepakatan imbal dagang, kesepakatan investasi dan penguasaan teknologi. Kalau disebut menjadi show room alutsista tidak juga. Kan nanti ada alutsista yang harus pensiun. Apalagi disebut show of force, belum waktunya. Karena sesungguhnya kekuatan alutsista kita saat ini belum sampai pada kriteria standar apalagi gahar. Kita baru menuju ke kekuatan kriteria standar.

****

Jagarin Pane / 19 April 2025


Saturday, March 15, 2025

Hasil Program MEF TNI AL

HASIL PROGRAM 

MINIMUM ESSENTIAL FORCE (MEF) TNI AL

Aset Kapal Perang Striking Force TNI AL Produk Dalam Negeri

Kapal Cepat Rudal  Produk PT PAL

1.   KRI Kapak 625

2.   KRI Panah 626

3.   KRI Kerambit 627

4.   KRI Sampari 628

5.   KRI Tombak 629

6.   KRI Halasan 630

Kapal Cepat Rudal Produk Swasta Nasional

1.   KRI Clurit 641

2.   KRI Kujang 642

3.   KRI Beladau 643

4.   KRI Alamang 644

5.   KRI Surik 645

6.   KRI Siwar 646

7.   KRI Parang 647

8.   KRI Terapang 648

9.   KRI Golok (Trimaran) 688 

Kapal Patroli Cepat Produk Swasta Nasional

1.    KRI Pari 849

2.    KRI Sembilang 850

3.    KRI Sidat 851

4.    KRI Cakalang 852

5.    KRI Tatihu 853

6.    KRI Layaran 854

7.    KRI Madidihang 855

8.    KRI Kurau 856

9.    KRI Torani 860

10.  KRI Lepu 861

11.  KRI Albakora 867

12.  KRI Bubara 868

13.  KRI Gulamah 869

14.  KRI Posepa 870

15.  KRI Escolar 871

16.  KRI Karotang 872

17.  KRI Mata Bongsang 873

18.  KRI Dorang 874

19.  KRI Bawal 875

20.  KRI Tuna 876

21.  KRI Marlin 877

22.  KRI Butana 878

23.  KRI Selar 879

24.  KRI Hampala 880

25.  KRI Lumba-Lumba 881

Kapal Korvet Produk Swasta Nasional

1.   KRI VVIP Bung Karno 369 

2.   KRI Bung Hatta 370

3.   KRI Raja Ali Fisabilillah 391

4.   KRI Lukas Rumkoren 392

Aset Kapal Perang Supporting Force TNI AL Produksi Dalam Negeri

Kapal Logistik Produk Swasta Nasional

1.   KRI Dumai 904

2.   KRI Tarakan 905

3.   KRI Bontang 906

4.   KRI Balongan 907

Kapal LPD (Landing Platform Dock) Produk PT PAL

1.   KRI Semarang 594

2.   KRI Dr. Wahidin Sudirohusodo 991

3.   KRI Dr. Rajiman Wedyodiningrat 992

Kapal Pemetaan Bawah Air Produk Swasta Nasional

1.   KRI Pollux 935

Kapal Selam Transfer Teknologi Korsel-PT PAL

1.   KRI Nagapasa 403

2.   KRI Ardadedali 404

3.   KRI Alugoro 405

****

Jagarin Pane / 14 Maret 2025

(Dari Berbagai Sumber)

Monday, March 10, 2025

Menimbang Giuseppe Garibaldi

Nama ITS Giuseppe Garibaldi hari-hari ini menggema kuat di komunitas netizen forum militer tanah air. Dia adalah nama sebuah kapal induk ringan milik angkatan laut Italia yang sudah purna tugas. Selama masa dinasnya Giuseppe Garibaldi membawa pesawat tempur Harrier yang bisa take off dan landing secara vertikal. Kapal induk mini ini sudah bertugas sejak tahun 1985 yang menjadi flagship kebanggaan sekaligus jantung AL Italia selama 40 tahun. Sekarang sudah diganti dengan kapal induk helikopter yang lebih canggih ITS Trieste. Nah kapal induk berusia 40 tahun sepanjang 180 meter inilah yang saat ini sedang dalam kajian untuk bisa menjadi aset TNI AL. 

Indonesia dan Italia beberapa tahun ini sedang berbunga-bunga kerjasama pertahanannya. Semua berawal dari kesediaan Italia untuk "mengalah" dengan keinginan Indonesia membeli 2 kapal perang PPA (Pattugliatore Polivalente d'Altura) setara heavy frigate buatan Fincantieri. Galangan kapal Fincantieri di Italia sudah dan sedang membangun 6 kapal perang PPA untuk AL Italia. Kemudian Indonesia dengan program extra ordinary percepatan pengadaan alutsista ingin mendapatkan 2 kapal perang jumbo PPA yang baru selesai dibangun. Dengan lobby intensif selama setahun akhirnya Indonesia mendapatkan 2 kapal perang setara heavy frigate dengan harga beli US$ 1,23 milyar. Kedua kapal perang itu diberi nama setara dengan kegagahannya. KRI Brawijaya 320 dan KRI Prabu Siliwangi 321. Bulan Mei 2025 nanti akan tiba di tanah air.

Sebagai pemllik teritori perairan terbesar di ASEAN, angkatan laut Indonesia saat ini sedang berupaya untuk memperkuat armada tempurnya. Proporsional dengan luasnya wilayah perairannya yang strategis. ALKI 1, ALKI 2 dan ALKI 3 adalah jalur pelayaran internasional yang menjadi  tanggung jawab Koarmada Satu, Koarmada Dua dan Koarmada Tiga. Saat ini TNI AL masih kekurangan aset kapal perang striking force. Catatan kita dalam enam bulan terakhir ini ada penambahan beberapa KRI buatan galangan kapal swasta nasional. Seperti korvet KRI Raja Ali Fisabilillah 391 dan KRI Lukas Rumkoren 392 buatan galangan kapal di Lampung. Yang terakhir korvet KRI Bung Hatta 370 buatan galangan kapal swasta di Batam. Galangan kapal ini juga yang setahun lalu sukses membangun korvet VVIP KRI Bung Karno 369.

Melihat gambaran kedepan sampai tahun 2030 dengan dinamika kawasan yang fluktuatif, antispasi penguatan postur TNI AL perlu percepatan. Dan kebutuhan utamanya adalah kapal perang kelas heavy frigate keatas, kapal selam serbu dan kapal selam nir awak. Kebutuhan untuk memiliki kapal induk ringan adalah dalam upaya menguatkan postur kemampuan armada tempur TNI AL. Juga untuk mobilitas operasi militer selain perang (OMSP) seperti penanggulangan bencana alam secara cepat. Kehadiran 2 KRI heavy frigate "Brawijaya Class" dan yang sedang dalam pembangunan saat ini di PT PAL yaitu 2 heavy frigate merah putih dengan satu kapal induk ringan akan menjadi sebuah team work armada tempur yang andal. Ini adalah penjabaran dan implementasi dari visi dan misi Nawacita PMD (Poros Maritim Dunia) Indonesia. Yaitu membangun kekuatan pertahanan angkatan laut dengan teknologi satelit dan drone. Garibaldi bisa menjadi kapal induk drone dalam suatu gugus tempur laut TNI AL dengan pengawalan  4 kapal perang heavy frigate dan kapal selam.

PT PAL sebenarnya sudah jauh hari merancang kapal induk helikopter (LHD/Landing Helicopter Dock). BUMN strategis ini adalah industri pertahanan kebanggaan Indonesia yang sudah mampu membuat kapal perang berbagai jenis. Bahkan ada 2 kapal perang LPD (Landing Platform Dock) yang sudah diekspor ke Filipina. Dan saat ini sedang membangun kapal perang LPD 163 meter untuk Uni Emirat Arab. Dengan pengalaman membangun berbagai jenis kapal perang seperti, kapal cepat rudal, korvet, heavy frigate, LPD, kita meyakini Kemampuan PT PAL untuk membangun kapal induk helikopter LHD tidak perlu diragukan. 

Bintang manajemen pertempuran interoperability saat ini dan kedepan adalah teknologi drone, rudal dan jet tempur. Teritori Indonesia dua pertiga adalah perairan, maka pemberdayaan teknologi drone yang memiliki mobilitas tinggi di perairan adalah dengan ketersediaan aset kapal induk drone. Selain Garibaldi rancangan LHD PT PAL sangat dimungkinkan berfungsi sebagai kapal induk drone berdampingan dengan fungsinya sebagai kapal induk helikopter. Artinya kehadiran Garibaldi menjadi kapal induk drone adalah sebuah keniscayaan. Dan dalam tahapan berikutnya bisa berdampingan dengan LHD buatan PT PAL.

Pada akhirnya ketersediaan aset kapal perang TNI AL yang berkualitas dengan teknologi terkini bersama kekuatan jet tempur TNI AU adalah untuk memastikan jaminan pertahanan yang berkelas. Luasnya teritori kita dengan kandungan sumber daya alam yang melimpah memerlukan aset pertahanan yang kuat. Apalagi saat ini ada kepemimpinan adidaya yang bergaya cowboy memaksakan kehendak. Bersemangat dengan aneksasi kepemilikan sumber daya alam Greenland, Terusan Panama, Kanada, tanah jarang Ukraina. Indonesia meski dengan prasangka baik dan kecerdasan diplomasi harus mengantisipasi lebih dini situasi dan kondisi ini. Oleh sebab itu kita harus memperkuat postur pertahanan segala matra. Ke depan potensi konflik dan perang terbuka sangat dimungkinkan karena perebutan sumber daya alam. Demi eksistensi negeri,  demi marwah teritori, kita harus mempersiapkan kekuatan pertahanan lebih dini. Dan kita sedang berada di peta jalan ini.

****

Jakarta, 09 Maret 2025

Jagarin Pane