Thursday, April 30, 2020

China Menggebu ASEAN Terpaku

Code of Conduct alias kode etik perilaku yang didengungkan ASEAN untuk bertatakrama tenggang rasa di Laut China Selatan (LCS) tidak digubris China. Jangankan LCS, ada wabah maut yang meluluhlantakkan ekonomi dunia saja China gak peduli.
Mestinya fokus aja dulu ikut prihatin dengan wabah Covid19. Sayang tidak diperlihatkan. Begitu dia sembuh dari serangan wabah, ambisi hegemoni dipertunjukkan untuk ekspansi liar penguasaan teritori sumber daya mineral. Mulai dari Laut China Timur (LCT),sampai LCS.
Klaim sepihak tidak menyelesaikan masalah. Meski China telah membangun fasilitas dan pangkalan militer di Paracel dan Spratly. Arogansi militer yang diperlihatkan China selama ini menunjukkan kualitas diplomasi egois dan kaku. Dan ini sudah menimbulkan antipati di sejumlah negara.
Klaim China atas LCS
Vietnam yang berada di garis depan LCS sudah lama ribut dengan tetangga utaranya. Pembangunan kekuatan militer Vietnam sangat pesat dan satu arah alias berkiblat ke Rusia. Kita lihat perolehan alutsista strategisnya mulai dari kapal selam Kilo, jet tempur Sukhoi, pertahanan pantai Bastion kapal perang Gepard Class. Semuanya dari Rusia. 
Filipina juga berbenah diri memperkuat alutsistanya. Meski belum sekuat Vietnam dan Indonesia, negeri itu berpacu dengan waktu untuk menggagahkan militernya. Filipina terlena tidak menguatkan militernya ketika ada payung militer AS dengan pangkalan udara Clarck dan pangkalan angkatan laut Subic. Kedua pangkalan militer itu sudah ditutup.
Malaysia kelihatannya kurang bergairah memperkuat militernya. Penambahan alutsista nyaris tak terdengar karena rasio hutang terhadap PDB diatas 50%. Akibatnya anggaran pertahanan tidak bertambah signifikan. Padahal perairan Sabah sudah sering disisir armada China, bahkan pesawat pengebom China ikut "parade".
Pertanyaannya dimana semangat kebersamaan ASEAN. Sepertinya jalan sendiri-sendiri untuk mengamankan kepentingan nasionalnya. Code of Conduct yang ditawarkan ASEAN hanya nyanyian hampa. Jadinya wibawa dan marwah ASEAN jika berhadapan dengan China sudah kalah mental dulu. Dan tidak bersatu sikap.
ASEAN masih mengharap payung armada pasifik AS. Tapi ketergantungan itu menjadi nisbi manakala 2 armada kapal induk AS ditarik ke pangkalan karena awaknya tertular Covid 19. Praktis saat ini tidak ada payung perlindungan AS di LCS. Maka China leluasa "berkunjung" dan bikin onar.
Di Natuna sudah dibangun infrastruktur pangkalan militer namun isian alutsistanya masih sangat kurang. Bandingkan dengan Vietnam. Sepanjang garis pantai yang berhadapan dengan Hainan sudah dipasang rudal Bastion bersama puluhan kapal perang dan kapal selam.

Iver Class akan menjadi kekuatan utama TNI AL

Teritori terdepan di LCS ini harus diperkuat dengan alutsista sekelas dengan Bastion kombinasi dengan Nasams2. Ancaman untuk Natuna bukan hanya jet tempur, juga kapal perang jenis Fregat keatas. Makanya KRI yang mengawal Natuna juga harus Fregat keatas. Bukan KCR.
Diplomasi setara dengan China harus diimbangi dengan kekuatan militer yang setara juga. Kemudian menyatukan sikap khusus untuk 4 negara, Indonesia, Vietnam, Filipina dan Malaysia. Supaya tidak ada kesan terpaku dan kalah mental, ambil posisi "bersatu kita teguh" khusus untuk 4 negara ini. Adakan KTT spesial misalnya atau melakukan latihan militer 4 negara.
Atau ajak sekalian AS, Australia dan Jepang ikut latihan militer skala besar. Menghadapi China kita tidak bisa sendiri-sendiri. Kalau perlu buat perjanjian pertahanan semacam FPDA. Gak masalah kan. Malaysia dan Singapura anggota FPDA dalam ASEAN. Kalau pakai cara-cara konvensional, China pasti akan semakin merajalela. Apakah kita mau China mengobok-obok Natuna atau bahkan menganeksasi ?

****
Semarang, 28 April 2020
Jagarin Pane