Wednesday, August 12, 2020

Beijing Sindir Jakarta, Buruk Muka Cermin Dibelah

Adalah publikasi Global Times edisi tanggal 4 Agustus 2020 yang mengklaim bahwa Jakarta telah melakukan langkah blunder soal Laut China Selatan (LCS). Kita ketahui Global Times merupakan media corong pemerintah China. Tentu publikasinya merupakan suara tidak resmi kesepakatan dan dorongan dari rezim Xi Jinping. Sebab kalau diomongin lewat Jubir Kemenlu China bisa menimbulkan insiden diplomatik. Inilah salah satu seni diplomasi. Pinjam tangan media underbow.

Kita ketahui bersama bahwa diplomat Indonesia di PBB bulan Mei lalu mengirim surat pernyataan resmi bahwa Indonesia menolak klaim China terhadap pulau-pulau dan perairan LCS. Penolakan ini juga sebagai bentuk dukungan pada Filipina yang telah memenangkan sidang Mahkamah Internasional terhadap klaim China di LCS tahun 2016. Malaysia beberapa hari yang lalu juga mengadu ke PBB soal yang sama.

Selama satu semester ini tidak henti-hentinya China melakukan provokasi dan unjuk kekuatan militer di LCS. Terakhir militer negeri itu menerbangkan sejumlah bomber strategis dan jet tempur ke Spratly sepanjang hari termasuk pengisian ulang bbm di udara. Sementara AS dan sekutu serta sahabatnya saat ini sedang melakukan latihan tempur laut terbesar RIMPAC di Hawaii.

                                                          Diponegoro Class

Dunia mengakui bahwa China sukses membangun kekuatan ekonomi kesejahteraan untuk 1,3 milyar penduduknya hanya dalam waktu 50 tahun. Infrastruktur jalan raya dan jalan tol dibangun sepanjang ratusan ribu kilometer. Industri maju pesat. Investasi merajalela dimana-mana. Ini sebuah prestasi luar biasa. Pendapatan per kapita rakyatnya saat ini dua kali besaran GNP Indonesia.

Tetapi kemudian ada perubahan sikap keramahan yang selama ini menjadi bagian dari budaya China selama ratusan tahun. China yang selalu ramah dengan jirannya sekarang berubah menjadi aura amarah karena ambisi teritorialnya memaksakan kehendak. China perlu memperluas teritori kaya energi untuk menjamin kesejahteraan masa depan rakyatnya.

Pola cara mengedepankan adrenalin militer sangat tidak pantas. Dengan kekuatan militer terhebat di Asia, China merasa pantas untuk bersitegang dengan jiran kiri kanan. Karena merasa sangat pantas maka jalur diplomatik yang dipergunakan negara "pelanduk" ASEAN dianggapnya tidak pantas. Ini yang disebut buruk muka cermin dibelah, tidak pandai menari lalu lantai dansa yang disalahkan.

Indonesia punya klaim tumpang tindih Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) dengan Vietnam dan Malaysia. Juga diantara sesama negara ASEAN lainnya. Tetapi semuanya menerapkan Code of Conduct berperilaku sewajarnya dan mengutamakan dialog. Contoh sukses dialog teritori ZEE ASEAN adalah antara Indonesia dan Filipina, clear.

Global Times menuduh Jakarta tidak bermain cantik soal LCS dan menempatkan keberpihakan Indonesia pada tempat yang tidak semestinya. Karena Beijing tidak mengklaim kepulauan Natuna. Hanya sedikit persinggungan ZEE di perairan utara Natuna. Mestinya Indonesia tidak perlu reaktif dengan mengadu kepada PBB. Sebuah langkah yang tidak perlu, kata dia.

                                                     Saling Klaim di LCS

Jakarta diharapkan tidak terjebak pada model keberpihakan. Dengan mengambil contoh Vietnam dan Filipina yang punya klaim langsung terhadap Paracel dan Spratly, namun keduanya bisa secara proporsional tidak berpihak. AS yang menolak klaim China terhadap LCS ternyata tidak menandatangani kesepakatan UNCLOS 1982.

Yang perlu kita cermati narasi Global Times cenderung ingin memecah belah ASEAN. Faktanya bukankah Filipina sudah terang-terangan menolak klaim China, membawa kasus itu ke Mahkamah Internasional. Dan menang. Vietnam sudah duluan mengirim nota diplomatik dan mengadu ke PBB. Vietnam juga yang memimpin deklarasi ASEAN yang kompak menolak klaim China bulan lalu.

Ada upaya menyudutkan Indonesia tetapi Menlu Retno adalah diplomat ulung dan berkelas. Indonesia menginginkan terlaksananya code of conduct di LCS, sebuah prakarsa yang sudah lama digagas namun belum bisa terlaksana. Ucapan Retno ini adalah sindiran tajam untuk China yang memang tidak mau tunduk pada kode etik berperilaku di LCS. Barusan Retno menginisiasi komitmen bersama ASEAN yang menginginkan kawasan ini menjaga perdamaian.

Dengan situasi seperti inilah maka kemudian Menhan Prabowo berupaya keras untuk segera membeli alutsista canggih berupa kapal perang, kapal selam, jet tempur, helikopter, radar, uav dan lain-lain. Ini adalah diplomasi militer. Diperlukan penguatan anggaran khusus alutsista dan menghadirkan secepat mungkin alutsista untuk mengawal Natuna. Kerja besar dan penuh dinamika dari Kemenhan adalah dalam rangka percepatan proses. Maka kita bisa lihat pejabat Kemenhan wira wiri.

Gaya diplomasi China yang cenderung kaku, mudah menyalahkan pihak lain adalah karena sudah merasa kuat dari sisi militer. Dan harus kita akui tidak ada lawan yang sepadan dengan China kecuali AS. Apapun itu sebagai negara berdaulat kita harus perkuat militer kita secepat mungkin. Setidaknya mampu memberikan perlawanan model sarang lebah di Natuna manakala terjadi konflik besar. Menyengat kesana kemari meski sarangnya dibakar habis.

Persiapan menghadapi kondisi terburuk adalah dengan memperkuat otot militer. Unsur primitif budaya manusia masih tetap eksis manakala bicara adrenalin negara dan gengsi kedaulatan. Provokasi, unjuk kekuatan, pamer militer yang ditunjukkan China sesungguhnya mempertontonkan unsur primitif tadi. Buruk muka cermin dibelah, merasa paling benar dalam sikap permusuhan sejatinya memperlebar antipati yang bernama mentang-mentang.

****

Jagarin Pane / 9 Agustus 2020