Tuesday, January 21, 2020

CCG Pulang Petang, What Next ?


Demam Laut Natuna Utara mereda setelah Indonesia menurunkan sejumlah "paracetamol" dan "antibiotik" untuk menurunkan panasnya. China Coast Guard (CCG) sudah tidak menampakkan diri lagi di area zona ekonomi eksklusif (ZEE) 200 mil laut dari garis pantai pulau terdepan Natuna.
China menguji nyali nasionalisme Indonesia. Reaksi kita yang riuh rendah dimotori oleh suara Menlu Retno Marsudi yang gagah perkasa, kecuali segelintir oknum bernyali banci, membuat China mengalah sambil mengatakan Indonesia sahabat strategis kami, perairan Natuna tidak kami klaim, hanya tumpang tindih, kata Kemlu nya.
Presiden Jokowi mendatangi Natuna dikawal sejumlah jet tempur, pesawat pengintai strategis dan armada KRI. Ribuan pasukan TNI disiagakan di berbagai titik, Kogabwilhan 1 siaga tempur. Hari-hari yang menegangkan. Jutaan netizen nasionalis menggemuruh mencela China yang tak tahu diri.
Iver, yang digadang-gadang
Ketika Ambalat memanas tahun 2006, Presiden SBY juga mendatangi kawasan itu dengan menaiki kapal perang. Ini adalah simbol "kemarahan" diplomatik yang dikemas dengan baju militer. Oleh sebab itu kita mengapresiasi hadirnya panglima tertinggi TNI yang juga Presiden RI Joko Widodo ke Natuna barusan.
Kehadiran Jokowi dan pasukannya akhirnya melunakkan sikap kaku yang diperlihatkan China. Setidaknya pernyataan sikap Kemlu China mencerminkan suasana itu. Hebatnya lagi sikap tegas dan keras Indonesia mendapat apresiasi dari warga negara jiran ASEAN.
Warga Filipina memuji sikap Indonesia yang bersatu padu menguatkan dan menghalau penceroboh di ZEEnya. Sekaligus mereka mencemooh sikap kurang berani yang ditunjukkan Pemerintah Filipina soal klaim yang sama di Laut China Selatan (LCS).
Juga banyak warga Malaysia angkat topi atas keberanian Indonesia menghadang China. Tahniah Indonesia. Lalu membandingkannya dengan cara pemerintah Malaysia yang melempem berhadapan dengan CCG China di LCS.
Natuna sejatinya sudah dibangun pangkalan militer. Berbagai jenis alutsista canggih sudah dialokasikan sebagai perkuatan basis militer. KRI Bung Tomo Class juga sudah mutasi kesana. Jet tempur berbagai jenis silih berganti berpatroli.
Sinergi patroli Natuna, F16 dan Bung Tomo Class
Namun itu belum cukup karena sesungguhnya semburan api lidah naga terasa sangat panas dan membakar. Jadi sebagai tamengnya kita sangat membutuhkan kapal perang striking force kelas destroyer dengan dukungan jet tempur Sukhoi SU35. Termasuk menambah kapal-kapal Bakamla ukuran besar.
Berkali-kali kita menulis soal perkuatan AL dan AU kita. Bahwa negeri kepulauan ini memerlukan kapal perang striking force ukuran besar. Demam Natuna terakhir ini membuktikan itu. Mestinya gerak cepat pengadaan alutsista gahar sudah menampakkan hasil seperti Sukhoi SU35 dan Iver Class.
Meski kita punya ratusan kapal perang berbagai jenis tapi yang paling modern hanya Martadinata Class, itu pun jumlahnya hanya dua unit. Mestinya kapal jenis ini ditambah lagi paling tidak jadi 6 unit. Bukankah model pembangunannya melalui transfer teknologi. Mengapa sekolah itu tidak dilanjut. Apakah Menhan tidak pernah mengevaluasinya.
Armada kapal perang kita sudah dibagi menjadi tiga. Namun persebaran KRI belum merata. Sebabnya karena isian alutsistanya belum banyak bertambah. Lalu mengapa lambat pertambahan kapal perang kelas korvet ke atas. Ya karena prosesnya tarik ulur. Iver itu jadi cerminnya. Sudah berkali-kali berkunjung ke pabriknya di Denmark tapi sampai hari ini belum tanda tangan juga.
Kita butuh kapal perang besar, bukan hanya produksi Kapal Cepat Rudal (KCR), Kapal Patroli Cepat (KPC). Laut Natuna Utara, Laut Arafuru, pantai barat Sumatera, pantai selatan Jawa perlu dikawal kapal jenis Fregat ke atas. Kalau hanya mengandalkan KCR diketawain sama Ratu Kidul.
Ayolah bergegas, Natuna sudah mengajarkan pada kita what next. Lanjutkan pembangunan Martadinata Class, percepat Iver yang sudah digadang-gadang, tambah lagi kekuatan pemukul atas air dan bawah air. Pilih yang terbaik sesuai dengan kebutuhan, bukan untuk keinginan produsen dan sales alutsista.

****


Jakarta 11 Januari 2020
Penulis adalah pemerhati pertahanan dan alutsista TNI
(Mhn Maaf baru di share terlambat)