Friday, September 16, 2011

Gelisahkah Singapura ?

Wakil Perdana Menteri Singapura Theo Chee Hean berkunjung ke Jakarta 14 September 2011 termasuk  melakukan kunjungan kehormatan lima belas menit ke Kementerian Pertahanan.  Pertanyaannya tentu, untuk apa ke Kemhan karena tamu negara yang berdatangan sepekan terakhir ini biasanya diterima Presiden, seperti kunjungan Perdana Menteri Thaliand Yinluck Sinawatra atau Perdana Menteri Vietnam Nguyen Tan Dung yang datang berurutan.  Walaupun singkat tetapi sepertinya ada salam kulonuwun Wakil PM Singapura kepada Kemhan sebagai bahasa diplomasi dari sebuah tema : ada maunya.
Daerah Latihan Tempur Singapura dalam DCA yang gagal
Pada saat yang bersamaan sedang disiapkan latihan gabungan angkatan udara kedua negara di provinsi Riau dengan melibatkan berbagai jenis jet tempur.  RSAF mendatangkan 1 fight jet tempur F16 dan 1 flight F5E, sedangkan TNI AU menyertakan 1 fight jet tempur Hawk200, 1 flight F5E dan 1 flight F16.  Angkatan laut kedua negara sudah lebih dahulu melakukan patroli laut terkoordinasi selama berminggu-minggu yang melibatkan kapal perang kedua negara.  TNI AL mengerahkan 4 KRI dari armada barat.

Singapura dan Indonesia pernah menandatangani perjanjian kerjasama pertahanan (Defence Cooperation Agreement / DCA). Seremoni  DCA  ditandatangani pada 27 April 2007 oleh Menhan kedua negara disaksikan Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono dan Perdana Menteri (PM) Singapura Lee Hsien Loong.  Tetapi yang terjadi kemudian adalah sepakat untuk tidak sepakat karena berbagai kontroversi seperti ekstradisi koruptor dan area latihan Bravo di Natuna untuk media latihan militer Singapura.

Ada pertanyaan yang mengemuka, apakah makna sebuah kunjungan silaturahim ke sebuah Kementerian yang mengurusi kedaulatan dan pertahanan bangsa.  Sepertinya ada sesuatu yang menyiratkan bahwa Singapura sedang hendak mengambil hati petinggi Kemhan, hendak berdialog lagi dalam berbagai dimensi.  Memang Menhan secara lugas menjelaskan sebelum pertemuan dengan delegasi wakil PM Singapura itu bahwa tidak ada lagi pembahasan kerjasama pertahanan antara Indonesia dan Singapura.

Tetapi namanya juga bahasa diplomasi setiap saat kan bisa berubah tergantung situasi.  Bisa jadi pernyataan Menhan itu sebagai bentuk kuatnya bargaining Indonesia untuk melakukan runding ulang atau pembicaraan berjenis kelamin apapun dengan Singapura.  RI tak mau lagi didikte oleh Singapura yang sengaja menyatukan perjanjian ekstradisi dengan perjanjian pertahanan beberapa tahun lalu.   Makanya pernyataan lugas Menhan Purnomo itu patut kita acungi jempol, sebuah ketegasan sikap yang diperdengarkan, kita tak butuh lagi pembahasan perjanjian kerjasama pertahanan dengan Singapura.

Bersamaan dengan berlalunya waktu sejak gagalnya DCA 2007, Indonesia mulai melakukan peremajaan alutsista secara besar-besaran.  Alutsista segala matra diperkuat, diperbanyak, dan disebar ke satuan-satuan tempur TNI.  Industri hankam dalam negeri dipeluk hangat dan diberi kepercayaan untuk memenuhi sebagian alutsista TNI.  Misalnya Pindad dengan Panser Anoa, PAL dengan LPD, LST, Kapal Cepat Rudal dan Perusak Kawal Rudal, lalu PT DI dengan CN235 MPA dan Helikopter.  Dari negara mitra luar negeri banyak dibeli berbagai jenis alutsista pemukul, baik melalui beli murni maupun dengan beli melalui transfer teknologi.

Catatan kita adalah, memang akhirnya makin terbukti bahwa perkuatan alutsista TNI adalah peta jalan untuk memberikan nilai kesetaraan dalam hubungan bilateral, multilateral terutama terkait dengan dinamika bertetangga.   Sekedar membandingkan, sekuat apapun Singapura, tak akan mampu menandingi keperkasaan Indonesia terutama terkait dengan populasi, sumber daya alam, kekuatan daya beli, stamina bernegara dan berbangsa, demografi dan kekuatan pasar.  Jangan main-main dengan 240 juta rakyat Indonesia karena kekuatan populasi sebesar itu merupakan kekuatan potensi bagi dinamika Singapura. Potensi itu dalam hubungan bilateral yang baik bisa menjadi penyumbang pariwisata terbesar bagi Singapura, kekuatan pasar bagi produk Singapura. Dalam dinamika yang lain bisa jadi kekuatan yang membahayakan Singapura.

Saat ini Singapura unggul dalam kekuatan militer karena didukung oleh perolehan arsenal yang mematikan dan berteknologi tinggi.  Keinginan untuk unggul di sektor ini tak lain disebabkan untuk memberikan nilai kepastian dalam eksistensi bernegara karena tetangga disebelahnya merupakan tetangga yang besar (Malaysia) dan sangat besar (Indonesia).  Kecemasan pada kepastian kelanjutan mempertahankan eksistensi bernegara ini membuat negeri pulau itu memperkuat pertahanan, memberlakukan wajib militer bagi semua warga negaranya yang sudah cukup umur.

Ketika saat ini Indonesia sedang giat-giatnya memperkuat alutsista untuk pengawal republik tentu Singapura merasa bahwa keunggulan militernya mulai tersaingi. Padahal ini satu-satunya keunggulan dia ketika suatu saat harus berhadapan pada posisi hubungan yang memburuk dengan salah satu dari kedua jirannya.  Ini tentu sebuah kegelisahan yang terasa ada terkatakan tidak.  Okelah saat ini di tahun 2011, Singapura masih tetap unggul jauh dalam kualitas dan kuantitas arsenal namun kacamata militer horizon mereka menangkap bahwa horizon 2014 itu tidak lama lagi dan pada saat itu kekuatan militer Indonesia yang baru menyandang MEF (Minimum Essential Force) sudah setara dengan kekuatan milter mereka, bahkan kekuatan armada laut Indonesia di mata mereka sudah melebihi kegelisahan itu sendiri.

Kegelisahan itu boleh jadi yang mengiringi langkah seorang wakil PM dan delegasinya berkunjung ke Kemhan, sebuah pintu masuk untuk melakukan dialog, pembicaraan, perundingan dan atau apapun untuk satu maksud, mempererat yang sudah erat, mengikat yang belum terikat, membungkus yang masih belum terbungkus.  Kita menghargai sebuah niat baik, mempererat hubungan antara dua negara bertetangga, saling berkunjung, saling menghormati.  Semua itu untuk nilai kesetaraan dalam hubungan bernegara.  Semoga Singapura mampu melihat perspektif itu.
******
Jagvane / 16 Sep 2011