Wednesday, June 13, 2012

Menggagahkan Diri Di Teras Depan


Selat Malaka adalah jalan raya laut yang ramai lancar memisahkan tiga rumah negara bertetangga Indonesia, Malaysia dan Singapura yang masing-masing punya pagar pengaman yang berbeda.  Sementara selat Singapura adalah jalan raya laut nan sempit padat merayap yang memisahkan Indonesia dan Singapura dan merupakan selat terpadat yang dilintasi berbagai kapal niaga segala ukuran.  Di selat sempit yang memisahkan Batam dengan Singapura, negeri pulau kota itu memagari dirinya dengan beragam alutsista untuk meyakinkan wilayah negerinya yang kecil itu aman dari gangguan berskala apapun. 

Kemampuan intelijen dan teknologinya serta kekuatan alutsista yang dimiliki Singapura memberikan kesan dan pesan agar pihak eksternal jangan bermain api dengannya. Pihak yang dimaksud tentu Indonesia dan Malaysia.  Bedanya adalah negeri kecil itu memang punya rumah kecil yang sekaligus sebagai pusat eksistensi mereka sehingga mereka membentuk kombinasi pertahanan sarang lebah yang siap menyengat jika diganggu.  Jika tak diganggu ya tak apa-apa, namanya juga lebah, tidak ingin mengganggu dan tak ingin diganggu.  Demikian juga dengan Malaysia walau tidak sedahsyat Singapura dalam mengamankan teritorinya di selat Malaka, secara de facto mereka lebih bereaksi cepat jika ada pelanggaran teritori perairannya dibanding dengan Indonesia.
Pulau Nipah, dipersiapkan sebagai beranda yang gagah
Indonesia yang memiliki teritori lahan “semilyar hektar” dan merupakan teritori terbesar di Asia Tenggara juga sudah melakukan pagar pengamanan untuk menjaga kedaulatan teritorinya di batas jalan raya laut yang menghubungkan Asia Selatan, Timur Tengah dengan Asia Timur.  Salah satunya tentu dengan menghadirkan “satpam” berupa kapal patroli TNI AL di sepanjang teras depan rumahnya.  Tetapi harus diakui kehadiran satuan angkatan laut dengan alutsistanya ini belum sampai pada kategori gagah dan kekar.  Kehadiran kapal patroli di teras depan yang bernama selat Malaka dan selat Singapura belum mencerminkan kewibawaan pada sebuah teritori negara yang paling besar wilayahnya, paling besar pula penduduknya dan punya sumber daya alam yang melimpah.

Lalulintas di jalan raya laut seperti selat Malaka dan selat Singapura tentu memerlukan kehadiran negara yang berwibawa dalam bentuk satuan patroli laut  yang siaga penuh dan cepat bereaksi sebagai wujud eksistensi kita  di jalan raya laut yang juga menjadi border negara kita.  Mencontohkan cara kerja PT Kereta Api Indonesia manakala ada kereta api melewati stasiun besar dan kecil baik berhenti atau tidak, selalu ada personil kereta api bertopi yang memberi hormat dan semboyan sehingga kita mengetahui ada kehadiran dan monitoring dalam perjalanan kereta api tadi.

Satuan kapal cepat rudal (KCR) adalah kendaraan yang paling pas untuk memastikan kehadiran angkatan laut yang berwibawa untuk mengawal dan mengamankan teritori negara.  Menghadirkan satuan kapal cepat rudal di selat Malaka dan selat Singapura bukan dimaksud untuk pamer kekuatan tetapi untuk meyakinkan pemakai lalulintas jalan raya laut terpadat itu bahwa mereka berada di salah satu sisi jalan raya laut yang bernama Indonesia. Kehadiran patroli KCR ini juga sekaligus untuk memberikan rasa aman bagi perjalanan kapal niaga dari kejahatan perompakan laut di dua selat ini.  Manfaat lain adalah memberikan sinyal pada negara tetangga yang berbatasan laut dengan RI bahwa kita hadir mengawal teritori dengan postur meyakinkan.
Jet tempur F16 segera ditempatkan 1 skuadron di Pekanbaru
Oleh sebab itu pembentukan satuan kapal cepat rudal di Armada Barat yang sudah diputuskan setahun yang lalu mestinya sudah dapat memberikan warna kehadiran tadi.  Termasuk menambah kuantitas KCR hingga mencapai jumlah mencukupi melakukan patroli laut sepanjang selat Malaka dan selat Singapura every time.  Ketika dibentuk satuan kapal cepat rudal di Armada Barat setahun yang lalu jumlah alutsista berupa KCR tidak lebih dari 10 KCR.  Kita sangat berharap jumlah itu bisa dilipatgandakan menjadi minimal 25 KCR dimana sebagian kapal mengawal perairan Natuna dan sebagian lagi mengawal selat Malaka dan selat Singapura.

Kehadiran satuan tempur Marinir di Riau Kepulauan adalah decision yang bagus untuk mempertegas nilai tambah kehadiran satuan pengamanan berkualifikasi serbu amfibi di teras depan rumah kita.  Bukankah teras atau beranda depan rumah kita adalah lambang kewibawaan sebuah rumah apalagi jika pengamanannya dilengkapi dengan pengaman berkualitas herder.  Ini juga sekaligus ingin mengubah sebuah “peribahasa” yang berbunyi masuk dulu baru digebuk.  Lalu menggantinya dengan syair lagu berirama mars, gebuk dulu sebelum masuk.  Jalan ke arah itu sedang dipersiapkan.  Kita sudah punya satuan Marinir di Lhok Seumawe, Belawan dan yang sedang dipersiapkan adalah satuan tempur Marinir di Batam, Nipah dan Karimun.  

Kombinasi kapal cepat rudal di Armada Barat dan penempatan satuan Marinir di jalan raya laut itu diniscayakan memberikan nilai kegagahan dalam postur pengamanan laut di kedua selat itu.  Sebaran kapal cepat rudal ini bisa dipangkalkan di Belawan, Dumai dan Tg Pinang untuk mengantisipasi kecepatan reaksi dan coverage patroli.  Kegagahan ini akan semakin kinclong manakala 1 skuadron jet tempur F16 sudah memasuki home basenya yang baru di Pekanbaru termasuk skuadron UAVnya sehingga memberi tambahan kekuatan bagi skuadron Hawk yang sudah lebih dulu berhome base di ibukota Riau Daratan itu.

Ada pertanyaaan lalu bagaimana dengan kapal-kapal KKP yang juga melakukan patroli keamanan laut. Jawabannya tetap saja jalankan fungsinya sesuai tupoksi tentu dengan koordinasi Angkatan Laut.  Fungsi kapal-kapal KKP adalah memantau dan menangkap kapal asing yang melakukan kegiatan ilegal fishing di laut teritori kita.  Jika ada insiden antara  kapal patroli KKP dengan negara tetangga, satuan kapal cepat rudal TNI AL bisa memback upnya sehingga kehadiran KCR memberikan nilai gentar bagi keinginan jiran untuk ber insiden dengan kita.
Manuver KRI Clurit dengan 2 Rudal C705
Pemenuhan kebutuhan kapal cepat rudal tidaklah menghadapi kendala karena kapal perang jenis ini sudah bisa diproduksi oleh galangan kapal nasional kita baik PT PAL maupun swasta nasional.  PT PAL sedang mempersiapkan minimal 6 KCR ukuran 60 meter sementara galangan kapal di Batam sudah menghasilkan 2 dari 6 pesanan KCR ukuran 40 meter.  Kapal ketiga akan diserahkan Nopember tahun ini.  Galangan kapal di Banyuwangi juga sedang menyiapkan beberapa kapal perang Trimaran yang juga berkualifikasi KCR. 

Penyiapan KCR bersinergi dengan produksi rudal anti kapal C705 kerjasama dengan Cina.  Dengan membawa 2 rudal C705 sebagai senjata pukulnya maka setiap KCR yang melaju cepat di jalan raya laut beranda rumah kita tentu memberi nilai kegagahan yang meyakinkan sebagai bentuk kewibawaan kehadiran  yang sebanding dengan besarnya rumah yang harus dijaga ini.   Kehadiran KRI Sigma Diponegoro di Singapura untuk menjemput Presiden SBY dari kunjungan ke negeri itu awal bulan ini dan dikawal oleh 2 KCR dari Clurit Class memberikan aura kebanggaan bagi siapapun yang melihatnya.  Akan lebih bangga lagi jika kehadiran itu bukan hanya sekedar menjemput seorang Kepala Negara melainkan dengan kehadiran yang terus menerus di beranda jalan raya laut itu. Bukankah ini bentuk dari formula menggagahkan diri untuk sebuah kepantasan dan kepatutan yang memang harus dipertontonkan di wilayah border yang bernama Republik Indonesia.
*****
Jagvane 13 Juni 2012.

3 comments:

  1. setuju bang, sebaiknya yang digunakan untuk patroli adalah kcr dari ukuran yg beragam. sedangkan kapal sekelas korvet dan frigate harus mangkal di tempat2 strategis sebagai back up saja. biar hemat bbm. ayo terus perbanyak kcr.

    ReplyDelete
    Replies
    1. pembuatan KCR terus berjalan di batam...kalo pemerintah mulus dalam pendanaan shipyar di batam selalu siap to build KCR,..pembuatan hull KCR tidaklah sulit krn di batam drilling rig,tanker,supply boat, tug boat sampai yg paling mudah yaitu barge/tongkang dah dikuasai dg baik....Maju Indonesia-ku Jalesveva Jayamahe...

      Delete
  2. lebih keren lagi kalo KCR Trimaran diperbanyak lagi......

    ReplyDelete