Hingar
bingar belanja alutsista TNI yang sedang
menuju panen raya tahun ini tiba-tiba “dikejutkan” dengan kontrak kerjasama
pengadaan 1 unit kapal perusak kawal rudal (PKR) antara Kemhan RI dengan DSNS
(Damen Schelde Naval Shipbuilding) Belanda.
Kontrak itu ditandatangani Selasa tanggal 5 Juni 2012 di Jakarta. Kemhan diwakili oleh Kepala Baranahan (Badan
Sarana Pertahanan) Mayjen TNI Ediwan Prabowo dan DSNS diwakili oleh Director
Naval Sale Of DSNS Evert Van Den Broek.
Mengapa
harus terkejut, karena komunitas militer dan publik kita tidak menyangka akan
adanya penandatanganan kontrak PKR karena proyek itu sudah dianggap mati
suri. Padahal awalnya harapan begitu
besar disandangkan terhadap proyek PKR light fregat ini yang kelak akan
menghasilkan 10 kapal perang PKR dengan pola transfer teknologi. Tetapi ketika membaca nilai kontraknya hanya
menghasilkan nilai 1 produk yang biasa-biasa saja dan hanya bernilai kontrak
US$ 7 juta untuk bagian PT PAL. Sedangkan
sisa dari nilai kontrak yang US$ 220 juta tetap milik Damen Schelde meski
dinyatakan bahwa kapal itu akan dirakit bagian-bagiannya di PAL Surabaya. Ironisnya ketika bicara transfer teknologi,
RI harus bayar lagi sebesar US $ 1,5 juta pada guru mantan kolonialnya.
KRI Sigma Class dan LPD Class TNI AL dengan US Coast Guard di Laut Jawa Juni 2012 |
Diantara
semua paket pengadaan alutsista TNI, paket kontrak dengan Damen Schelde ini
merupakan paket yang berakhir anti klimaks padahal ereksi harapannya sudah
cukup lama tapi tak mampu juga penetrasi.
Bandingkan dengan pengadaan Leopard yang sempat diributkan itu tetapi
sesungguhnya komunitas forum militer dan publik tanah air mendukung kehadiran
MBT Leopard. Namun ketika kontrak
pengadaan PKR 10514 (Kapal perang dengan panjang 105 meter dan lebar 14 meter,
berat 2335 ton) ini di sign, kritik yang bertubi-tubi ditembangkan oleh
komunitas itu tak terkecuali oleh wakil ketua Komisi I DPR TB Hasanudin.
Kalau dalam
proyek pengadaan Leopard komunitas militer yang tergabung dalam formil kaskus
sebagian besar kontra dengan TB Hasanudin maka kali ini sebagian besar mereka
justru mendukung langkah TB Hasanudin untuk membawa persoalan kontrak itu dalam
rapat dengan Kemhan minggu-minggu mendatang.
Banyak hal yang perlu ditanyakan, diklarifikasi sehubungan dengan pola
kerjasama pengadaan alutsista kapal perang yang dinilai banyak kalangan
bersifat setengah hati. Setengah hati di
pihak Indonesia sebangun dengan setengah hati pihak Belanda.
Proyek PKR
ini sudah tersendat lebih dari empat tahun dengan berbagai cerita yang tak
berujung. Setelah KRI Sigma ke empat di
terima, publik dilambungkan dengan rencana proyek Kornas (korvet nasional) atau
yang disebut Sigma jilid 5, lalu berubah lagi dengan memajang proyek PKR, dan
bahkan sudah pakai acara potong baja sebagai simbol dimulainya proyek itu. Namun
setelah itu tak ada kabar lagi.
Lalu tiba-tiba ada rencana mengakuisisi 3 kapal perang dari jenis
Nachoda Ragam Class, tiga perawan tua yang tak laku-laku. Awalnya sudah dipinang Brunai namun tak lama
dibatalkan karena spek teknisnya tak sesuai dengan permintaan Brunai walaupun
negeri kaya minyak itu sudah membayar lunas maharnya.
Pangkalan Utama TNI AL Surabaya dengan 3 korvet Sigma Class |
TNI AL
memang masih membutuhkan banyak kapal perang berbagai kelas untuk memenuhi ambisinya
membentuk 3 armada tempur. Diantara
berbagai proyek pengadaan kapal perang itu tercatat proyek kapal cepat rudal
buatan galangan swasta nasional yang berjalan mulus. Selama 2 tahun terakhir ini sudah jadi 2 KCR
Clurit Class. Proyek pengadaan 3 kapal
selam kelas Changbogo dari Korsel sedang berjalan meski jalan ke arah sana
berliku sampai membutuhkan 5 tahun untuk memilih jenis kapal selam yang
bagaimana yang akan mengawal perairan RI.
Meski sempat bangga dengan rencana menghadirkan 2 kapal selam kelas Kilo
dari Rusia namun akhirnya kapal selam kelas U209 dari Korsel yang terpilih
karena ada sekolah transfer teknologinya.
Ada
pertanyaan menggelitik mengapa untuk urusan pengadaan kapal pemukul permukaan
kita harus berkiblat ke Belanda. Padahal
masih banyak negara yang mampu membuat jenis kapal yang sekelas dengan pola
yang lebih ramah dalam perjanjian kerjasamanya, misalnya Italia. Ada kesan dalam setiap pengadaan alutsista
dengan negeri penjajah ini mereka selalu beranggapan bahwa mereka merasa diatas
kita derajat kelasnya. Lihat saja ketika
kita mau pesan Leopard, Belanda mempersyaratkan berbagai macam hal seperti HAM
dan Papua. Namun ketika kita balik arah
ke Jerman mereka senewen juga dan minta bagian separuhnya daripada tidak dapat
sama sekali. Menepuk air di dulang
tepercik muka sendiri.
Sebagai
negeri penjajah, sudah tiba saatnya bagi Belanda untuk memamerkan langkah
kedewasaan sikap dengan lebih banyak membagi ilmu, mempertaruhkan langkah
arifnya daripada sekedar berbisnis murni.
Proyek kerjasama dalam bentuk apa pun semestinya dijadikan langkah untuk
mempromosikan diri sebagai bangsa yang menghargai nilai-nilai kebersamaan dan
harkat. Bukan selalu mendikte dan merasa
paling pintar. Ingat jaman IGGI, ingat
lagak Mr Pronk dekade 90an. Sayangnya juga kita masih berada dalam lingkar
langgam sebagai anak jajahan dengan pola pikir banyak mengangguk, sehingga kita
juga tak mampu membebaskan diri dari pengaruh bathin 350 tahun itu.
Negara-negara
industri alutsista di Asia seperti Korsel dan Cina selalu menampilkan gaya gaul
yang setara dan ini memang kultur Asia yang selalu menghargai bangsa lain. Dengan Cina kita sudah mendapatkan kerjasama
teknologi rudal. Demikian juga dengan
Korsel dengan teknologi kapal selam.
Kerjasama pengadaan kapal perusak kawal rudal kelas light fregat awalnya
sangat diharapkan menghasilkan jumlah kapal light fregat minimal 2 unit tahun
2014 dari opsi pengadaan 10 unit setelah tahun 2014. Selain itu dengan pengadaan kapal sebanyak itu
diharapkan RI dapat mengambil ilmu transfer teknologinya setelah kapal ketiga
dan keempat. Namun cerita dongeng
sebelum tidur itu justru dianggap mati suri karena Damen Schelde dan PT PAL
gagal bersepaham dalam kualitas dan kuantitas transfer teknologi yang
diinginkan.
Nah ketika
perjalanan pasal kontrak terhenti di terminal pasar transfer teknologi,
sementara TNI AL sangat memerlukan kapal-kapal berkualifikasi korvet ke atas
lalu muncullah tawaran 3 Nachoda Ragam (NR) Class. Sebagai user TNI AL memang butuh banyak kapal
perang untuk peremajaan kapal perangnya sekalian mengejar pencapaian target MEF
tahap I yang berakhir tahun 2014. Terlepas
dari apapun kontroversi tentang NR sesungguhnya Angkatan Laut kita membutuhkan
kapal perang ini karena kegagalan pencapaian kontrak PKR sesuai jadwal. Apalagi
NR ini barangnya sudah ada.
3 Nachoda Ragam Class yang diinginkan TNI AL |
Kontrak PKR
10514 yang di sign tanggal 5 Juni 2012 itu hanya untuk pembuatan 1 kapal tok. Ini juga sebuah bentuk keanehan karena
biasanya kontrak kerjasama minimal untuk 2 kapal perang. Okelah kalau memang kontrak
PKR 10514 itu dilakukan dalam rangka memenuhi payung hukum atau sekedar
menggugurkan kewajiban, ke depannya tidak salah kalau kita melirik ke Cina, Perancis
dan Italia. Kita masih butuh kapal
perang berkualifikasi fregat dan bahkan destroyer. Negara-negara itu diyakini bersahabat dan
tidak pelit ilmu teknologi sehingga jalannya proses pertambahan kapal perang RI
dapat terpenuhi sekalian menimba teknologinya.
Catatan untuk PT PAL juga adalah jangan terlalu berharap banyak tentang
ilmu transfer teknologi jika secara lahiriah dan bathiniah belum mampu
menjalankan peran itu secara total.
Kita sangat
mendukung perkuatan kapal perang TNI AL.
Ada proyek kapal cepat rudal KCR
40 dan KCR 60 serta KCR Trimaran. Ada
proyek kapal tanker, ada proyek kapal LST, ada proyek kapal selam, semuanya
sedang berjalan. Ketersendatan proyek
PKR dengan Belanda selayaknya dijadikan pengalaman berharga. Ke depan kita mengharapkan pola kerjasama
pembuatan kapal pemukul berkualifikasi fregat dan destroyer dengan negara lain
selain Belanda dapat berjalan. Tidak
satu jalan ke Roma bukan, dan hanya keledai yang bisa jatuh ke kubangan lebih
dari sekali.
*****
Jagvane / 08
Juni 2012
Pak de, apa to detail isi kontraknya itu? Aku sih percaya saja sih sama penggede TNI dan Kem han kalau mereka nggak mudah untuk di tipu. Aku kok merasa ada yang sangat-sangat di sembunyikan dalam kontrak PeKaeR dengan damen ini.
ReplyDeletehehehe...kayak sih begitu, hal ini tampak betapa ngototnya menentukan pilihan sama londo untuk kapal semacam itu..., padahal yang sama klas-nya atau lebih dari sigma juga banyak lhoo..., kan ada negara lain juga menawarkan ToTM-nya tanpa banyak ini dan itu...;
DeleteLebih baik beli saja di negara lain daripada beli sama negara kolonial Belanda....
ReplyDeletewalaupun hanya satu yang penting ada hal yang bisa dipelajari. ilmu itu mahal harganya. ingat ada negara asean yang mulai tertarik dengan sigma class ini seperti vietnam dan malaysia. kalau dinilai cemen sama mereka pasti mereka tidak tertarik. karena mereka sudah mengoperasikan unit yang kira2 lebih powerful sebagai stand alone dibanding sigma. semoga integrasi sebagai satu armada akan lebih mudah didapat dan mempunyai efektifitas yg lebih tinggi jika sesama sigma dibanding dengan unit yang lain.
ReplyDeletenah kalau gitu ngapain pake ngotot beli sama wong londo..???
Deleteseharusnya kita jalin kerjasama dengan negara lain selain belanda, paling tidak dengan spesifikasi sama atau diatasnya.
kan penawaran sudah jelas ada dan malah lebih simple kagak kayak damennya londo.
teknologi bisa dikembangkan bila kita mau bekerjasama dengan prinsip kesetaraan. Contohnya CBGnya kroya, kita bisa minta spesifikasi yang kita inginkan, dan faktanya CBG yang sekarang bukan CBG macam anjing kampung, tapi bisa menjadi petarung yang menakutkan.